tirto.id - Pada bisnis maskapai penerbangan, keterisian kursi penumpang pesawat (load factor) tidak selalu penuh dalam setiap penerbangan. Bisnis penerbangan mengenal dua musim, yakni musim ramai (high season) dan musim sepi (low season) Januar-Maret.
Namun, ada juga untuk rute-rute tertentu, tingkat keterisian kursi penumpang selalu rendah. Ujung-ujungnya, maskapai rugi ketimbang untung. Namun, maskapai masih bisa ‘kuat’ untuk melayani rute penerbangan "kurus" karena akan ditutup oleh rute penerbangan yang ramai.
Belum lama ini Lion Air sempat kembali jadi buah bibir, ia dikabarkan hanya membawa tiga penumpang dalam penerbangan Padang ke Jakarta. Namun, kabar tersebut dibantah oleh manajemen Lion Air. Maskapai berlogo singa merah ini mengklaim bahwa jumlah penumpang yang diangkut maskapai pada 8 Februari 2019 tercatat di atas 100 penumpang.
“Ada tiga kali penerbangan dari Padang ke Jakarta. JT-253 mengangkut 104 penumpang, JT-353 ada 109 penumpang dan JT-357 sebanyak 205 penumpang,” kata Corporate Communications Strategic of Lion Air Danang Mandala dalam keterangan resmi.
Berdasarkan informasi flightradar24, tiga penerbangan itu menggunakan armada Boeing 737-900ER, yang menurut Lion punya konfigurasikan kelas ekonomi dengan total 215 kursi. Artinya tingkat keterisian penerbangan JT-253, JT-353, JT-357 masing-masing adalah 48,5 persen, 50,6 persen, dan 95,3 persen.
Kondisi yang sama juga dialami oleh Garuda Indonesia, pada musim paceklik kali ini mereka mengurangi penerbangan. Di Kalimantan misalnya, Garuda Bombardier CRJ 1000 sempat tidak melayani rute Tarakan karena sepi penumpang. Dari kapasitas 96 orang, ada yang terisi 30 persen bahkan di bawah 10 orang. Pada musim paceklik, jumlah penumpang minim jadi persoalan yang harus dihadapi maskapai penerbangan. Di Thailand, pernah ada penumpang yang merasakan naik pesawat seorang diri.
Lalu apakah maskapai penerbangan untung?
Tentu saja tidak. Dalam setiap penerbangan, ada biaya tetap yang harus dikeluarkan. Biaya tetap itu di antaranya seperti bahan bakar pesawat, gaji awak pesawat, asuransi, pajak, sewa pesawat, biaya bandara dan lain sebagainya. Nah, jika ingin untung atau paling tidak balik modal, maka pemasukan dari penumpang harus sama atau lebih besar dari biaya tiket penerbangan.
Margin untung untuk bisnis maskapai ini sangat tipis sekitar 3-5 persen. Untuk itu, maskapai melakukan berbagai cara agar keterisian penumpang diusahakan tetap tinggi.
Layaknya bisnis pada umumnya. Maskapai juga memiliki hitungan berapa tingkat keterisian penumpang agar biaya penerbangan tertutupi. Hitungan ini dinamakan break even load factor atau tingkat keterisian impas.
Mengingat pendapatan dan biaya penerbangan setiap maskapai berbeda-beda, maka titik impas juga bisa berbeda. Kenaikan biaya akan menaikkan titik impas. Sebaliknya, menaikkan harga tiket akan menurunkan titik impas.
Untuk itu, maskapai biasanya beroperasi sangat dekat dengan faktor muatan impas mereka. Penjualan satu atau dua kursi tambahan di setiap penerbangan dapat berarti perbedaan antara laba dan rugi untuk maskapai.
Kabar Buruk Buat Maskapai
Beberapa tahun belakangan ini, maskapai penerbangan memang sedang menghadapi tekanan yang hebat, terutama maskapai di Indonesia. Mulai dari harga avtur yang semakin tinggi, kurs dolar yang fluktuatif, dan biaya-biaya lainnya yang ikut meningkat.
Kondisi ini membuat maskapai mulai mengerek harga tiket, termasuk mengenakan biaya terhadap bagasi penumpang atau biasa disebut bagasi berbayar dengan tujuan untuk menahan terkikisnya margin. Data yang dirilis oleh Asosiasi Angkutan Udara Internasional (The International Air Transport Association/IATA), menunjukkan pertumbuhan tingkat titik keterisian impas secara global para maskapai penerbangan dalam tiga tahun terakhir ini meningkat cukup tajam ketimbang dibandingkan pertumbuhan keterisian penumpang.
Di Asia Pasifik, rata-rata titik keterisian impas maskapai pada 2018 sebesar 68,4 persen atau naik 3,6 persen dari 2016 sebesar 64,8 persen. Sementara rata-rata keterisian penumpang hanya naik 2 persen menjadi 72,7 persen dari sebelumnya 20,7 persen.
Di Amerika Utara, rata-rata titik keterisian impas maskapai pada 2018 mencapai 57,1 persen atau naik 2,8 persen dari 2016 sebesar 54,3 persen. Sementara rata-rata keterisian penumpang hanya naik 0,5 persen menjadi 63,4 persen. Di Timur Tengah, rata-rata titik keterisian impas maskapai mencapai 62,7 persen naik 1 persen dari 2016 sebesar 61,7 persen. Sementara di Eropa, rata-rata titik keterisian impas maskapai sebesar 69,3 persen atau naik 1,2 persen.
Namun, tingkat keterisian penumpang yang berada di atas titik keterisian impas belum tentu membuat untung. Garuda Indonesia misalnya, mencatatkan rugi sebesar US$213,4 juta pada 2017 meski tingkat keterisian penumpang menembus 74 persen atau di atas titik keterisian impas sebesar 68 persen.
“Secara teori bisa untung, namun memang enggak sesederhana itu. Harga tiket kan dinamis, maka titik impas juga dinamis. Sementara penumpang pengennya harga murah,” kata analis penerbangan dari CommunicAvia Gerry Soejatman kepada Tirto.
Menurutnya, harga tiket memiliki pengaruh yang signifikan dalam mencapai titik keterisian impas bagi maskapai penerbangan. Apabila harga tiket mahal, maka titik keterisian impas bisa rendah. Sebaliknya, harga tiket murah, maka titik keterisian impas bisa lebih tinggi.
Bisnis angkutan udara juga musiman. Pada musim ramai, titik keterisian impas bisa dengan mudah untuk dilampaui. Namun saat sepi, titik impas akan sangat sulit untuk dicapai.
Editor: Suhendra