tirto.id - Maskapai penerbangan Garuda Indonesia adalah penguasa pasar angkutan udara di Indonesia setidaknya sampai akhir 1990-an. Namun, dominasi itu perlahan bergeser semenjak kehadiran Lion Air di bawah kendali pengusaha Rusdi Kirana yang kini sebagai pemilik Lion Air Group.
Pria berkumis tebal asal Cirebon ini mendirikan Lion Air pada 1999. Lion Air mulai melakukan penerbangan perdana pada Juli 2000 untuk rute Jakarta-Pontianak. Saat Lion Air mulai mengudara, banyak kalangan dunia aviasi pesimistis Lion Air bisa bertahan lama. Rusdi dinilai tidak memiliki pengalaman yang mumpuni dalam menjalankan bisnis penerbangan.
Saat itu memang banyak maskapai yang bermunculan antara lain Awair dan Indonesian Air yang rontok tak lama setelah resmi beroperasi. Posisi Lion Air yang dianggap sebelah mata kala itu memang cukup wajar.
Pengalaman Rusdi di bisnis penerbangan hanya sebatas di bisnis agen travel, seperti diulas M. Ma’ruf dalam buku “50 Great Business Ideas From Indonesia” (2009). Pada tahun pertama Lion Air (2001), maskapai yang memiliki slogan ‘We Make People Fly’ hanya mengangkut 181.840 penumpang. Jumlah tersebut sangat jauh dengan Garuda Indonesia yang berhasil mengangkut 4,40 juta penumpang pada tahun yang sama.
Seiring dengan jumlah armada yang terus bertambah, Lion Air pelan-pelan mulai menyalip Garuda dari sisi jumlah penumpang. Lion Air hanya butuh waktu lima tahun untuk membayangi Garuda. Jumlah penumpang yang diangkut Lion Air pada 2006 mencapai 6,63 juta orang, beda tipis dengan Garuda sebanyak 6,95 juta orang. Pada tahun itu, pangsa pasar Garuda sebesar 21 persen, dan Lion Air 20 persen dari total penumpang domestik sebanyak 33,68 juta penumpang.
Lion Menyalip Garuda
Indonesia salah satu pasar penerbangan domestik terbesar dan berkembang pesat di dunia. Dalam 12 tahun, pengguna angkutan udara tumbuh lebih dari tiga kali lipat dari 30 juta orang (2005) menjadi 97 juta orang (2017).
Menurut CAPA-Centre for Aviation, Indonesia menjadi negara ke-5 dengan pasar domestik terbesar di dunia setelah AS, Cina, India, dan Jepang. Indonesia menumbangkan Brazil yang sebelumnya berada di peringkat kelima.
Sepanjang periode 2005-2017, komposisi pangsa pasar penerbangan domestik juga berubah signifikan. Saat 2005, tidak ada satupun maskapai yang memiliki pangsa pasar penumpang domestik di atas 25 persen.
Namun, saat ini pangsa pasar penerbangan domestik hanya dikuasai oleh dua maskapai saja, yakni Garuda dan Lion Air. Kedua maskapai itu kini berkembang sebagai entitas grup yang besar membawahi beberapa merek perusahaan penerbangan.
Berdasarkan data yang diterima Tirto dari Kementerian Perhubungan, Lion Air Group berhasil mengangkut 51,72 juta penumpang pada 2018 atau 51 persen dari total jumlah penumpang domestik sebanyak 101,13 juta penumpang.
Capaian tersebut jauh lebih tinggi ketimbang Garuda Indonesia Group yang mengangkut 33,86 juta penumpang atau 34 persen dari total jumlah penumpang domestik. Namun, pangsa pasar Garuda bisa lebih besar dari itu.
Garuda Indonesia Group saat sudah mengambil alih kegiatan operasi Sriwijaya Air dan NAM Air. Apabila pasar dari kedua maskapai ini dihitung, maka pangsa pasar Garuda bisa melonjak menjadi 46 persen. Namun, Lion Air Group masih tetap unggul.
“Langkah sinergi antara Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Group akan membantu dalam mengelola pangsa pasar penumpang angkutan udara hingga 51 persen,” kata Dirut PT Garuda Indonesia Tbk. Ari Askhara dikutip dari Antara.
Selain mengungguli Garuda dari sisi jumlah penumpang, maskapai berlogo Singa Merah juga lebih kinclong pada aspek lainnya, mulai dari jumlah armada, rute atau destinasi hingga membuka cabang di luar negeri.
Hingga akhir 2018, jumlah pesawat Garuda Indonesia Group tercatat sebanyak 203 unit (PDF), antara lain 84 pesawat Boeing, 24 pesawat Airbus, 17 pesawat ATR, dan 10 pesawat Bombardier.
Sementara itu, armada Lion Air Group tercatat 283 unit, antara lain terdiri dari 26 pesawat Cessna asal AS, 192 pesawat Boeing, 48 pesawat Airbus, dan 13 pesawat ATR. Selain itu, Lion Air juga memiliki 4 pesawat charter.
Dari sisi jumlah rute, Garuda tercatat memiliki 150 rute yang terdiri dari 110 rute domestik dan 40 rute internasional. Jumlah tersebut masih kalah dengan Lion Air yang memiliki 180 rute yang terdiri dari rute domestik dan internasional.
Lion Air juga unggul jika bicara soal urusan buka cabang di luar negeri. Lion Air Group membuka bisnis maskapai di negara-negara tetangga dengan bekerja sama dengan pengusaha lokal di antaranya seperti Malindo Air (Malaysia) dan Thai Lion (Thailand).
Lion Air juga membidik untuk buka cabang di tiga negara lainnya, seperti Australia, India dan Vietnam. Berbanding terbalik, Garuda hingga saat ini masih tidak memiliki satupun cabang di luar negeri.
“Kami ingin berkembang terus, karena kami melihat pasar satu ASEAN sudah terjadi. Nanti, bakal ada pasar satu Asia, dan pasar dunia. Tapi, kami akan fokus dulu di ASEAN,” tutur Dirut Lion Air Grup Edward Sirait dikutip dari Bisnis.
Namun, Lion Air Group juga punya kelemahan. Selama ini, maskapai mereka terutama Lion Air dikenal memiliki pelayanan yang buruk dibandingkan Garuda, terutama terkait ketepatan waktu atau on time performance (OTP).
Pelayanan yang buruk bahkan pernah diakui sang pemilik. Dalam wawancara dengan jurnalis Angkasa, Rusdi pernah berkata dalam bahasa Inggris, “Pesawat saya terburuk di dunia, tapi kamu tak punya pilihan lain.”
Ibarat yang pernah diucapkan oleh Rusdi Kirana, industri penerbangan di Indonesia saat ini memang "tak punya pilihan lain" dalam arti, tiga grup besar yang selama ini menjadi pilar industri penerbangan sudah mengerucut pada Lion Group dan Garuda Group. Ini terjadi setelah Sriwijaya Group berada di bawah konsolidasi dengan Garuda. Saat kenaikan tarif tiket pesawat, dugaan kartel tertuju kepada para penguasa pasar penerbangan saat ini. Ihwal ini terkait dengan kondisi bisnis penerbangan yang sedang terpuruk.
Masalah Lion Air dan Garuda
Pasar penerbangan domestik memang dikuasai dua kelompok besar yaitu Lion Air Group dan Garuda Group di saat bisnis penerbangan dalam dua tahun terakhir sedang tidak bagus. Merosotnya permintaan dan biaya operasional yang meningkat seperti kurs dolar yang sempat melonjak hingga kenaikan harga avtur, membuat keuangan maskapai berdarah-darah.
Garuda Group misalnya, sepanjang 2018, maskapai dengan kode emiten GIAA itu mencatatkan rugi usaha sebesar US$206 juta. Namun lantaran ada sumbangan dari keuntungan selisih kurs dan pendapatan lain-lain sebesar US$306 juta, Garuda Group akhirnya meraup laba bersih US$5,02 juta.
Di lain pihak, kondisi keuangan Lion Air tidak bisa diungkap secara pasti, karena maskapai ini bukan sebuah perusahaan terbuka. Namun, dugaan indikasi keuangan mereka yang berdarah-darah bisa terlihat dengan harga tiket yang makin mahal yang dijual Lion. Padahal maskapai mereka mengedepankan harga yang bisa terjangkau bagi konsumen.
Selain itu, fasilitas bagasi gratis juga mulai dihilangkan oleh Lion Air sejak awal 2019. Fasilitas yang hilang tentu menambah biaya konsumen pengguna jasa angkutan udara, namun di lain pihak ini juga menambah pundi-pundi pendapatan Lion Air.
Pasar penerbangan domestik memang diperkirakan masih akan terus tumbuh beberapa tahun ke depan, tentu saja di bawah dominasi pangsa pasar dua grup besar yaitu Garuda Indonesia dan Lion Air.
Editor: Suhendra