tirto.id - Ada banyak masalah penanganan Corona di Indonesia. Salah satunya adalah perkara kapasitas tes. Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menguji 19.395 sampel sampai Senin (24/8/2020). Selain lebih rendah ketimbang hari sebelumnya yang mencapai 22.152, angka ini juga jauh lebih rendah ketimbang negara lain. India, misalnya, dapat menguji 1 juta sampel dalam 24 jam.
Selain soal kapasitas, masalah lain adalah keterlambatan laboratorium melaporkan hasil tes.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini ada 320 laboratorium yang menggelar tes COVID-19. 158 di antaranya laboratorium real time-PCR, 138 lab tes cepat molekuler (TCM), dan 24 lab mampu melakukan keduanya. Dari sekian banyak lab itu, ada enam yang belum melaporkan hasil tes ke pemerintah.
Sehari sebelumnya, 23 Agustus, terdapat 86 lab yang terlambat. Kemudian, pada 22 Agustus, 79 lab terlambat, 21 Agustus 85 lab, 20 Agustus 73 lab, 19 Agustus 69 lab, 18 Agustus 53 lab, 17 Agustus 66 lab, dan 16 Agustus 72 lab.
Lokasi laboratorium tersebut banyak tersebar di wilayah-wilayah zona merah. Sebut saja, DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Medan.
Wakil Koordinator Humas Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Surabaya M. Fikser mengakui keterlambatan ini. Dia menjelaskan, hasil pemeriksaan lab di Surabaya akan disetor ke Kemkes di Jakarta. Kemudian, hasil yang telah terkonfirmasi akan dikirim balik ke pemerintah provinsi dan diteruskan ke pemerintah kabupaten/kota. Seringkali data diterima tujuh hari atau lebih lama setelah pemeriksaan, padahal sekarang hasil swab tes bisa diketahui dalam tempo satu hari.
“Seperti hari ini contohnya. Saya dapat [laporan hasil tes] yang di bulan Juni, masih ada yang dikirim ke kami, padahal kasusnya sudah lama, setelah kami tracing ternyata sudah sembuh,” kata Fikser kepada reporter Tirto, Senin (24/5/2020).
Fikser menengarai akar masalahnya ada pada kedisiplinan tenaga kesehatan di lab melaporkan hasil tes ke pemerintah pusat.
Tidak semua lab ada di bawah komando pemerintah daerah. Ada pula yang dikelola swasta. Oleh karena itu ia mengatakan telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya untuk mengatasi masalah ini.
Masalah
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman mengatakan ada potensi masalah akibat keterlambatan ini. Pertama, pada level mikro, orang yang belum diketahui hasil tesnya tidak akan bisa menjalani isolasi secara efektif sehingga ada peluang mereka berinteraksi dan menularkan virus.
Di sisi lain, keterlambatan melaporkan hasil tes menyebabkan pemerintah daerah setempat tidak bisa segera melakukan penjejakan riwayat perjalanan. Kembali pada poin pertama, rantai penularan tidak bisa segera diputus.
“Ini kan mengerikan, akibat hasil terlambat orang ke mana-mana sehingga kemudian akan makin susah menelusuri ke mana dia tinggal, dengan siapa berinteraksi, dan lain sebagainya,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (24/8/2020).
Poin kedua yang jadi masalah adalah akurasi data. Sebagaimana diketahui, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mematok standar tes COVID-19 dilakukan terhadap 1 per 1000 penduduk. Indonesia sejauh ini belum mampu memenuhi itu--kecuali DKI Jakarta . Dengan kondisi itu saja, angka positivity rate di Indonesia masih bisa diragukan, sebagian besar ahli epidemiologi menilai angka riil orang dengan COVID-19 di Indonesia lebih besar dari yang dilaporkan.
Jika kemudian data harian yang dilaporkan tidak lengkap karena ada laboratorium yang terlambat, maka masalah semakin pelik. Data jumlah pasien positif yang disampaikan pun menjadi tidak akurat, demikian juga dengan positivity rate.
“Jika angka positive rate-nya misal dianggap turun, anggapan itu pun jadi tidak akurat karena itu hasil tes beberapa hari atau beberapa minggu lalu,” kata Deddy.
Dampak lanjutannya gawat, sebab data jumlah pasien positif dan positive rate menjadi patokan bagi pemerintah mengambil kebijakan, termasuk misalnya membuka kembali sekolah. Ada 15 indikator yang digunakan untuk memutuskan kebijakan ini, seluruhnya berdasarkan data harian, yaitu:
1. Penurunan jumlah kasus positif selama 2 minggu terakhir dari puncak (target lebih besar sama dengan 50%)
2. Penurunan jumlah kasus ODP dan PDP selama 2 minggu terakhir dari puncak (target lebih besar sama dengan 50%)
3. Penurunan jumlah meninggal dari kasus positif selama 2 minggu terakhir dari puncak (target lebih besar sama dengan 50%)
4. Penurunan jumlah meninggal dari kasus ODP dan PDP selama 2 minggu terakhir dari puncak (target lebih besar sama dengan 50%)
5. Penurunan jumlah kasus positif yang dirawat di RS selama 2 minggu terakhir dari puncak (target lebih besar sama dengan 50%)
6. Penurunan jumlah kasus ODP dan PDP yang dirawat di RS selama 2 minggu terakhir dari puncak (target lebih besar sama dengan 50%)
7. Kenaikan jumlah sembuh dari kasus positif
8. Kenaikan jumlah selesai pemantauan dan pengawasan dari ODP dan PDP
9. Penurunan laju insidensi kasus positif per 100.000 penduduk
10. Penurunan angka kematian per 100.000 penduduk
11. Rt - angka reproduksi efektif kurang dari 1 (sebagai indikator yang ditriangulasi)
12. Jumlah pemeriksaan spesimen meningkat selama 2 minggu
13. Positivity rate kurang dari 5% (dari seluruh sampel diagnosis yang diperiksa, proporsi positif hanya 5%)
14. Jumlah tempat tidur di ruang isolasi RS rujukan mampu menampung lebih dari 20% jumlah pasien positif COVID-19
15. Jumlah tempat tidur di RS rujukan mampu menampung lebih dari 20% jumlah ODP, PDP, dan pasien positif COVID-19.
“Yang saya khawatir adalah dia [pemerintah] merasa zonasinya sudah aman, buka sekolah, buka kampus, buka fasilitas umum, jadinya makin tidak terkendali penularan virusnya,” kata Dedi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino