tirto.id - Boneka beruang itu sudah jadi milik adik saya sejak dirinya masih duduk di bangku SD. Warna bulunya sudah tak setajam dulu. Hidungnya sudah tak utuh. Pita hijau yang melingkar di lehernya sudah compang-camping. Tulisan nama yang terjahit di kakinya pun sudah tak lagi bisa dibaca. Akan tetapi, hingga kini usia adik saya sudah mendekati 30 tahun, boneka tersebut tak pernah tersingkir dari tempat tidurnya.
Memang ada sesuatu yang ajaib lagi nostalgik dalam sosok boneka beruang seperti itu. Wujudnya sebenarnya pasaran. Selain itu, tak seperti action figure yang bisa digerakkan sedemikian rupa, boneka beruang punya keterbatasan dalam "bermanuver". Akan tetapi, tak seperti action figure yang keras dan kaku, boneka beruang mampu menawarkan sesuatu yang tak bisa diukur dengan label harga: kehangatan dan rasa aman.
Pertanyaannya, apa sebenarnya yang membuat benda mati seperti itu bisa memunculkan rasa yang begitu dalam?
Sejarah dan Popularitas Teddy Bear
Asal-usul boneka beruang atau Teddy Bear dapat ditelusuri ke tahun 1902. Saat itu, Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt menolak menembak seekor beruang yang sudah terikat dalam sebuah perburuan di Mississippi, sebuah peristiwa yang kemudian digambarkan dalam kartun politik karya Clifford Berryman di The Washington Post.
Seorang pedagang mainan di Brooklyn, Morris Michtom, lalu membuat boneka beruang kecil dan menamainya “Teddy Bear” setelah mendapat izin dari Roosevelt. Hampir bersamaan, di Jerman, Richard Steiff dari perusahaan Steiff meluncurkan desain boneka beruang yang juga sukses besar di pasar internasional. Dari sinilah lahir ikon global yang kemudian dikenal sebagai Teddy Bear.
Di tengah persaingan mainan modern dan gawai digital, Teddy Bear tetap bertahan sebagai salah satu produk paling laris. Pada 2024, nilai pasar globalnya diperkirakan mencapai 6,26 miliar dolar AS dan naik menjadi 6,45 miliar dolar AS pada 2025. Proyeksi ke depan juga menunjukkan tren stabil: pasar ini diprediksi mencapai 7,79 miliar dolar AS pada 2032, dengan laju pertumbuhan tahunan sekitar 3 persen.
Pendorongnya beragam. Mulai dari penjualan daring yang terus meningkat, hadirnya edisi koleksi atau edisi terbatas, serta tren personalisasi dan penggunaan bahan ramah lingkungan. Popularitas Teddy Bear juga semakin luas karena tidak hanya diminati anak-anak, tetapi juga orang dewasa, baik sebagai koleksi, hadiah, maupun sarana terapi.
Apa Kata Sains?
Sebuah studi berskala besar yang terbit pada 2025 di The Journal of Positive Psychology mencoba menjawab "misteri" di balik popularitas Teddy Bear yang mendunia itu. Apa sebenarnya yang membuat boneka ini jadi punya posisi istimewa?
Para peneliti mengumpulkan 11.188 partisipan dengan rentang usia sangat lebar, dari balita hingga lansia, lalu meminta mereka menilai 436 foto boneka beruang. Setiap orang diminta memilih mana yang terlihat paling indah, paling nyaman, dan paling memunculkan keinginan untuk dirawat. Dari ribuan penilaian ini, para peneliti menyusun peta lengkap tentang bagaimana manusia memahami cuteness (keimutan).
Hasilnya mengejutkan sekaligus masuk akal. Cuteness ternyata tidak semata-mata soal rupa. Ia lahir dari tiga unsur yang saling berkait: keindahan visual, kenyamanan yang dirasakan, dan dorongan untuk melindungi. Namun, di antara ketiganya, kenyamanan muncul sebagai faktor paling dominan. Analisis statistik menunjukkan bahwa lebih dari separuh variasi dalam penilaian keimutan dijelaskan oleh rasa nyaman yang terpancar dari boneka. Baru setelah itu menyusul keindahan rupa dan dorongan melindungi.
Menariknya, rasa nyaman ini bukanlah hasil pengalaman memeluk boneka secara langsung, melainkan hasil persepsi visual. Partisipan bisa “merasakan” kelembutan hanya dengan melihat foto. Di sinilah bulu memainkan peran penting. Boneka dengan bulu lebih panjang, halus, dan terlihat empuk langsung diasosiasikan dengan kenyamanan.
Efeknya sangat kuat. Pada titik tertentu, semakin lembut tampilannya, semakin tinggi pula skor imut yang diberikan, sebelum akhirnya mencapai titik jenuh. Ini artinya, mata manusia mampu menghubungkan apa yang dilihat dengan sensasi sentuhan yang sebenarnya tak terjadi.
Selain tekstur, anatomi wajah dan tubuh juga ikut menentukan. Boneka dengan mata relatif besar dan moncong kecil biasanya dianggap lebih menggemaskan karena mendekati ciri bayi. Namun, pada orang dewasa, efek ini memiliki batas. Mata yang terlalu besar, misalnya, justru menurunkan penilaian karena dianggap berlebihan.
Bagi orang dewasa, boneka yang paling menarik adalah yang punya ciri-ciri Teddy Bear "klasik". Yakni, Teddy Bear dengan bulu cokelat atau krem, proporsi wajah seimbang, ekspresi lembut, dan tubuh gempal yang enak dipeluk. Sementara, bagi anak-anak, penilaiannya berbeda. Mereka lebih terbuka pada variasi, mulai dari warna-warna terang seperti merah muda atau hijau, kontras mencolok seperti panda hitam-putih, bahkan bentuk yang kurang "klasik" sekalipun bisa mereka sukai. Perbedaan preferensi ini menunjukkan bahwa definisi imut bisa bergeser sesuai usia, meski benang merahnya tetap sama, yaitu rasa nyaman.
Kondisi boneka pun memengaruhi penilaian. Boneka yang tampak lusuh, sobek, atau kehilangan bentuk cenderung dianggap kurang imut. Hal ini menguatkan gagasan tentang “functional beauty”, di mana suatu objek dipandang indah sejauh ia masih terlihat bisa menjalankan fungsi dasarnya.
Dalam konteks Teddy Bear, fungsi itu adalah memberi kenyamanan. Boneka yang tampak rusak dianggap gagal menjalankan fungsi tersebut, meski bagi pemiliknya boneka lama bisa penuh kenangan. Artinya, secara psikologis, cuteness bukan sekadar rasa iba, melainkan gabungan dari fungsi dan estetika.
Temuan penting lain dari riset ini adalah bagaimana cuteness dapat menghidupkan dorongan prososial. Dalam studi ini, dimensi kenyamanan dan keindahan ternyata sangat berkorelasi dengan munculnya rasa ingin melindungi. Dengan kata lain, ketika seseorang melihat Teddy Bear yang tampak lembut dan menyenangkan, ia tidak hanya menilai itu indah, tapi juga terdorong untuk merawat.
Dari data yang sangat luas ini, kita mendapat gambaran baru tentang kekuatan sebuah boneka beruang. Ia bukan hanya mainan atau barang nostalgia, melainkan objek yang secara visual dirancang untuk menghubungkan indra dengan emosi: mata melihat kelembutan, otak membayangkan kehangatan, sehingga hati pun tergerak untuk melindungi.
Praktik di Dunia Nyata
Temuan ini memberi penjelasan ilmiah atas fenomena yang sudah lama kita saksikan sehari-hari. Bukan kebetulan jika boneka beruang sering dipakai dalam situasi penuh kecemasan. Di rumah sakit anak, misalnya, program Teddy Bear Hospital memperlihatkan bagaimana mainan sederhana dapat membantu pasien cilik menghadapi prosedur medis yang menegangkan. Boneka itu berfungsi sebagai jembatan: anak merasa lebih tenang karena seakan-akan bukan dirinya yang diperiksa, melainkan "Teddy"-nya.
Di sisi lain, penelitian juga menemukan bahwa menyentuh boneka dapat mengurangi rasa terasing pada orang dewasa. Dalam uji laboratorium, orang yang sebelumnya dibuat merasa dikucilkan melaporkan lebih sedikit emosi negatif setelah memegang Teddy Bear. Ini menguatkan gagasan bahwa cuteness dan rasa nyaman bukan sekadar soal estetika, melainkan juga berperan sebagai penyangga psikologis.
Manfaatnya bahkan meluas ke kelompok lansia. Studi-studi di panti jompo menunjukkan bahwa kehadiran boneka beruang mampu menurunkan gejala kesepian, kecemasan, hingga depresi ringan. Pada penderita demensia, boneka berbulu sering kali menjadi sumber keakraban yang memicu kembali respons kasih sayang. Bagi mereka, memeluk Teddy Bear berarti mendapat kesempatan untuk merasakan kontak emosional yang aman dan konsisten.
Lebih jauh, para peneliti berpendapat bahwa Teddy Bear bisa menjadi alat edukasi untuk menumbuhkan empati sejak dini. Ketika anak diminta berbagi bonekanya untuk menenangkan teman yang sedih, ia sebenarnya sedang berlatih perilaku prososial. Logika yang sama dapat diperluas ke ranah yang lebih luas, misalnya pendidikan lingkungan. Dengan desain yang tepat, boneka bisa mewakili hewan yang kurang populer atau dianggap “tidak imut”, sehingga membantu menumbuhkan dorongan melindungi spesies tersebut.
Ini artinya, rahasia popularitas Teddy Bear bukan terletak pada pita di leher atau warna bulunya, apalagi mereknya, melainkan pada kemampuannya mengaktifkan naluri paling dasar manusia: mencari kenyamanan dan melindungi. Dari kisah Roosevelt di abad ke-20 hingga riset psikologi modern, boneka beruang telah membuktikan bahwa ia bukan sekadar mainan anak-anak. Ia adalah medium yang terus-menerus menghubungkan sentuhan dengan emosi, nostalgia dengan rasa aman, dan imajinasi dengan empati.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id







































