tirto.id - Kasus bunuh diri di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sangat tinggi. Berdasarkan catatan pihak kepolisian setempat, terdapat puluhan kasus bunuh diri di Gunungkidul setiap tahunnya.
Banyaknya kasus bunuh diri di Gunungkidul kini menjadi perbincangan warganet di media sosial. Sebagian pengguna media sosial menduga penyebab tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul adalah kemiskinan dan masalah mental.
Sebaliknya, ada juga warganet yang mengaitkan fenomena ini dengan hal-hal mistis. Faktanya kasus bunuh diri Gunungkidul bukanlah hal baru. Setiap tahun, muncul berbagai kasus bunuh diri dengan cara gantung diri di wilayah tersebut.
Data terakhir dari Polres Gunungkidul pada 2023, peristiwa bunuh diri di Gunungkidul mencapai 29 kasus.
“Jumlahnya sama seperti tahun lalu, ada 29 kasus ini menjadi PR bagi kita semua untuk memberikan edukasi kepada masyarakat,” kata Kapolres Gunungkidul AKBP Edy Bagus Sumantri, seperti yang dikutip dari RRI.
Fenomena tentu selalu menyita perhatian masyarakat Indonesia selama bertahun-tahun. Fenomena bunuh diri Gunungkidul juga sering menjadi bahan kajian para peneliti di bidang sosial hingga psikologi sejak dekade terakhir.
___Depresi bukan masalah sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk bunuh diri, atau melihat orang terdekat Anda memperlihatkan tendensi tersebut sangat direkomendasikan untuk menghubungi bantuan profesional, termasuk psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Penyebab Bunuh Diri Gunungkidul Menurut Ahli
Maraknya kasus bunuh diri Gunungkidul sering kali dikaitkan dengan fenomena mistis dan mitos. Salah satu folklor yang paling terkenal terkait fenomena bunuh diri di Gunungkidul adalah Pulung Gantung.
Pulung Gantung adalah mitos yang dipercaya sudah ada sejak abad ke-15. Mitos yang dipercaya sebagian masyarakat Gunungkidul ini menceritakan tentang cahaya-cahaya misterius yang muncul di sekitar wilayah mereka sebagai pertanda buruk.
Ketika cahaya-cahaya itu mulai beterbangan, maka di Gunungkidul akan terjadi peristiwa bunuh diri dengan cara gantung diri. Risda Nur Widia dalam Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia seperti Mersault (2016) menyebut bahwa cahaya-cahaya Pulung Gantung berasal dari perpaduan zat fosfor dan kapur.
Zat-zat tersebut nyatanya memang banyak terdapat di Gunungkidul yang merupakan wilayah perbukitan karst. Zat fosfor dan kapur bisa terbang dan bercampur sewaktu-waktu, sehingga menimbulkan percikan cahaya putih atau kebiruan.
Menurut ahli lainnya fenomena bunuh diri di Gunungkidul bukanlah terkait peristiwa mistis. Ada penjelasan logis mengapa wilayah ini mendapat status sebagai tempat dengan kasus bunuh diri paling tinggi se-Indonesia.
Berikut beberapa penyebab bunuh diri di Gunungkidul seperti yang dijabarkan para ahli:
1. Masalah ekonomi dan kemiskinan
Masalah ekonomi dan kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama tingginya kasus kematian karena bunuh diri di Gunungkidul. Menurut Darmaningtyas dalam Pulung gantung: Menyingkap tragedi bunuh diri di Gunungkidul (2002) mayoritas pelaku bunuh diri Gunungkidul berasal dari golongan rendah.
Mereka yang melakukan bunuh diri umumnya merupakan orang-orang yang tidak punya pekerjaan dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Faktanya, kemiskinan adalah masalah besar di Gunungkidul.
Kemiskinan di wilayah tersebut terjadi karena faktor alam hingga isolasi geografis. Wilayah Gunungkidul terkenal gersang dan tandus, sedangkan masyarakatnya banyak yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian.
Gagal panen merupakan hal yang sering terjadi di wilayah tersebut. Ditambah, beberapa masyarakat Gunungkidul tinggal di wilayah terisolasi sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonominya.
2. Tekanan sosial penduduk usia lanjut
Penyebab kasus bunuh diri di Gunungkidul berikutnya adalah tekanan sosial bagi penduduk di usia lanjut. Masih menurut Darmaningtyas, hal ini dibuktikan dari mayoritas pelaku bunuh diri berasal dari masyarakat berusia 50 tahun ke atas.
Masyarakat Gunungkidul usia lanjut tentu tidak memiliki fisik yang baik untuk mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka juga buta huruf dan tidak bisa menggunakan teknologi informasi, sehingga sulit mengikuti perkembangan zaman.
Tak hanya itu, banyak pula ditemukan kasus para pelaku bunuh diri merupakan para lansia yang hidup sendirian. Relasi sosial mereka sangat terbatas dengan tetangga dekat. Padahal, kehidupan terbatas dan serba terisolasi tersebut dapat meningkatkan risiko depresi.
3. Isu gender
Faktor yang dicurigai menyebabkan tingginya angka bunuh diri Gunungkidul adalah isu gender. Berdasarkan penelitian Adi Fahrudin yang rilis di jurnal Sosio Informa (2012), ada kaitan fenomena masyarakat patriarkal di Gunungkidul dengan kasus bunuh diri di wilayah tersebut.
Kecurigaan ini muncul dari mayoritas kasus bunuh diri di Gunungkidul didominasi oleh laki-laki. Ia menyinggung bahwa pada masyarakat patriarki, laki-laki dituntut untuk memegang peran dan tanggung jawab besar.
Kondisi ini dikaitkan dengan tekanan sosial yang memicu masalah mental individu laki-laki. Kendati demikian, gagasan ini masih sebatas kecurigaan dan belum terbukti.
Pasalnya, saat ini pun masih banyak wilayah lain yang menganut sistem patriarki, namun tidak mengalami kasus bunuh diri sebanyak Gunungkidul.
4. Minimnya pengetahuan tentang masalah mental
Darmaningtyas menegaskan bahwa ketidaktahuan masyarakat dan minimnya pendidikan juga menjadi pemicu tingginya angka bunuh diri Gunungkidul.
Mayoritas pelaku bunuh diri di wilayah tersebut buta huruf dan mengenyam pendidikan rendah. Mereka juga terisolasi dan tidak bisa mengakses informasi yang layak terkait kesejahteraan dan kesehatan mental.
Buta huruf dan rendahnya pendidikan memicu kesulitan masyarakat memperoleh pekerjaan layak. Sepanjang hidup mereka disibukkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tidak punya waktu untuk memikirkan kesejahteraan mentalnya.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Dipna Videlia Putsanra