tirto.id - Banyak kalangan aviasi yang pesimistis ketika Rusdi Kirana mendirikan sebuah maskapai penerbangan pada medio 1999. Apalagi, maskapai yang ingin dibangun pria asal Cirebon ini adalah maskapai dengan tarif murah.
Dari segi pengalaman, Rusdi juga tak meyakinkan. Satu-satunya pengalaman pria asal Cirebon di bisnis maskapai adalah sebagai mantan calo tiket di Bandara Soekarno-Hatta. Namun ia tidak peduli, toh sejak awal Rusdi sudah memperhitungkan semuanya, khususnya soal biaya operasi.
Hasilnya positif. Bisnis maskapai Rusdi terus berkembang seiring dengan jumlah pesawat yang bertambah. Pada 2001, Lion Air hanya mengangkut 181.840 penumpang. Selang lima tahun, penumpang yang diangkut Lion melonjak menjadi 6,63 juta orang.
Namun, dalam perjalanannya Rusdi kerap diterpa isu-isu miring, di antaranya adalah bahwa bisnis Lion Air sebenarnya sedang merugi. Namun isu itu ditangkis Rusdi. "Kalau gue rugi, kenapa gue bayar pajak," katanya dikutip dari buku 50 Great Business Ideas From Indonesia (2009) karangan M. Ma’ruf.
Isu Lion Air yang merugi kembali muncul ke permukaan baru-baru ini. Pemicunya, maskapai berlogo Singa Merah ini diketahui mengajukan permohonan penundaan pembayaran tagihan kepada PT Angkasa Pura (AP) I.
Tagihan yang ditunda pembayarannya tersebut termasuk sewa ruangan dan lahan, biaya parkir pesawat, biaya pendaratan, garbarata, check in counter hingga baggage handling system. Permohonan itu dilatarbelakangi adanya tekanan keuangan di bisnis maskapai. Salah satunya karena pendapatan yang tak tercapai akibat harga jual tiket yang rendah, dan tidak sebanding dengan kenaikan biaya operasional.
Dikonfirmasi terkait permohonan penundaan pembayaran itu, Corporate Communication Strategic Lion Air Grup Danang Mandala Prihantoro tak membantah. Menurutnya, Lion Air memang memiliki kesepakatan dengan AP I untuk pembayaran kewajiban periode Januari-Maret 2019.
"Saat ini, pembayaran kewajiban Januari-Maret 2019 tersebut sudah dilaksanakan, dan untuk pembayaran kewajiban April dan seterusnya dilakukan secara normal [tidak ada penundaan]" kata Danang kepada Tirto.
Manajemen AP I juga mengakui bahwa Lion Air mengajukan surat permohonan penundaan pembayaran kewajiban kepada perusahaan. Menurut informasi mereka, surat itu diterima AP I pada Februari 2019.
Tak ayal, kemunculan surat penundaan pembayaran tersebut menimbulkan anggapan bahwa Lion Air saat ini sedang kesulitan keuangan. Lantas, benarkah bisnis maskapai dari Lion Air Grup ini sedang merugi ?
Tahun yang Sulit
Tahun 2018 memang menjadi tahun penuh tantangan bagi industri penerbangan. Komponen biaya yang membengkak — di antaranya seperti bahan bakar pesawat atau avtur — membuat biaya operasional juga meningkat.
Tekanan cost yang besar terhadap industri penerbangan pada akhirnya berdampak negatif terhadap kinerja keuangan maskapai. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan hampir semua maskapai domestik membukukan kerugian sepanjang 2018.
"Dari laporan keuangan terakhir, [pada] 2018 banyak yang rugi. Enggak ada yang untung malahan. Air Asia juga, [ruginya] hampir Rp1 triliun kalau enggak salah. Sampai ekuitinya negatif," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Udara Kemenhub Polana Banguningsih Pramesti.
Sayang, Polana tak merinci daftar maskapai yang untung atau rugi itu. Ia hanya mengatakan Kemenhub sedang melakukan kajian terkait kondisi keuangan maskapai dalam negeri yang terus memburuk itu.
Salah satu maskapai yang merugi adalah PT Garuda Indonesia Tbk. Sepanjang 2018, Garuda mencatatkan rugi usaha sebesar US$206 juta. Namun, lantaran ada pemasukan dari selisih kurs dan pendapatan lain-lain senilai US$306 juta, rugi itu berbalik menjadi laba bersih sebesar US$5,02 juta.
Kondisi yang merugi juga dialami AirAsia. Sepanjang 2018, maskapai yang memiliki slogan 'Now Everyone Can Fly' ini membukukan rugi usaha Rp998 miliar, berbanding terbalik dari tahun sebelumnya yang meraup laba senilai Rp348 miliar.
Sayangnya, informasi terkait kondisi keuangan Lion Air tidak terbuka untuk publik lantaran maskapai bertarif rendah tersebut juga bukan merupakan perusahaan terbuka atau melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun yang jelas, Lion Air merupakan market leader dalam bisnis maskapai. Lion Air Grup memiliki pangsa pasar domestik hingga 51 persen sepanjang 2018 atau lebih besar ketimbang Garuda Indonesia Grup sebanyak 34 persen.
Jumlah penumpang yang diangkut Lion Air Grup sepanjang 2018 juga tumbuh positif sebesar 5 persen menjadi 51,72 juta penumpang. Capaian ini kurang lebih sama seperti penumpang Garuda Indonesia Grup yang naik 6 persen menjadi 33,87 juta orang.
Membaik di 2019?
Pada 2019 ini, situasi keuangan maskapai Singa Merah itu tampaknya memang kian berat. Pasalnya, jumlah penumpang yang diangkut Lion Air turun drastis sepanjang tiga bulan pertama ini.
Berdasarkan data Kemenhub, penumpang Lion Air turun 35 persen menjadi 5,45 juta orang sepanjang kuartal I/2019 year-on-year (y-o-y). Turunnya jumlah penumpang juga terjadi di maskapai Lion Air Grup lainnya seperti Wings Air dan Batik Air.
Untuk Wings Air, jumlah penumpang yang diangkut mencapai 1,31 juta orang, atau turun 20 persen. Lalu, Batik Air turun 14 persen menjadi 2,47 juta penumpang. Total, Lion Air Grup mengangkut 9,24 juta penumpang, turun 28 persen dari kuartal I/2018.
Pengamat Aviasi dari CommunicAvia Gerry Soejatman menilai surat permohonan penundaan pembayaran dan jumlah penumpang yang menurun belum cukup kuat untuk menunjukkan rapor keuangan Lion Air memerah.
"Karena kan sejak awal tahun ini harga tiket pesawat itu naik. Belum lagi, Lion Air tidak lagi menggratiskan fasilitas bagasi. Itu mungkin bisa mengkompensasi penumpang yang hilang. Kondisinya saya kira pas-pasan (untung tipis)," katanya kepada Tirto.
Apa yang dikatakan Gerry bisa jadi benar. Jika menilik kinerja keuangan PT Garuda Indonesia Tbk, sepanjang kuartal pertama 2019, maskapai full services tersebut justru membukukan laba bersih sebesar US$19,73 juta.
Padahal, penumpang Garuda pada kuartal I/2019 mengalami penurunan, meski lebih rendah ketimbang Lion Air. Maskapai BUMN itu mengangkut 3,5 juta penumpang sepanjang kuartal I/2019, atau turun 23 persen dari kuartal I/2018.
Penumpang maskapai Citilink — anak usaha Garuda Indonesia — juga turun, yakni sebesar 5 persen menjadi 3 juta penumpang. Secara total, penumpang Garuda Indonesia Grup mencapai 6,5 juta penumpang, turun 15 persen.
Harga tiket pesawat yang melambung tinggi sejak awal tahun ini dianggap menjadi penyebab utama Garuda bisa meraup untung sepanjang kuartal pertama. Dengan harga tiket yang naik, Garuda berhasil mengkompensasi penurunan penumpang.
Melonjaknya harga tiket, khususnya dari maskapai bertarif rendah membuat tarif yang dipatok tidak berbeda jauh dengan maskapai full services. Ambil contoh harga tiket pada penerbangan Jakarta-Surabaya periode 14 Juni 2019.
Berdasarkan harga dari Traveloka, Lion Air mematok harga tiket sekitar Rp900.000,. LCC lainnya, Citilink mematok Rp1,1 juta. Harga dari kedua LCC itu tidak berbeda jauh dengan maskapai full services seperti Garuda yang mematok Rp1,4 juta atau Batik sebesar Rp1,18 juta.
Sulit untuk memastikan apakah Lion Air meraup untung atau tidak sepanjang kuartal pertama ini. Namun, jika melihat kinerja Garuda, harga tiket yang naik plus adanya bagasi berbayar, tak menutup kemungkinan Lion Air justru masih untung.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara