tirto.id - Suatu hari di bulan Juli 1799, sekelompok serdadu zeni tempur Angkatan Darat Revolusioner Perancis bekerja keras di bawah guyuran terik matahari. Mereka tengah merenovasi sebuah benteng rongsok di Rashid, kota pelabuhan di Mesir, di tepian barat delta sungai Nil. Benteng peninggalan pasukan Saracen ini kelak diberi nama Benteng Julien oleh orang Perancis dan akan digunakan untuk menahan serbuan pasukan gabungan Britania-Ottoman yang akan mendarat di delta sungai itu.
Parit-parit pun digali dan fondasi benteng diperkokoh hingga kapak beliung salah satu serdadu menghantam lempengan batu hitam di dasarnya. Pierre-François Bouchard, perwira yang bertugas saat itu, memerintahkan serdadunya untuk memisahkan batu hitam itu dari fondasi batu-batu berpasir lain untuk diperiksa lebih jauh.
Ketika batu itu berhasil dikeluarkan dari fondasi benteng, Bouchard segera mengirim kabar kepada komandannya, Kolonel d'Hautpoul. Batu hitam seberat 762 kilogram itu rupanya bukan batu sembarang batu. Batu itu merekam sebuah peradaban kuno. Lidah orang Perancis menyebut batu itu dengan nama 'Rosette', sesuai dengan lokasi penemuannya di kota Rashid.
Adu Ilmu Para Sarjana: Young vs. Champollion
Pada 1801 Fort Julien tak sanggup menahan gempuran pasukan gabungan dan Perancis mesti takluk. Bukan hanya takluk, tapi seluruh harta karun berupa artefak kuno, termasuk batu Rosetta yang berhasil ditemukan Bouchard, juga mesti berpindah tangan. Batu itu dibawa menuju Portsmouth dengan sebuah kapal untuk disimpan di British Museum dan hingga kini ia berada di sana.
Sejak pertama ditemukan, batu Rosetta telah menjadi magnet para sarjana sejarah dan para ahli kebudayaan Mesir untuk diteliti sekaligus diurai teksnya guna membuka tabir misteri peradaban Mesir kuno.
Batu Rosetta ditulis dalam dua bahasa—Mesir dan Yunani—dan menggunakan tiga skrip, yakni hieroglif, Demotik, serta Yunani. Skrip hieroglif biasa digunakan untuk menulis dokumen-dokumen penting atau naskah keagamaan. Sementara skrip demotik adalah skrip yang biasa digunakan orang-orang awam dan rakyat jelata. Sedangkan skrip Yunani biasa dipakai para elite pada rezim yang berkuasa.
Tiga skrip ini dipakai agar Batu Rosetta bisa dibaca semua kalangan. Batu Rosetta dibikin oleh sekelompok pendeta di Mesir untuk menghormati Firaun dan mengisahkan semua kebaikan yang telah dilakukan Firaun untuk para pendeta dan orang-orang Mesir. Keseluruhan teksnya bisa dibaca di sini.
Usaha-usaha untuk membuka tabir pengetahuan yang termuat di batu inipun melahirkan sebuah persaingan seru yang tercatat sejarah, yakni antara Thomas Young dan Jean-François Champollion.
Thomas Young adalah seorang polymath asal Inggris. Ia adalah orang yang pertama kali menjajal usaha untuk menguraikan teks hieroglif Mesir yang tertulis di Batu Rosetta. Ia telah mengerjakan usaha itu selama beberapa bulan dan kurang sukses. Young, yang waktu itu bekerja sebagai sekretaris di Royal Society, menyadari ia mendapat pesaing tangguh dari Perancis bernama Jean-François Champollion.
Champollion adalah ahli kebudayaan Mesir kuno yang punya minat dan kemampuan istimewa dalam studi hieroglif Mesir. Pada 1814 ia menulis surat ke Royal Society berisi permintaan salinan transkripsi yang lebih baik dari Batu Rosetta agar dapat menguraikan skrip yang tertulis di batu itu. Menurut Young, ada hawa songong yang ikut terbawa dalam surat itu dan ini membikin ia jadi kesal.
Dan persaingan pun dimulai.
Young mengerjakan salinan prasasti Batu Rosetta selama lima tahun, dari 1814 hingga 1819, sebelum akhirnya menyerah, atau lebih tepatnya mengalihkan minat pada kajian lain. Dalam rentang waktu pengerjaan itu, yang ia sebut sebagai kegiatan pengisi waktu luang, Young telah menyumbangkan temuan penting soal cartouche.
Cartouche adalah simbol berbentuk oval dengan beberapa tanda di dalamnya yang kerap muncul di skrip hieroglif. Young menyimpulkan bahwa cartouche digunakan untuk menunjukkan gelar kerajaan. Kemudian iamencocokkan salah satu cartouche dengan nama 'Ptolemeus' dalam teks Yunani dan mengidentifikasi sifat fonetik dari beberapa tanda hieroglif itu.
Temuan Young tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Champollion. Pesaing Young itu, yang juga fasih berbahasa Koptik, berhasil mengidentifikasi beberapa tanda hieroglif fonetik yang digunakan dalam nama kerajaan seperti 'Cleopatra' dan 'Ptolemeus'. Dia kemudian menerapkan tanda-tanda pada nama-nama di cartouche yang ditemukan di Batu Rosetta dan di batu lain, lalu menggunakan penemuan dari setiap terjemahan baru itu untuk mengisi celah pada terjemahan lainnya.
Teknik referensi silang ini memungkinkan Champollion mengembangkan alfabet hieroglif dan momen eureka itu datang pada September 1822.
Champollion menyadari bahwa ejaan hieroglif 'Ramses'—sebuah nama tradisional Mesir—dibuat dari simbol-simbol yang semuanya berhubungan dengan suara yang diucapkan. Dengan menerapkan simbol fonetik serupa ke kata-kata lain di Batu Rosetta yang tidak dimasukkan dalam cartouche, Champollion membuat kesimpulan: alih-alih naskah simbolis murni, naskah hieroglif juga berisi simbol konseptual dan tanda fonetik. Bergantung pada konteksnya, simbol dalam skrip dapat mewakili keseluruhan kata dan frasa yang sesuai dengan bunyi bahasa lisan.
Konon, Champollion langsung semaput begitu ia menyimpulkan itu.
Seminggu setelah Champollion bertemu momen eurekanya, ia menerbitkan hasil temuannya dalam sebuah surat berjudul "Lettre à M. Dacier", yang ditujukan kepada Bon-Joseph Dacier, sekretaris Paris Académie des Inscriptions et Belles-Lettres. Surat itu ia bacakan langsung di Paris Académie des Inscriptions et Belles-Lettres di depan para sivitas akademik, termasuk rivalnya, Thomas Young, pada 27 September 1822, tepat hari ini 198 tahun lalu.
Hingga akhir hayatnya pada 1832, Jean-François Champollion tidak pernah melihat langsung wujud batu Rosetta. Sebuah ironi yang mengharukan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan