tirto.id - Saya berusaha mengamalkan ajaran Islam secara tulus ikhlas dalam kehidupan dunia ini. Bagaimana pun, ikhlas adalah syarat diterimanya setiap amal. Tapi benarkah saya ikhlas? Hanya Allah Yang Maha Tahu.
Ketulusan beramal adalah rahasia antara Tuhan dengan manusia. Bisa jadi seseorang telah menduga dirinya ikhlas, tetapi Allah menilainya masih berkekurangan.
Lawan dari “ikhlas” adalah “riya” atau “pamrih”. Sifat ini pun sangat tersembunyi dan sering kali tidak dapat kita rasakan. Riya dilukiskan bagaikan semut hitam kecil berjalan di atas batu licin di tengah gelapnya malam. Dapatkah hal itu kita rasakan?
Karena hal itulah maka yang mestinya kita andalkan bukanlah amal kebaikan yang kita perbuat, melainkan rahmat dan kasih sayang Allah setelah beramal sekuat kemampuan.
Yang kita andalkan adalah pengampunan-Nya, bukan keadilan-Nya. Karena Rahmat-Nya mengalahkan amarah-Nya. Pengampunan-Nya lebih luas daripada dosa-dosa para hamba-Nya.
Keikhlasan adalah inti keberagamaan. Bisa jadi Anda menemukan orang-orang yang kenyataan kesehariannya biasa-biasa saja. Pada dirinya tidak tampak bentuk-bentuk lahir dari amal-amal keagamaan. Pakaiannya serupa dengan yang dipakai orang kebanyakan, kegiatannya pun tidak jauh berbeda dengan siapa pun. Bisa jadi ia tidak berpuasa dan salat sunnah. Tapi ternyata keberagamaan dan kedudukannya di sisi Allah melebihi banyak orang.
Sebaliknya kita dapat menemukan orang-orang yang menampilkan diri dalam bentuk-bentuk yang memberi kesan keberagamaan yang kuat, seperti pakaian dan cara memakainya atau melakukan amar makruf dan nahy munkar dengan bahasa indah dan tegas. Bisa jadi ada tanda hitam di dahinya, yang mengesankan banyak sujud. Tapi itu semua dapat saja tidak bernilai di sisi Allah SWT.
Penulis yakin banyak jalan menuju ke surga. Bila seseorang telah memercayai rukun iman dan melaksanakan rukun Islam, walau secara minimal, dan berakhlak baik sesuai tuntunan Allah walau tidak mencapai puncak akhlak, maka jalan apa pun yang dia tempuh selama bercirikan kedamaian akan dapat mengantarnya ke tempat istimewa di sisi Allah SWT.
Ketika sebagian sahabat yang mengikuti Nabi SAW berdiri lama dalam shalat malam sehingga melelahkan, bahkan mengakibatkan sebagian mereka sakit, Allah berpesan untuk memberikan alternatif pengganti salat malam. Di antaranya menempuh cara-cara lain yang tidak memberatkan, seperti membaca al-Qur’an (menuntut ilmu/belajar), melaksanakan salat sunnah yang mudah selain tahajud, bersedekah bahkan melakukan pekerjaan bai kapa pun, sesuai dengan kecenderungan dan kesenangan hati setiap orang (baca QS. Al-Muzzammil, 73:20).
Demikianlah yang saya pahami dari ajaran Islam. Itu pula yang saya upayakan untuk mengamalkannya dalam beragama, sambil menikmati anugerah Allah yang berlimpah di dunia ini dalam aneka bentuk kenikmatan dan kelezatan yang tidak menghambat perjalanan menuju akhirat.
Penulis menikmati musik, sesekali menari (zapin) bersama teman-teman pria, bercanda, bahkan bangun tengah malam menonton pertandingan sepakbola.
Memang, agama sama sekali tidak melarang kita menikmati yang baik dan indah dari anugerah Allah yang terhampar. Bahkan Allah melarang mengharamkan apa atas diri seseorang apa pun dari aneka kenikmatan yang Dia anugerahkan kepada manusia.” (baca QS. Al-Maidah, 5:87).
Guru kami di al-Azhar, Mesir, Syekh Muhammad Al-Ghazaly (1917-1966 M) menguraikan keberagamaannya dengan berkata: “Saya seorang muslim, menyenangi kehidupan dan menikmati aneka kelezatan dan kenikmatannya. Allah menampung saya sebagai tamu di persada bumi ini dan menganugerahi saya aneka nikmat-Nya. Sungguh satu kepicikan bila saya menolak hidangan Ilahi itu sebagaimana kepicikan tidak mensyukurinya.”
Demikian. Wa Allah A’lam.
======
*) Naskah diambil dari buku "Islam yang Saya Anut" yang diterbitkan penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS