Menuju konten utama

Bappebti soal Progres Bursa Sawit: Masih Telaah Hukum

Kemendag sedang melakukan telaah hukum terkait bursa sawit dan setelah itu akan dilakukan harmonisasi.

Bappebti soal Progres Bursa Sawit: Masih Telaah Hukum
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/5/2022). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/pras.

tirto.id - Kementerian Perdagangan saat ini terus mematangkan persiapan pembentukan bursa crude palm oil (CPO) yang rencananya akan diluncurkan Juni 2023. Sekretaris Bappebti Olvy Andrianita menuturkan, pihaknya saat ini masih melakukan telaah hukum di biro hukum dan setelah itu akan dilakukan harmonisasi.

"Masih proses telaah hukum dan akan dilanjutkan harmonisasi. Jadi saya ikutin SOP nya," kata Olvy dihubungi Tirto di Jakarta, Senin (26/6/2023).

Lebih lanjut, dia mengklaim saat ini pihak akan melakukan pertemuan dengan para pelaku usaha dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Agenda tersebut direncanakan akan digelar pada hari ini, Senin (26/6/2023).

"Paralel itu hari ini saya adakan konsultasi publik di pelaku usaha dan kadin," ungkap Olvy.

Terkait rencana peluncuran bursa sawit pada bulan ini, Olvy optimis bakal terlaksana. Tetapi, dia mengklaim masih perlu dilakukan perencanaan yang matang.

"Target belum diubah. Tapi tentu menyelaraskan dengan yang harus

dilakukan," ucapnya.

Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan optimistis kebijakan ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) melalui bursa berjangka dapat hadir Juni 2023 seperti yang sudah ditargetkan. Hal itu disampaikan Zulhas begitu sapaan akrabnya dalam pertemuan Konsultasi Publik Rancangan "Kebijakan Ekspor CPO Melalui Bursa Berjangka di Indonesia" di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (5/6/2023).

"Ekspor CPO melalui bursa berjangka yang ditargetkan diluncurkan pada Juni 2023 ini diharapkan dapat menjadi pembentuk harga patokan CPO," katanya dikutip dari lama kemendag.go.id.

Dia menuturkan saat ini ekspor CPO masih surplus meskipun tidak terlalu besar. Sebab, dia menilai kondisi perekonomian global yang sedang melemah.

Zulhas pun menilai diperlukan inovasi seperti pengalihan perdagangan dari pasar tradisional ke non tradisional seperti Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika. Hal tersebut, kata Zulhas diperlukan karena banyaknya aturan-aturan yang mempersulit ekspor seperti adanya kebijakan sertifikasi di Eropa dan Amerika.

"Selain pengalihan pasar dari tradisional ke non tradisional perlu juga memperkuat kebijakan ekspor Indonesia. Salah satunya melalui kebijakan ekspor CPO karena CPO merupakan salah satu penyumbang surplus neraca perdagangan," kata Zulkifli.

Zulhas menilai sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia memiliki harga acuan sendiri. Namun kondisi yang ada sekarang menunjukkan bahwa Indonesia belum berperan dalam memberikan harga acuan yang diakui di pasar dunia.

Harga acuan untuk komoditas CPO saat ini masih mengacu ke Pasar Fisik Rotterdam dan Pasar Berjangka di Kuala Lumpur (MDEX) sebagai basis penetapan harga CPO dunia. Berkaitan dengan kebijakan tersebut diperlukan berbagai masukan agar ekspor CPO melalui bursa tidak merugikan pelaku usaha CPO. Proses bisnis yang ada sekarang tidak banyak berubah kecuali mewajibkan ekspor CPO melalui bursa berjangka.

"Kebijakan kewajiban pemenuhan DMO (Domestic Market Obligation) masih berlaku, sehingga eksportir tetap wajib memiliki HE (harga eceran) terlebih dahulu. Diharapkan pelaku usaha dapat mendukung keberadaan pengaturan ekspor CPO melalui bursa berjangka ini," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko mengungkapkan, ekspor melalui bursa berjangka komoditas akan mengatur CPO dengan HS 15111000 dan tidak termasuk produk turunannya. Pihak-pihak yang berhak melakukan ekspor wajib memiliki Hak Ekspor (HE).

Dia menuturkan hal itu diperoleh dari pemenuhan atas kebijakan DMO dan/atau memiliki HE yang diperoleh dari pihak yang mengalihkan HE atas pemenuhan DMO. Bursa CPO akan membentuk harga pasar yang wajar dan dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak, mulai dari petani, pedagang, pengusaha, bahkan negara dari sisi penerimaan pajak.

"Kami ingin memastikan untuk ekspor CPO melalui bursa berjangka. Secara umum, Bappebti telah mengkoordinasikan kebijakan ekspor CPO melalui bursa berjangka dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan Badan Kebijakan Perdagangan. Selain itu, Kemendag telah menggelar konsultasi publik berupa Focus Group Discussion (FGD) dengan Kementerian/Lembaga serta berbagai asosiasi dan pelaku usaha terkait," kata Didid.

Dalam prosesnya, akan ada tiga tahap kebijakan yakni Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ekspor CPO melalui Bursa Berjangka di Indonesia, peraturan Bappebti yang akan mengatur ketentuan teknis antara lain kelembagaan, mekanisme perdagangan, mekanisme pengawasan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan, serta Peraturan Tata Tertib (PTT) ekspor CPO melalui Bursa Berjangka.

"Diharapkan masukan pelaku usaha sektor sawit agar kebijakan tersebut dapat terlaksana, terutama pada masa transisi. Kemendag akan memastikan ekspor CPO melalui bursa dapat berjalan secara efektif," kata Didid.

Dia menuturkan, nantinya masa transisi Peraturan Menteri Perdagangan terkait Ekspor CPO tersebut dicanangkan selama 60 hari untuk memberikan ruang bagi pelaku usaha agar menyesuaikan dengan kebijakan yang baru dan proses sosialisasi kebijakan, serta integrasi sistem di Kementerian Perdagangan, Indonesia National Single Window (INSW), dan bursa CPO.

Masa transisi ini diharapkan dapat meminimalisasi permasalahan yang mungkin terjadi dalam perdagangan ekspor CPO di Indonesia serta memperlancar implementasi kebijakan.

Baca juga artikel terkait BURSA SAWIT atau tulisan lainnya dari Hanif Reyhan Ghifari

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hanif Reyhan Ghifari
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Intan Umbari Prihatin