tirto.id - Memasuki tahun 2019, maskapai penerbangan nasional langsung tancap gas untuk menggaet penumpang sebanyak-banyaknya. Di bulan pertama Tahun Babi Tanah ini, mereka kompak menawarkan harga tiket promo dan diskon.
Garuda Indonesia misalnya, menawarkan harga tiket dengan diskon 50-70 persen mulai dari 26 Januari hingga 1 Februari 2019. Promo tersebut berlaku untuk perjalanan pada periode 26 Januari sampai dengan 15 Desember 2019. Promo ini dikemas dalam rangka ulang tahun ke-70.
Citilink—anak usaha Garuda Indonesia—juga tidak ingin ketinggalan. Maskapai yang identik dengan warna hijau ini menawarkan diskon hingga 30 persen untuk periode perjalanan dari 26 Januari sampai dengan 30 Juni 2019.
Selain Garuda Indonesia Grup, Sriwijaya Air dan AirAsia Indonesia juga menawarkan harga promo di awal bulan ini. Hanya Lion Air Grup—meliputi Lion Air, Batik Air dan Wings Air—yang belum koar-koar menawarkan promo dan diskon.
Maskapai kompak mengeluarkan promo atau diskon sejak awal tahun ini bukan tanpa sebab. Permintaan jasa angkutan udara memang hanya ramai pada waktu tertentu saja atau peak season. Di luar itu, umumnya sepi penumpang atau masa paceklik alias low season.
Pada saat bersamaan, beban usaha yang dikeluarkan juga tidak banyak berubah, saat peak season maupun low season. Oleh karena itu, harga tarif pesawat biasanya dibuat murah atau terdiskon ketika musim sepi.
“Tingkat perishability (kerusakan) tinggi. Produk harus dipakai ketika diproduksi, dan tidak bisa disimpan. Kalau sudah terbang dan ada kursi yang tidak terjual, maskapai rugi,” kata Polana B. Pramesti, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub kepada Tirto.
Untuk itu, maskapai penerbangan kerap mengeluarkan promo dan diskon. Dari program promo itu, mereka berharap bisa menarik lebih banyak penumpang, sekaligus menutupi biaya operasional ketika low season yang biasanya setelah Natal dan Tahun Baru.
Maskapai penerbangan baru mendapatkan untung ketika peak season, dan rugi ketika low season. Ini juga yang mengakibatkan harga tiket melambung tinggi ketika peak season seperti yang terjadi pada libur Natal dan Tahun Baru maupun Lebaran.
"Penyakit" Arus Kas Maskapai Penerbangan
Selain untuk menutupi biaya operasional saat low season, program harga promo atau diskon dari maskapai penerbangan juga untuk menjaga arus kas (cash flow) maskapai. Menjaga cash flow bisa dinilai lebih penting ketimbang profit.
Arista Atmadjati dalam bukunya berjudul “Fenomena Perkembangan Bisnis Maskapai Di Indonesia” (hlm: 37) menyebutkan tujuan dari instrumen harga murah dari maskapai adalah untuk meraup uang segar sejak awal.
Hal ini juga untuk mengantisipasi keterisian kursi pesawat yang sangat mungkin bakal rendah ketika low season. Tanpa arus kas yang positif, maskapai penerbangan akan sulit membiayai operasional yang sudah terjadwalkan.
Arus kasseberapa pentingnya buat maskapai ?
Arus kas adalah aliran keluar masuk uang dalam suatu bisnis. Arus kas yang positif berarti perusahaan mampu melunasi utang, bisa berinvestasi kembali, membayar dividen, membayar biaya usaha dan menyiapkan cadangan uang.
Oleh karena itu, apabila arus kas terganggu, sangat mungkin usaha yang dijalankan terpaksa berhenti. Ini juga yang menjadi alasan mengapa maskapai penerbangan masih bisa bertahan, meski terus merugi.
PT Garuda Indonesia Tbk. misalnya. Akhir 2017, maskapai milik negara ini meraup rugi bersih sebesar US$213 juta. Tahun berikutnya, Garuda juga masih membukukan rugi. Hingga kuartal III-2018, Garuda mencatatkan rugi US$110 juta.
Pada saat bersamaan, arus kas Garuda masih positif. Hingga kuartal III-2018, kas dan setara kas Garuda tercatat US$273 juta. Meski begitu, trennya terus menurun. Akhir 2016, kas dan setara kas masih tercatat US$579 juta.
Meski begitu, Garuda menepis anggapan program promo dan diskon tidak serta merta untuk kepentingan arus kas perusahaan. Strategi promo dan diskon Garuda lebih diarahkan untuk menciptakan pasar.
“Jadi kami tidak perang harga. Harga tiket kami tetap premium. Promo dan diskon Garuda bukan menjadi strategi mengamankan cash flow,” kata Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan kepada Tirto.
Kondisi yang serupa juga terjadi di PT Airasia Indonesia Tbk. Maskapai bertarif rendah ini membukukan rugi sebesar Rp513 miliar pada akhir 2017. Tahun selanjutnya, AirAsia masih merugi, yakni sebesar Rp635 miliar hingga kuartal III-2018.
Walau merugi, arus kas AirAsia dalam dua tahun terakhir ini masih tercatat positif. Kas dan setara kas AirAsia hingga kuartal III/-2018 mencapai Rp78 miliar, turun 68 persen dari 2016 senilai Rp238 miliar.
Pentingnya arus kas agar tidak terganggu juga dikemukakan Derrald Stice, akademisi dari Hong Kong University of Science & Technology bersama Earl Stice dan James Stice dari Brigham Young University.
Dalam jurnal mereka berjudul ‘Cash Flow Problems Can Kill Profitable Companies’, tidak sedikit bisnis yang menjanjikan terpaksa bangkrut lebih dini lantaran tidak mampu mengelola arus kas perusahaan.
Menurut Stice, data arus kas masih sering diabaikan dalam suatu standar analisis keuangan. Alhasil, bisnis yang menguntungkan harus mati akibat persoalan arus kas, terutama pada saat fase awal (start up).
Menjaga arus kas saat ini memang menjadi tantangan bagi industri penerbangan. Berdasarkan data CSI Market, pertumbuhan arus kas bebas (free cash flow) industri penerbangan global pada kuartal III-2018 turun 25 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Arus kas bebas adalah sisa perhitungan arus kas yang dihasilkan suatu perusahaan di akhir periode keuangan—setelah membayar gaji, biaya produksi, tagihan, cicilan utang berikut bunganya, pajak, dan belanja modal.
Meski arus kas penting, profit sesungguhnya juga tidak kalah pentingnya bagi maskapai. Bisnis yang tidak profit secara terus menerus tentu membuat arus kas tergerus. Dengan kata lain, maskapai juga harus profit agar usaha dapat bertahan dalam jangka panjang dan tetap hidup.
Editor: Suhendra