Menuju konten utama

Di Balik Ramai Sound Horeg, Risiko Masalah Pendengaran Mengintai

Kontroversi sound horeg masuk babak baru. Sebuah rumah sakit di Lumajang mengatakan terjadi kenaikan kasus pasien THT dalam beberapa waktu terakhir.

Di Balik Ramai Sound Horeg, Risiko Masalah Pendengaran Mengintai
Warga menyaksikan gelaran Urek Urek Carnival yang diiringi perangkat audio berkapasitas besar di Desa Urek-urek Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/7/2025). ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nym.

tirto.id - Sound horeg terus menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Kehadirannya banyak dinikmati sebagai hiburan bagi masyarakat, sekaligus juga menjadi pemutar roda ekonomi. Namun di sisi lain, tidak sedikit masalah yang ditimbulkannya.

Mengambil rupa serangkaian alat pengeras suara yang menjulang tinggi –sampai ketinggian lima meter dalam beberapa setelan– menghasilkan bunyi-bunyian (sound) yang menyebabkan getaran (horeg).

Rangkaian suara yang timbul kerap memperkuat hasrat pendengarnya untuk bergoyang dan menikmati musiknya di tengah ramai karnaval, yang banyak bergulir di sejumlah wilayah di Jawa Timur.

Namun, di sisi lain, masalah kesehatan yang muncul juga cukup serius. Beragam ahli kesehatan telah menyoroti bahaya terpapar sound horeg dalam waktu yang panjang.

Di Lumajang bahkan ada catatan peningkatan jumlah pasien konsultasi ke spesialis telinga, hidung dan tenggorokan (THT). Hal ini seperti yang diutarakan oleh Dokter Spesialis THT di RSUD dr. Haryoto Lumajang, Aliyah Hidayati.

"Jumlah pasien gangguan telinga meningkat akibat suara keras dari sound horeg. Setelah kami telusuri [mereka] dari acara sound," ujarnya mengutip detik.com, Kamis (7/8/2025).

Lebih lanjut berdasar paparan data RSUD dr. Haryoto, dari Januari sampai Juli 2025 ada 2.480 pasien THT yang mereka tangani. Meski tidak semua karena dampak sound horeg, format hiburan musik tersebut sangat kuat terindikasi sebagai faktor.

Dokter Aliyah juga mengatakan kalau sebagian besar pasiennya mengeluhkan gendang telinga yang berdenging tanpa henti.

Celakanya, bukan hanya penikmat musik di karnaval sound horeg yang terdampak. Ada juga mereka yang terpaksa terpapar yang kemudian mengalami masalah pendengaran.

"Pasien THT juga dimungkinkan. Karena sebelumnya ada gangguan telinga, kemudian ada tetangganya hajatan, menyewa sound horeg, sehingga memperparah kondisi gangguan telinganya," terang Aliyah.

Sound Horeg Bisa Sebabkan Gangguan Pendengaran Permanen

Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher (THT-KL) FIKKIA UNAIR, Citra Dwi Novastuti mengungkapkan bahwa parade perangkat audio atau sound horeg kerap menghasilkan suara hingga 130-135 desibel. Angka ini rentang merusak alat pendengaran secara permanen. Citra menjelaskan bahwa kerusakan dapat terjadi dalam waktu singkat tanpa harus menunggu lama.

“Suara dengan intensitas tinggi, bahkan dalam waktu singkat, dapat merusak sel rambut halus di koklea, yang berfungsi memproses suara,” kata Citra dalam keterangannya.

Citra mengutip data National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), yang menyebut standar ambang batas kebisingan harian yang aman adalah antara 85-90 desibel. Bagi orang yang terpapar suara 90 desibel sudah diwajibkan untuk menggunakan alat pelindung telinga.

Sedangkan bagi mereka pendengar suara soundhoreg, yang punya intensitas kebisingan 130 desibel, hanya ada toleransi waktu dengar 1,5 detik, sebelum menimbulkan risiko kerusakan.

"Lebih dari itu, risiko kerusakan sel rambut koklea bersifat permanen yang berujung pada gangguan pendengaran bahkan tuli," jelasnya.

Dia mengingatkan bahwa akibat paparan suara keras yang melebihi batas maksimal desibel, maka dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, dengan risiko tuli terjadi di masa produktif, bukan hanya ketika usia lanjut. Hal ini dapat menghambat kemampuan individu dalam bekerja maupun berinteraksi sosial.

"Gejala awal yang kerap diabaikan adalah tinnitus atau telinga berdenging yang hilang timbul. Jika paparan suara keras terus berlanjut, tinnitus berkembang menjadi gangguan pendengaran nyata, seperti kesulitan menangkap percakapan dalam keramaian," katanya.

Karnaval desa diiringi perangkat audio berkapasitas besar di Malang

Warga menyaksikan gelaran Urek Urek Carnival yang diiringi perangkat audio berkapasitas besar di Desa Urek-urek Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/7/2025).ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nym.

Senada, Dokter Spesialis THT-KL dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr. Harim Priyono, juga mengatakan risiko gangguan pendengaran permanen akibat sound horeg.

"Secara medis dan kesehatan pendengaran, eksposur terhadap suara dengan intensitas keras ada risiko terjadinya gangguan pendengaran tipe sensorineural," terangnya, lewat pesan singkat kepada Tirto, Senin (11/8/2025).

Dia mengatakan gangguan pendengaran tipe sensorineural akibat bising, pencegahannya adalah dengan memakai penutup/sumbat telinga. Tentu praktik tersebut tak cocok dengan konsep sound horeg.

Oleh karenanya, menurut dia karnaval sound horeg yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat, sebaiknya bukan dilarang, tetapi menyajikan informasi terkait risiko kesehatan yang bisa disebabkan.

"Seperti contoh paling sederhana adalah unit sound horeg memberi informasi; berapa desibel suara yang dihasilkan dari jarak tertentu? Berapa durasi dan jarak aman agar tidak mengganggu fungsi pendengaran?" tutur Harim. Dengan informasi seperti itu masyarakat bisa menyesuaikan posisi dan menakar risiko masing-masing.

Menanti Aksi Konkret Agar Tak Ada Lagi Korban Sound Horeg

Kasus peningkatan pasien terkait masalah THT bisa jadi menjadi alarm besar kedua dari permasalahan akibat sound horeg. Sebelumnya, juga di Lumajang, terdapat juga seorang warga yang meninggal dunia saat menonton karnaval sound horeg.

Perempuan 39 tahun bernama Anik Mutmainnah itu. Meski penyebab pasti kematian belum bisa dipastikan, Anik disebut meninggal karena henti jantung dan henti napas.

Meski belum ada bukti ilmiah yang menjelaskan suara ekstrem jadi sebab sebab kematian secara langsung, paparan suara sangat keras bisa memicu serangkaian reaksi fisiologis yang bisa berujung fatalitas, terutama terhadap individu dengan kondisi fisik rentan.

Dari dua episode di atas –peningkatan masalah pendengaran dan dugaan kasus kematian akibat sound horeg– ada masalah regulasi yang kurang tegas. Menurut Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Suko Widodo, secara ilmiah bahaya sound horeg sudah terbukti, oleh karenanya harus ada aturan yang jelas.

"Hiburan itu kan harusnya menyenangkan tapi juga aman. Lha ini menyenangkan tapi membahayakan. [...] Banyak pemimpin takut ambil risiko, takut tidak populer. Padahal, dampak negatifnya jelas," ujar dia, lewat pesan singkat kepada Tirto, Senin (11/8/2025).

Oleh karenanya menurut dia sosok pemimpin yang tegas dan mendidik perlu hadir saat ini.

Dosen Hukum Universitas Brawijaya Malang, Muktiono, beranggapan ada unsur ketidakpekaan pemerintah sampai masalah sound horeg ini bisa berlarut-larut sampai menjadi kontroversi.

Menurut dia, masalah ini masih senapas dengan problem suara bising dan pencemaran suara lainnya seperti bunyi knalpot brong, bel kendaraan ilegal, dan lain sebagainya. Oleh karenanya solusinya, juga bukan hanya antara menutup atau membolehkan.

"Untuk sound horeg sendiri tidak harus diambil tindakan penutupan usaha atau pagelarannya, karena menyangkut aspek ekonomi dan penghiburan masyarakat kecil. Tetapi dalam izinya dapat diatur sehingga tetap menghibur namun tetap dalam ambang batas kesehatan serta sekaligus tidak mengganggu warga lain di luar penontonnya," tuturnya kepada wartawan Tirto, Senin (11/8/2025).

Langkah tersebut, menurut Muktiono, bisa dilakukan secara bertahap dan tetap efektif asal ada ketegasan terhadap pelanggarnya.

Selain itu kampanye untuk mengedukasi warga terkait bahaya paparan suara di luar ambang batas kesehatan juga perlu dilakukan. Hal ini dapat bermanfaat bagi kesehatan warga, dalam jangka waktu panjang.

Pemprov Jawa Timur terbitkan SE bersama untuk atur Sound Horeg

Menanggapi rangkaian episode masalah sound horeg, Pemerintah Provinsi Jawa Timur akhirnya mengambil kebijakan. Surat Edaran bersama terkait sound horeg terbit.

SE Bersama itu ditandatangani oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nanang Avianto dan Pangdam V Brawijaya Mayor Jenderal Rudy Saladin, dengan Nomor 300.1/ 6902/209.5/2025, Nomor SE/ 1/VIII/ 2025 dan Nomor SE/10/VIII/ 2025 bertanggalkan 6 Agustus 2025.

Ada empat poin terkait penggunaan sound system yang tertuang dalam dokumen itu. “SE ini diterbitkan untuk menjadi pedoman bersama agar penggunaan sound system di masyarakat tidak melanggar norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum,” kata Khofifah mengutip Tempo, Sabtu (9/11/2025).

Beberapa rincian dari aturan itu;

1. soal tingkat kebisingan yang diberikan batasan dengan perbedaan antara sound system statis dan dinamis. Untuk statis seperti pertunjukan musik atau kegiatan kenegaraan, batas maksimal 120 desibel. Sementara sound system dinamis, seperti karnaval, batas maksimalnya 85 desibel.

2. Soal kendaraan yang mengangkut sound system juga harus disesuaikan dengan Uji Kelayakan Kendaraan alias Kir

3. Terkait batasan waktu, tempat, dan rute. Sound system wajib dalam keadaan mati saat melewati tempat ibadah, rumah sakit, serta lingkungan pendidikan.

4. Penggunaan sound system dilarang untuk kegiatan yang melanggar norma, baik itu agama, kesusilaan maupun hukum.

Baca juga artikel terkait SOUND HOREG atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto & Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto & Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto