tirto.id - Dua hari pada pekan kedua April 2018 jadi waktu yang menegangkan bagi Mark Zuckerberg. Selama 10 jam, suami dari Priscilla Chan itu dicecar pertanyaan dari hampir 100 anggota Kongres Amerika Serikat terkait skandal Cambridge Analytica.
Facebook, perusahaan media sosial yang dipimpin Zuckerberg, dianggap lalai melindungi data para penggunanya hingga hampir 50 juta data pribadi diambil Cambridge Analytica. Firma tersebut menggunakan data pengguna Facebook untuk memenangkan Donald Trump menjadi Presiden AS. Selain itu, Facebook juga dianggap abai terhadap keterlibatan Rusia mengintervensi pemilu AS melalui layanan platform media sosial mereka.
“Itu adalah kesalahanku, dan aku minta maaf [...] Saya memulai Facebook, saya menjalankannya, dan saya bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sini,” kata Zuckerberg.
Facebook menampung 2,2 miliar pengguna aktif bulanan yang rutin membagikan informasi pribadi. Konsekuensinya Facebook tahu segala hal tentang penggunanya di media sosial dengan tingkat yang presisi. Pada salah satu jawaban di depan kongres, Zuckerberg mengatakan platform punya dua data atas penggunanya. Pertama, data umum yang berisi apapun yang diunggah oleh pengguna Facebook. Kedua, data spesifik pemilik akun Facebook.
“Kategori kedua ialah data spesifik yang kami kumpulkan untuk membuat pengalaman iklan kian baik, lebih relevan, dan sukses bagi bisnis,” jawab Zuckerberg pada Senator Mike Lee ketika ditanya tentang data di platform Facebook.
Beberapa contoh data spesifik yaitu "likes" yang dilakukan pengguna Facebook. Meskipun secara sekilas likes tidak memiliki arti terlalu penting, Michal Kosinskia, peneliti dari University of Cambridge, dalam papernya berjudul “Private Traits and Attributes are Predictable from Digital Record of Human Behavior” mengatakan bahwa likes secara otomatis dan akurat dapat memprediksi “highly sensitive personal attributes” seorang pengguna Facebook. Termasuk orientasi seksual, etnik, religi, dan atribusi pribadi lainnya.
Pengguna Facebook membagi data tersebut secara gratis pada Facebook. Namun, Zuckerberg mentransformasinya jadi bahan bakar mendapatkan uang, terutama dalam bentuk iklan. Lebih tepatnya iklan spesifik atau yang lazim disebut microtargeting.
Oana Barbu, peneliti dari Western University of Timisoara, dalam paper berjudul “Advertising, Microtargeting and Social Media” mengatakan microtargeting didefinisikan sebagai cara sukses dalam menyampaikan pesan atau penawaran dengan mempersonifikasikan, kepastian angka implikasi, dan diberikan pada pihak yang tepat.
Barbu menambahkan, salah satu pengaplikasian paling awal dari konsep microtargeting ialah membagi-bagi kelompok masyarakat berdasarkan letak geografis dengan memanfaatkan kode pos. Dalam konteks Facebook, platform ini punya tiga jenis microtargeting yang ditawarkan bagi pemasang iklan. Ketiga jenis itu ialah core audience, custom audiences, dan lookalike audience.
Secara sederhana, ketiga jenis microtargeting yang ditawarkan Facebook memungkinkan pengiklan mengirimkan materi iklan produk atau jasa mereka secara spesifik pada pihak yang diinginkan atau sesuai dengan target materi iklan.
Misalnya, ketika perusahaan produk sampo khusus perempuan berhijab hendak beriklan, maka mereka diberi pilihan oleh Facebook untuk menggunakan data yang mereka miliki berupa data pengguna-pengguna khusus: perempuan, berhijab, berusia muda, dan kriteria-kriteria spesifik lainnya. Ini membuat produk yang diiklankan di Facebook memiliki daya jangkau yang efektif. Facebook menawarkan target spesifik dari yang ingin dibidik dari para pengiklannya.
Dalam publikasi yang dilakukan ProPublica, ada 50 ribu kategori unik microtargeting yang ada di Facebook. Hal ini membuat pengiklan dapat bekerja efektif dengan menawarkan materi iklan mereka ke kelompok yang tepat.
Meskipun memiliki kesan positif bagi pengiklan, namun jika disalahgunakan microtargeting akan sangat berbahaya--persis seperti yang dilakukan Cambridge Analytica. Sara M. Watson, peneliti internet dari Harvard University dalam tulisannya di The Washington Post mengatakan microtargeting “dapat dipersenjatai” atau digunakan untuk tujuan-tujuan yang berbahaya. Ini terjadi karena dalam diri Facebook misalnya terdapat kategori unik “ethnic affinity groups” dan “jew haters.”
Jika ada pengiklan yang membuat propaganda bahwa suku A patut dimusuhi dan disebarkan pada suku B, lalu ia membuat iklan lainnya bagi suku B yang menyatakan bahwa suku A brengsek, maka microtargeting akan jadi alat perusak yang sangat berbahaya.
Sialnya, hampir tak ada yang dapat dilakukan demi menihilkan potensi merusak yang dimiliki microtargeting. Ini terjadi karena Facebook dan pelbagai situs web/aplikasi yang ada di dunia maya menggantungkan hidupnya pada iklan. Dan penghasilan yang diperoleh dari iklan menjadi tulang punggung masyarakat memperoleh pelbagai layanan internet secara gratis. Padahal, ada server, karyawan, dan segala tetek-bengek perusahaan yang perlu dibayar.
Salah satu solusi yang mengemuka adalah dengan mematok biaya berlangganan dari masyarakat. Pada laporan keuangan Facebook kuartal 1-2022, Facebook atau Meta memperoleh pendapatan senilai $27,9 miliar. Membagi penghasilan tersebut dengan 2,9 miliar pengguna aktif Facebook hari ini, artinya pengguna harus membayar sekitar $9,6 (Rp140.000) untuk menikmati pelbagai fasilitas Facebook.
Dan dengan hitung-hitungan yang sama, karena Google memiliki sekitar 4 miliar pengguna dan berpenghasilan $68,01 miliar pada kuartal 1-2022, maka setiap pengguna dibebankan biaya sekitar $17 (Rp250.000) untuk mengakses Search, Gmail, dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan Twitter. Jika aplikasi ini menanggalkan iklan dan sepenuhnya hidup dari biaya yang dibebankan kepada pengguna, melalui kalkulasi serupa, ada harga sebesar $3.647. Angka yang kelewat tidak realistis karena--menghasilkan pundi-pundi sebesar $1,2 miliar pada kuartal 1-2022--Twitter hanya memiliki 329 juta pengguna aktif.
Artinya, iklan microtargeting memang sukar dimusnahkan. Ada penghasilan yang kelewat tinggi dibandingkan ditukar dengan urunan pengguna.
Editor: Irfan Teguh Pribadi