Menuju konten utama

Belajar dari Malaysia, Diplomasi yang Buat Paspor Sekelas AS

Per Oktober 2025, paspor Malaysia punya akses bebas visa ke 180 negara, setara Amerika Serikat. Indonesia jauh tertinggal dengan akses hanya ke 73 negara.

Belajar dari Malaysia, Diplomasi yang Buat Paspor Sekelas AS
Ilustrasi visa paspor. SHUTTERSTOCK

tirto.id - Untuk kali pertama dalam dua dekade terakhir, kekuatan paspor Malaysia kini resmi setara dengan paspor negara adidaya Amerika Serikat (AS). Capaian itu tersingkap dari Henley Passport Index teranyar tahun 2025, yang rilis 7 Oktober lalu.

Kedua negara tersebut bertengger di peringkat ke-12. Dengan posisi itu, Negeri Jiran dan Negara Paman Sam sama-sama tercatat punya akses bebas visa ke 180 destinasi.

Kondisi destinasi bebas visa yang dimaksud juga meliputi tempat-tempat yang bisa menggunakan visa saat kedatangan (Visa on Arrival, VoA) atau destinasi yang memerlukan electronic travel authority (ETA) alias permohonan perjalanan digital.

Tak cuman bersanding dengan AS, kedudukan Malaysia juga mengungguli beberapa negara Asia Tenggara lain, seperti Brunei Darussalam (peringkat 21), Indonesia (peringkat 70), Filipina (peringkat 79), Thailand (peringkat 66), Kamboja (peringkat 90), dan Vietnam (peringkat 90).

Jika dilihat sepanjang 10 tahun terakhir, sejak 2016-2025, tren paspor Malaysia memang cenderung menguat. Pada 2016 misalnya, meski berada di posisi ke-12, akses destinasi para pemegang paspor Malaysia tak seluas sekarang. Saat itu, paspor Malaysia hanya tercatat bebas visa untuk 164 destinasi.

Setelah stagnan pada 2017, setahun setelahnya angkanya melesat ke 180 destinasi bebas visa. Kala itu, Malaysia bahkan masuk dalam 10 besar paspor terkuat dunia. Pada 2024, paspor Malaysia sempat mengukir angka 182 destinasi bebas visa, namun pada 2025 kembali level 180 destinasi.

Tren penguatan ini sayangnya tak berlaku bagi AS. Bertolak belakang dengan Malaysia, paspor AS justru semakin tahun semakin melorot. Setelah berturut-turut berada dalam 10 besar paspor dunia paling moncer selama 2016-2024, kini kedudukan paspor AS keok dan terjun ke urutan ke-12.

Berdasarkan informasi dari laman resminya, basis perankingan Henley & Partners didasarkan pada data eksklusif dari Otoritas Transportasi Udara Internasional (IATA). Mereka mengecek paspor dari 199 negara dan memeriksa setiap paspor terhadap total 227 kemungkinan tujuan perjalanan.

Selain dari IATA, Henley & Partners, yang merupakan sebuah firma berbasis di London dan mengkhususkan diri dalam konsultasi kewarganegaraan dan tempat tinggal, ini juga melakukan cross-check informasi terhadap sumber resmi pemerintah dan pemberitaan.

“Proses penelitian ini berlangsung sepanjang tahun. Proses ini dipadukan dengan sistem pemantauan yang ketat untuk mendeteksi perubahan kebijakan visa yang relevan,” begitu bunyi keterangan di situs resminya.

Untuk setiap destinasi, jika pemegang paspor dari suatu negara atau wilayah tidak memerlukan visa, maka skor dengan nilai 1 diberikan untuk paspor tersebut. Nilai yang sama juga diberikan jika pemegang paspor dapat memperoleh VOA saat memasuki destinasi tersebut, atau ETA sebelum kedatangan.

Ilustrasi Passport

Ilustrasi Passport. FOTO/iStockphoto

Artinya, total skor untuk setiap paspor setara dengan jumlah destinasi yang tidak memerlukan visa atau destinasi yang memperbolehkan menggunakan VoA atau ETA. Visa-visa dalam kategori ini tidak memerlukan persetujuan pemerintah sebelum keberangkatan, karena adanya program bebas visa khusus.

Sebaliknya, apabila visa diperlukan alias pemegang paspor harus mendapatkan visa elektronik (e-Visa) yang disetujui pemerintah sebelum keberangkatan ke suatu destinasi, maka skor dengan nilai 0 akan diberikan. Skor yang sama juga diberikan jika pemegang paspor memerlukan persetujuan pemerintah untuk VoA sebelum keberangkatan.

Peran Signifikan Faktor Timbal Balik

Lewat rilis pers, ketua Henley & Partners sekaligus penggagas indeks paspor, Christian H. Kaelin, menyebut bahwa menurunnya kekuatan paspor AS selama sedekade terakhir lebih dari sekadar perombakan peringkat, melainkan menandakan pergeseran fundamental dalam mobilitas global dan dinamika soft power.

“Negara-negara yang merangkul keterbukaan dan kerja sama semakin maju, sementara negara-negara yang mengandalkan privilese masa lalu justru tertinggal," katanya, Selasa (14/10/2025).

Henley & Partners menggarisbawahi, “timbal balik,” sebagai faktor yang memainkan peran besar dalam pemeringkatan suatu negara. Meskipun pemegang paspor Amerika saat ini dapat mengakses 180 destinasi tanpa visa, masalahnya AS sendiri hanya mengizinkan 46 negara lain untuk masuk tanpa visa.

Dengan alasan kurangnya timbal balik, pada bulan April, dikutip dari The Guardian, Brasil pun diketahui mengakhiri program bebas visa masuk untuk warga negara AS, Kanada, dan Australia.

Ketika negara-negara lain memperluas program bebas visa mereka, hal itu tak berlaku bagi warga negara AS. Tiongkok dan Vietnam katakanlah, telah mengecualikan AS dari daftar negara yang baru diperluas yang memenuhi syarat untuk pariwisata bebas visa.

Menurut Henley & Partners, negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru memang memberi warganya kebebasan perjalanan yang luas. Namun, karena mereka membatasi akses bebas visa bagi warga negara lain, kekuatan paspor mereka justru cenderung stagnan atau menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Kata firma tersebut, penurunan peringkat yang dramatis ini telah memicu keinginan untuk memiliki kewarganegaraan ganda di kalangan warga AS. Ini juga menandakan bahwa kewarganegaraan AS tunggal mungkin bukan lagi menyandang status negara adidaya seperti dulu.

Keberhasilan Diplomasi Malaysia?

Di balik AS yang keok, harus diakui bahwa posisi Malaysia adalah pencapaian. Dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Edwin Martua Bangun Tambunan, memandang pencapaian Negeri Jiran ini sebagai salah satu wujud keberhasilan diplomasi negara tersebut.

Untuk menghasilkan perjanjian bebas visa dengan 180 negara pada tahun 2025, perlu keuletan diplomasi dan proses negosiasi. Selain faktor diplomasi, menurut dia, perolehan ini juga bisa dilihat sebagai wujud kepercayaan negara-negara lain terhadap stabilitas ekonomi dan keamanan Malaysia.

“Terkait AS, saya menilai kemunduran yang dialami tidak lepas dari asas resiprokal dalam pemberian visa. Berkurangnya kekuatan paspor AS, tidak terlepas dari kebijakan balasan sehubungan dengan pembatasan yang dilakukan oleh Washington terhadap sejumlah negara tertentu,” ungkap Edwin saat dihubungi jurnalis Tirto, Rabu (22/10/2025).

Sebagai contoh, warga Malaysia dapat melenggang untuk memasuki negara seperti Iran dan Tiongkok, namun warga AS tidak mendapatkan keistimewaan yang sama akibat ketegangan politik antara Washington dengan keduanya.

Masih segar dalam ingatan bahwa pada Juni lalu, ketegangan antara AS dan Iran kembali memuncak. Itu terjadi setelah Presiden AS, Donald Trump memerintahkan serangan langsung ke tiga fasilitas nuklir milik Teheran. Hubungan keduanya pun hingga kini masih panas-dingin.

Edwin berpendapat setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan suatu negara memberi akses bebas visa kepada negara lain. Pertama, faktor ekonomi. Dengan memberi akses bebas visa kepada negara lain akan semakin terbuka peluang bagi warga dari negara yang mendapatkan akses tersebut untuk menjalankan aktivitas bisnis dan pariwisata.

“Tentu ini akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pertambahan devisa dari negara yang membuka akses,” tutur Edwin.

Peta Indonesia dan Malaysia

Peta Indonesia dan Malaysia. FOTO/iStockphoto

Kedua yakni faktor keamanan. Akses bebas visa diberikan apabila negara yang mendapatkannya dipertimbangkan memiliki risiko keamanan yang rendah, bukan negara yang tidak stabil dari aspek keamanan, ekonomi, politik, dan sosial. Bukan juga negara yang menjadi sumber ancaman nasional bagi negara pemberi akses, maupun ancaman terhadap stabilitas regional dan global, seperti kejahatan transnasional dan terorisme.

Selain ekonomi dan keamanan, faktor kerja sama dan perjanjian yang dilaksanakan secara bilateral maupun multilateral pun signifikan. Edwin bilang, terkadang negara-negara bersepakat secara bilateral untuk membuka akses bebas visa. Kesepakatan yang sama juga bisa terjadi secara multilateral.

“Perjanjian perdagangan bebas secara bilateral dan multilateral biasanya menjadi salah satu pendorong diberikannya akses bebas visa, untuk memudahkan mobilitas orang dalam perdagangan dan investasi,” ungkapnya.

Faktor terakhir yaitu kemudahan pengawasan. Akses bebas visa umumnya diberikan kepada negara yang memiliki pengaturan imigrasi yang jelas dengan sistem pengawasan yang baik.

“Keputusan pemberian akses bebas visa biasanya ditetapkan oleh suatu negara berdasarkan kombinasi dari sejumlah faktor-faktor tersebut. Saya menilai hal yang sama juga berlaku dalam pencapaian yang diraih Malaysia,” tutur Edwin.

Ia mengatakan, dari sejumlah faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemberian akses bebas visa, terdapat dua kata kunci penting, yaitu keuntungan dan kepercayaan. Edwin menilai Indonesia kalah dalam akses bebas visa dibanding Malaysia boleh jadi karena negara-negara lain belum melihat potensi keuntungan yang dapat diperoleh dengan memberikan akses yang sama kepada Indonesia.

“Kepercayaan negara-negara lain kepada Indonesia, juga belum sebaik yang diperlihatkan kepada Malaysia. Belajar dari situasi seperti ini, Indonesia perlu lebih gesit dalam mengangkat citra internasionalnya. Upaya ke arah sana hanya akan mudah dilakukan apabila baik keamanan maupun perekonomian domestik semakin stabil dan menguat,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait PASPOR atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto