Menuju konten utama

Bahaya Semiotik Prabowo dari Kata 'Makar', 'Terorisme', 'Mafia'

Pakar mengingatkan bahaya semiotika pemilihan kata-kata Prabowo, utamanya dalam praktik politik dan keamanan negara saat ini.

Bahaya Semiotik Prabowo dari Kata 'Makar', 'Terorisme', 'Mafia'
Presiden Prabowo Subianto didampingi Ketua MPR Ahmad Muzani (kiri) dan Ketua Umum PDIP sekaligus Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menyampaikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (31/8/2025). Prabowo menegaskan negara menjamin dan menghormati hak setiap warga dalam mengemukakan pendapat serta meminta aparat TNI dan Polri untuk bersikap tegas dalam menindak massa anarkis yang merusak fasilitas umum, tindakan penjarahan, hingga upaya makar. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/sgd/bar

tirto.id - Pidato Presiden Prabowo lagi-lagi menjadi sorotan. Kali ini terkait pemilihan kata, saat menyikapi gelombang aksi massa di Jakarta dan sejumlah daerah, Minggu (31/8/2025). Kepala negara menyelipkan kata-kata “makar”, “terorisme”, “anarkis” dan “mafia” dalam keterangan resminya.

Dalam konferensi pers di Istana, ahad lalu, mantan Danjen Kopassus tersebut mengatakan bahwa gelombang aksi massa di sejumlah daerah terdeteksi adanya indikasi tindakan melawan hukum.

"Sudah mulai kelihatan gejala adanya tindakan-tindakan di luar hukum, bahkan melawan hukum, bahkan ada yang mengarah kepada makar dan terorisme," kata Prabowo.

Dalam kesempatan yang sama, Prabowo juga menginstruksikan TNI dan Polri mengambil langkah tegas terhadap berbagai tindak penjarahan, perusakan fasilitas umum, maupun ancaman terhadap sentra-sentra ekonomi. Dalam momen ini, ia memilih untuk menggunakan kata, "anarkis," untuk merujuk sejumlah peristiwa yang terjadi belakangan ini.

"Jika dalam pelaksanaannya terdapat kegiatan-kegiatan yang bersifat anarkis, merusak atau membakar fasilitas umum, sampai adanya korban jiwa, mengancam dan menjarah rumah-rumah dan instansi publik, hal itu merupakan pelanggaran hukum," tegasnya.

Sehari setelah konferensi pers tersebut, Prabowo kembali membuat pernyataan saat menjenguk anggota Polri dan dua warga sipil korban aksi demo di RS Bhayangkara Polri. Dalam pernyataannya, ia memberi sinyal bahwa pihak pemerintah mulai mengantongi informasi terkait aktor-aktor yang diduga berada di balik aksi ricuh beberapa hari terakhir.

Kali ini terma,“mafia,” disebut Prabowo.

“Saya akan hadapi mafia-mafia yang sekuat apapun, saya hadapi atas nama rakyat. Saya bertekad memberantas korupsi sekuat apapun mereka,” ungkap Prabowo.

Serangkaian pemilihan kata tersebut kembali memunculkan pertanyaan publik seputar gaya komunikasi politik Prabowo.

Dari perspektif semiotika latar belakang dan pengalaman masa lalu Prabowo sebagai seorang pasukan elite tempur TNI dianggap memengaruhi hal tersebut. Di sisi lain, pakar mengingatkan bahaya semiotika pemilihan kata-kata tersebut, utamanya dalam praktik politik dan keamanan negara saat ini.

Latar Belakang Militer & Keterbatasan Diksi Presiden

Analis sosio-politik dari Helios Strategic Institute Musfi Romdoni mengatakan, penggunaan istilah seperti "makar", "terorisme", “anarkis” dan “mafia”, oleh Prabowo dalam merespons gelombang demonstrasi belakangan ini, dapat dibaca melalui pendekatan semiotika sebagai cerminan dari keterbatasan kekayaan diksi seorang kepala negara.

Menurutnya, keterbatasan ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Presiden Prabowo sebagai seorang jenderal tempur yang lama mengabdi di satuan elite TNI. Karier militer yang berfokus pada operasi lapangan membentuk gaya komunikasi yang lugas dan tegas, namun kurang lentur dalam merespons dinamika sipil dan wacana publik.

Hal ini pula yang membedakannya dengan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meski sama-sama punya latar militer, SBY dikenal sebagai sosok jenderal yang lebih terbiasa dengan kerja-kerja intelektual dan reflektif di balik meja.

“Kalau jenderal-jenderal tempur seperti Pak Prabowo, memang ekspresi-ekspresi diksi itu terbatas. Karena gitu yang keluar itu kata-kata seperti, 'makar' lah, kemudian 'antek asing', dan sebagainya. Memang di eranya dia, ketika dia masih aktif di TNI, isu asing itu isu yang common yang diamini bersama,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (3/9/2025).

Upacara peringatan HUT ke-78 TNI

Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) bersama Menhan Prabowo menghadiri upacara HUT ke-78 TNI di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta, Kamis (5/10/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wpa/tom.

Musfi menilai bahwa penggunaan diksi seperti "makar" oleh Presiden Prabowo tidak bisa dilepaskan dari latar sosial dan sejarah pribadi yang membentuk cara berpikir dan berbahasanya. Sebagai sosok yang tumbuh dan berkarier dalam lingkungan militer di era penuh ketegangan geopolitik, isu-isu seperti intervensi asing, IMF, dan stabilitas nasional menjadi wacana yang dominan.

Dalam konteks tersebut, istilah seperti "makar" atau "anti-asing" menjadi bagian dari kosakata yang akrab dan relevan pada masanya. Ia menegaskan bahwa latar sosial dan historis semacam ini perlu dipahami, terutama ketika menginterpretasikan pernyataan-pernyataan Presiden.

Nah, jadi saya kira kondisi latar sosial itu yang perlu kita pahami ya. Dan bagaimanapun juga, ini kan juga soal usia. Pak presiden ini kan sudah 72 tahun,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga menyinggung teori psikologi yang menyatakan bahwa seseorang cenderung mengacu pada ingatan dan ekspresi dari masa primanya. Dalam konteks ini, diksi seperti "makar" muncul bukan semata-mata karena kebutuhan politis saat ini, melainkan sebagai bagian dari memori linguistik masa lalu yang masih melekat kuat.

Aksi unjuk rasa mahasiswa di Ternate

Mahasiswa menendang barikade personel Polres Ternate dalam aksi di depan kantor DPRD Kota Ternate di Ternate, Maluku Utara, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Andri Saputra/nym.

Senada, Dosen Ilmu Politik FHISIP Universitas Terbuka Insan Praditya Anugerah menilai, pernyataan Presiden Prabowo punya kaitan dengan latar militernya. Prabowo tercatat pernah menduduki jabatan penting di pasukan elite TNI seperti Komandan Jenderal Kopassus hingga Panglima Kostrad.

Menurut Insan, latar belakang ini membentuk cara pandang dan pola pikir yang khas pada diri Prabowo, yang berbeda dari tokoh militer lain seperti SBY. Jika SBY dikenal lebih sering bekerja dari balik meja dan mengedepankan pendekatan diplomatis serta administratif, sementara Prabowo lebih terlatih dalam lingkungan yang menuntut tindakan cepat, tegas, dan berorientasi pada stabilitas melalui pendekatan kekuasaan dari atas ke bawah.

“Prabowo dalam kerangka teori Militer Praetorian yang dikemukakan oleh Eric Nordlinger, bisa kita baca sebagai karakter seorang prajurit profesional militer yang ingin membenahi semua kekacauan dengan cara elitis, dari atas ke bawah, layaknya cara kerja tim elite militer dalam operasi khusus,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (3/9/2025).

Meski demikian, secara semiotika ia menilai bahwa pelabelan terhadap aksi demonstrasi dengan menggunakan kata “makar”, “terorisme”, “anarkis”, hingga “mafia”, yang dilakukan Presiden Prabowo bukan semata-mata soal pilihan diksi. Ini juga mencerminkan pola pikir militeristik yang belum sepenuhnya bertransformasi dalam kerangka demokrasi sipil.

Dalam pola pikir semacam itu, gerakan rakyat seperti demonstrasi dipandang bukan sebagai bagian dari dinamika demokrasi, melainkan sebagai ancaman yang mengganggu stabilitas tatanan yang sedang dibangun oleh elite politik.

“Inti permasalahan dari cara pandang ini adalah orientasi kepada tim elite di pemerintahan untuk menghadapi masalah dan ketidakpercayaan kepada dinamika politik masyarakat. Maka setiap aksi masyarakat turun ke jalan akan dianggap sebagai makar bahkan terorisme,” terang Insan.

Bahaya dari Pilihan Kata Prabowo: Warga Dianggap Ancaman Negara

Dari sudut pandang semiotika atau makna bahasa, pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai pernyataan Presiden Prabowo yang melabeli aksi demonstrasi baru-baru ini sebagai "makar" dan "terorisme" memiliki sejumlah implikasi serius, baik secara sosial maupun politik.

Menurut Kunto, kata "makar" memiliki beban historis dan konotasi yang sangat negatif dalam konteks Indonesia. Ia mengaitkan istilah tersebut dengan sejumlah peristiwa kelam dalam sejarah bangsa, seperti keterlibatan PKI di masa lampau. Dalam sejarah, kata "makar" diasosiasikan dengan upaya menggulingkan pemerintahan yang sah.

“Ada banyak pilihan kata, kenapa kemudian yang digunakan adalah kata 'makar'? Jadi makar di sini sudah pada titik ekstrem negatif tentang pelabelan terhadap sebuah gerakan gitu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (3/9/2025).

Lebih jauh, Kunto menilai ada upaya simbolik dalam pelabelan tersebut. Seolah-olah para demonstran ingin menggulingkan pemerintahan sah yang dipilih oleh 58 persen pemilih. Hal ini, menurutnya, dapat memecah belah masyarakat dengan menciptakan dikotomi antara para pemilih Prabowo dan warga yang menyuarakan protes.

“Saya melihatnya ada usaha untuk menghadap-hadapkan antara pemilih Pak Prabowo dengan mereka yang melakukan demonstrasi. Yang sebenarnya kan ini tidak perlu dilakukan. Jadi pemilihan kata 'makar' menurut saya sangat ekstrem dan seharusnya tidak perlu dilakukan oleh Presiden,” ujarnya.

Demikian pula dengan istilah "terorisme". Kunto mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki memori kolektif yang sangat traumatis terhadap aksi teror, seperti rangkain kejadian bom dan serangan lainnya yang menciptakan rasa takut dan ketidakamanan.

“Kita juga punya pengalaman yang sangat negatif, sangat buruk tentang aksi terorisme. Bom Bali, bom Kuningan (peristiwa pengeboman Kedubes Australia), lalu ada lagi banyak peristiwa terorisme yang kemudian membuat kita merasa tidak aman. Jadi yang kemudian ditonjolkan adalah rasa tidak aman dari masyarakat ini yang dihasilkan dari aksi protes yang berkelanjutan,” ujarnya.

Aksi unjuk rasa berujung ricuh di Ternate

Personel Polres Ternate mengamankan seseorang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Ternate, di Ternate, Maluku Utara, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Andri Saputra/nz

Menurut Kunto, jika presiden atau negara menuduh adanya makar, seharusnya ada proses pembuktian hukum yang jelas, bukan hanya prasangka atau retorika politik.

Label seperti ini, jika tidak disertai bukti, justru akan menciptakan relasi yang problematik antara negara dan warganya. Ketika warga yang menyampaikan aspirasi dianggap sebagai ancaman negara, maka respons yang digunakan pun menjadi represif dan bukan dalam kerangka demokrasi yang mengakui protes sebagai bagian dari ekspresi politik yang sah.

“Ini simplifikasi yang sangat keterlaluan menurut saya dan harusnya tidak dilakukan oleh presiden maupun negara terhadap warganya,” ujarnya.

Rawan Disalahtafsirkan

Dari pengamatan terhadap video pernyataan tersebut, terlihat bahwa Presiden Prabowo sebagian besar menyampaikan pidatonya dengan membaca dari teks tertulis. Namun, istilah seperti “makar” justru muncul pada momen ketika ia tampaknya mulai berbicara secara spontan, tanpa merujuk lagi pada naskah yang telah disiapkan.

“Jadi sebenarnya kita ini harus memberikan catatan serius terhadap siapa yang menulis pidato Presiden ini. Nah, yang menjadi soal lain itu kan dia improve di sana itu. Jadi kembali seperti yang tadi, presiden ini mengulang-ulang ingatan dia ketika dia masa prima, jadi yang keluar itu diksi-diksi [seperti] 'makar',” ujar Musfi dari Helios Strategic Institute.

Menurut dia, masalah muncul ketika diksi-diksi yang digunakan oleh presiden ditafsirkan secara literal oleh aparat atau pihak-pihak yang bertugas di lapangan. Padahal, semestinya ucapan presiden dipahami dalam konteks semiotik, sebagai bentuk ekspresi yang bersifat historis dan personal, bukan sebagai instruksi operasional yang langsung harus dijalankan.

Ia menilai ada risiko besar bahwa aparat atau pihak-pihak di lapangan akan menafsirkannya secara harfiah, seolah Presiden memang menginstruksikan adanya eskalasi dalam penanganan situasi.

“Tapi yang menjadi masalah, bawahan-bawahannya itu, dia tidak menafsirkan itu secara semiotik. Dia menafsirkan itu secara literal. 'Kok presiden ngomong makar nih? Berarti kita responnya sebagai tindakan makar,' gitu. Nah, seharusnya kan dia, bawahan ini, memaknai ini sebagai bahasa historis, ini bahasa diksi dia ketika dulu masih jadi jendral. Tapi kan juga sulit juga kita mengharapkan, bawahan-bawahan itu menafsirkan secara semiotika,” ujarnya.

Aksi unjuk rasa di depan Polda Kalteng

Massa yang tergabung dalam aliansi Cipayung Plus terlibat saling dorong dengan anggota polisi saat aksi unjuk rasa di depan Polda Kalimantan Tengah, Palangka Raya, Sabtu (30/8/2025). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/sgd

Terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya menilai, pernyataan Presiden Prabowo memiliki konsekuensi politik dan keamanan yang nyata. Pernyataan yang menyebut adanya indikasi makar dan terorisme dalam aksi demonstrasi belakangan ini, akan berdampak dalam cara negara merespons gejolak di jalanan.

“Pertama akan ada upaya untuk terus melakukan tindakan stabilisasi, tapi dalam wujud koersi. Negara akan menurunkan eskalasi di jalan dengan kekuatan aparat,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (3/9/2025).

Menurut Dimas, langkah koersif ini memiliki dampak langsung pada masyarakat, terutama ketika tindakan aparat mulai bersifat eksesif atau berlebihan. Salah satu bentuknya adalah kemungkinan pelibatan militer dalam penanganan situasi demonstrasi, yang justru dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap warga sipil.

Aksi unjuk rasa di Kwitang

Personel Brimob berjalan menuju pengunjuk rasa saat aksi menuntut pengusutan kasus penabrakan pengemudi ojek daring oleh mobil rantis Brimob di depan Markas Komando Brimob Polda Metro Jaya, Kwitang, Jakarta, Jumat (29/8/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa pelabelan seperti makar dan terorisme turut memberi legitimasi kepada institusi keamanan, seperti Polri dan TNI, untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu. Namun, ia mengingatkan bahwa tindakan yang, "dianggap perlu," tersebut bersifat sangat subjektif dan rentan disalahartikan

“Sehingga dapat diterjemahkan untuk melakukan upaya-upaya yang sifatnya bisa dibenarkan untuk meredam konflik termasuk dengan menggunakan kekerasan. Dan barang tentu dia akan berpotensi sangat kuat untuk kemudian dapat mendorong tindakan-tindakan yang kemudian berdampak buruk pada masyarakat,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PRABOWO atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto