tirto.id - Memasuki bulan kelima pandemi COVID-19 Indonesia, belum ada tanda mereda. Hingga kemarin, ada 63.749 kasus, di antaranya 28.219 sembuh dan 3.089 meninggal.
Semua fakta itu bertolak belakangan dengan prediksi lembaga negara dan swasta yang pernah mengeluarkan prediksi penanganan kasus COVID-19 di Indonesia.
Pada awal April lalu, Kepala BNPB Doni Monardo sempat memaparkan pemodelan yang dibuat Badan Intelijen Negara (BIN) terkait COVID-19. Ia mengatakan, BIN memprediksi puncak jumlah kasus pada Mei 2020.
Sedangkan estimasi kasus positif Corona pada tiap akhir bulan berikutnya: April sebesar 27.307; Mei 95.451; Juni 105.765; dan Juli 106.287 kasus.
"Sebanyak 48 persen, risiko itu berada di Pulau Jawa," ucap Doni saat itu.
Tentu prediksi BIN tersebut sangat berbeda dengan fakta yang dipaparkan Gugus Tugas bahwa hingga per 5 Juli, kasus masih berada di angka 60 ribuan.
Hal serupa juga pernah dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA--sebuah lembaga survei yang rutin bikin jajak pendapat politik saat Pilpres 2019 lalu--dan bahkan lebih parah melesetnya.
Pada akhir April lalu, Denny JA, pendiri lembaga itu, pernah memprediksi Covid-19 akan selesai 99 persen pada Juni di Indonesia.
Dalam video konferensi pers yang diunggah pada 30 April 2020, ia mengatakan hal tersebut terjadi dengan asumsi aneka protokol kesehatan yang digariskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pemerintah RI dipatuhi.
"Di era itu, yang terpapar virus Corona tentu tetap ada. Namun jumlah kasus baru terpapar grafiknya menurun signifikan. Puncak pandemi pada Mei 2020 sudah dilewati," kata Denny JA.
Mengapa Salah Memprediksi
Salah satu peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, mengaku bahwa lembaganya melakukan survei saat itu menggunakan data sekunder yang merujuk dari Worldometer, pengumpul data Corona dari negara-negara dunia dan Nanyang Technology University, Singapura.
Kata Rully, hampir semua data yang dikeluarkan dua sumber rujukan itu mengklaim telah ada penurunan COVID-19 di setiap negara. Kendati, akhirnya meleset.
"Akhirnya semua lembaga kan waktu itu meralat ulang prediksinya masing-masing, baik yang di Singapura juga. Namanya prediksi virus masih belum bisa sejalan dengan ilmu pengetahuan. Ini hal yang umum. Itulah namanya prediksi. Bukan tebakan pasti," kata Rully saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Rabu (1/7/2020) sore.
Rully mengatakan tak hanya Indonesia saja yang meleset, negara lain pun demikian. Selain itu, imbuhnya, faktor lain pun memiliki kontribusi sehingga bisa meleset, contohnya seperti warga yang tak patuh dengan aturan negara masing-masing.
"Ini enggak cuma Indonesia aja yang meleset. Waktu itu kan prediksinya selesai di bulan Juni, dengan disclaimer semua warga patuh dengan metode masing-masing negara, mulai dari lockdown hingga PSBB. Ada faktor di luar prediksi juga yang membuat meleset," katanya.
Wartawan Tirto sudah mencoba menghubungi juru bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, terkait prediksi yang meleset ini. Namun, hingga Kamis sore tak ada respons sama sekali. Pesan WhatsApp hanya dibaca saja.
Tak Perlu Didengar
Ketua Departemen Epidemiologi FKM UI, Tri Yunus Miko Wahyono, menilai permodelan BIN gagal karena variabel-variabelnya sukar diteliti.
"[Puncak kasus] Juni atau Juli sudah tidak berlaku. Karena PSBB berubah-ubah," ujarnya kepada Tirto, Kamis (2/7/2020) siang.
Ketika kebijakan PSBB masih menutup akses orang-orang untuk berkegiatan di luar rumah dan lini sektor ekonomi juga masih tertutup, hal tersebut sangat memudahkan untuk dibuatkan pemodelan.
Pemodelan kian sulit dilakukan ketika PSBB perlahan direlaksasi. Orang-orang mulai beraktivitas normal bahkan kerumunan-kerumunan yang tak ada hubungannya dengan perekonomian, seperti pembukaan Car Free Day.
"Jadi beda orang-orang kumpulnya. Sekarang sudah seperti ini, jadi repot," ujarnya.
Ia tak mempersoalkan apabila dampak relaksasi PSBB sektor perekonomian dibuka perlahanan, selagi protokol kesehatan tetap diutamakan. Namun, ia menyesalkan aktivitas-aktivitas yang tak ada hubungannya dengan ekonomi juga turut diperbolehkan.
"Kalau bisa kerumunan yang tidak ada dampak ekonominya seperti CFD ditiadakan saja," ujarnya.
Di luar faktor relaksasi PSBB, sigi Corona tak berguna daripada fokus menangani. Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai ketidakuratan prediksi karena berasal dari asumsi yang salah.
Oleh karena itu, menurut Pandu, seharusnya prediksi-prediksi semacam itu tak perlu ditanggapi secara serius.
"Prediksi tersebut tidak perlu diperhatikan. Tidak membawa manfaat. Apa coba manfaatnya?" kata Pandu.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali