Menuju konten utama

Bagaimana Strangers Things Kian Meluaskan Tren Budaya Pop 80-an

Tren budaya pop diyakini bersiklus 20 tahunan. Ini serial tetang petualangan anak-anak, tapi ‘relatable’ untuk yang dewasa sekalipun.

Bagaimana Strangers Things Kian Meluaskan Tren Budaya Pop 80-an
Poster film Stranger Things 3. FOTO/Netflix

tirto.id - Mini seri Stranger Things seharusnya gagal, kata Stephen Armstrong dalam analisisnya untuk Radio Times.

Armstrong beralasan Duffer Bersaudara selaku kreator cerita, penyusun naskah, dan sutradara belum mematangkan rekam jejak di industri televisi Amerika. Sebelumnya mereka hanya menulis beberapa episode untuk Wayward Pines, seri fiksi ilmiah Fox.

Ditambah lagi, serial ini tidak membawa bintang besar—kecuali Winona Ryder. Sisanya, terutama para pemeran utama, adalah aktor/aktris anak dengan wajah yang asing.

Namun Armstrong salah besar. Ketika mengudara pertama kali pada 15 Juli 2016 melalui Netflix, hingga musim ketiga yang dirilis pada 4 Juli 2019, Stranger Things menjelma sebagai salah satu acara orisinal Netflix paling populer dan menghibur.

Lalu, faktor apa yang melatar belakangi kesuksesan Stranger Things?

Pada dasarnya serial inihadir ketika seri Netflix lain mulai meredup, kata kontributor Fortune Erik Kain. House of Cards, misalnya, kala itu memasuki musim lanjutan yang tidak semenggigit musim pertama. Pesona musim ketiga Orange is the New Black juga tidak sekuat musim pertama dan musim kedua.

Ada lima faktor lain, lanjut Kain. Pertama, Stranger Things efisien karena per musim hanya ada delapan episode (kecuali musim kedua, sembilan episode). Kedua, elemen misterinya kokoh. Ketiga, casting pemerannya tepat. Keempat, bauran komedi dan horornya menghibur. Kelima, yang paling menarik, konsepnya mampu membangkitkan nostalgia 80-an.

Nostalgia itu mula-mula didasarkan pada latar waktu dan tempat. Latar waktu serial berjarak satu tahun per musim, dimulai dari tahun 1983. Sementara latar tempatnya menyorot misteri yang melingkupi kota fiksi bernama Hawkins di Indiana, Amerika Serikat.

Duffer Bersaudara memaksimalkan elemen-elemen budaya pop lawas sebab estetika 80-an memang sedang digemari generasi milenial dan yang lebih muda sejak awal 2010-an. Keduanya berupaya untuk menunggangi ombak, dan pada akhirnya makin meluaskan trennya.

Para pemeran memakai celana panjang sekaligus jaket denim, memanjangkan rambut yang sengaja dibikin ikal atau keriting, mengenakan atasan berwarna cerah, dipadukan dengan tata rias yang mencolok. Elemen ini nampak paling hidup di musim ketiga, saat para pemeran digambarkan sedang memasuki masa puber.

MSN Style melaporkan pada 2017 merek busana perempuan Topshop menjalin kerja sama dengan Stranger Things jelang rilis mini seri musim kedua. Louis Vitton mengikuti strategi ini untuk dipasarkan melalui koleksi baju musim semi dan musim panas tahun 2018.

Menyambut musim ketiga, H&M mengokohkan tren Stranger Things dengan meluncurkan koleksi baju musim panas berestetika 80-an. Bentuknya berupa atasan, pakaian renang dan aksesori yang berkaitan dengan Hawkins Community Pool, salah satu lokasi penting dalam Stranger Things musim ketiga.

Tren ini tidak hanya terjadi di fesyen, tapi juga di musik. Elemen musik dalam Stranger Things digubah oleh Kyle Dixon dan Michael Stein yang tergabung dalam band elektronik Survive.

Keduanya menggunakan synthesizer secara ekstensif. Kerja-kerja mereka dijadikan semacam penghormatan bagi para komposer film tahun 1980-an. Sebut saja Jean-Michel Jarre, Tangerine Dream, John Carpenter, atau Giorgio Moroder.

Stranger Things musim ketiga turut mengembalikan kenangan atas lagu-lagu seperti "Never Surrender"-nya Corey Hart, "Material Girl"-nya Maddona, atau "Wake Me Up Before You Go-Go"-nya Wham!. Semuanya hits yang mendefinisikan 80-an. Stranger Things telah memakai yang serupa sejak musim pertama.

Tak ketinggalan, referensi game-game klasik seperti Dungeons & Dragons. Mike Wheeler (Finn Wolfhard) di musim pertama menjadi pemimpin grup sekaligus memandu permainan tersebut bersama kawan-kawan satu gengnya. Tradisi ini masih dilanjutkan sampai di musim terbaru.

Dari segi teknis, barangkali yang terpenting, adalah rancangan cerita sekaligus gaya sinematografi yang inspirasinya diambil dari buku maupun film legendaris 80-an. Para penulis dan sineasnya memang tercatat berhasil membentuk genre fiksi ilmiah-horor yang berstatus legenda.

“Ada perasaan yang sangat spesifik yang saya rasakan ketika saya membaca buku-buku Stephen King di kamar, di masa kanak-kanak, dan kami berusaha menangkapnya untuk ditampilkan di serial,” kata Matt Duffer, kembali mengutip Radio Times.

“Kami nongkrong bersama sekelompok anak-anak culun untuk bermain game. Ada perasaan khusus lagi, yakni ketika kami membayangkan sedang memasuki hutan untuk mencari harta karun, lalu melanjutkan aktivitas tersebut sebagai sebuah petualangan.”

Imajinasi itu termanifestasi pada petualangan Mike dan kawan-kawan selama mencari penjelasan serta solusi atas misteri yang datang ke kota mereka. Sumber inspirasinya berjubel. Duffer Bersaudara pernah menyebutkan film-film seperti The Goonies, Close Encounters, Firestater, Stand By Me dan E.T.

Sementara untuk fiksi-ilmiah bercampur horor, inspirasinya bisa ditelusuri ke film The Evil Dead, The Fog, A Nightmare on Elm Street, Poltergeist, Scanners, atau The Thing. Karya-karya legendaris tersebut hadir di Stranger Things melalui poster film maupun menjadi bahan tontonan para pemeran.

Infografik Misbar Stranger things

Infografik Misbar Stranger things. tirto.id/Quita

Kenapa Kembali ke 80-an

Jen Chaney pernah menulis untuk Vulture perihal mengapa orang-orang pada hari ini kembali terobsesi pada budaya pop 80-an. Ia menengarai tren budaya pop selalu berulang tiap 20 tahun.

Chaney memberi bukti bagaimana tren 80-an sudah mulai terasa pada era 2000-an. Ia menyebutnya sebagai Kebangkitan 80-an 1.0. Setelah 2010, tren tersebut makin terasa signifikan terutama berkat kemajuan teknologi internet. Chaney menyebutnya sebagai Kebangkitan 80-an 2.0.

Chaney meminta pendapat Joe Weisberg dan Joel Fields, pembuat acara The Americans. Keduanya kembali menyinggung kekuatan nostalgia yang mengendap serta jadi inspirasi utama para penulis skenario di Hollywood.

Dekade 80-an ialah masa di mana industri perfilman Amerika sedang diramaikan oleh generasiNew Hollywood. Para sineasnya mematangkan etos kerja sejak tahun 70-an. Beberapa karya mereka yang berstatus blockbuster kemudian menjadi format film populer yang secara teknis masih dicontoh oleh generasi muda Hollywood hingga hari ini.

Era 1980-an juga menjadi masa terbentuknya basis penggemar alias fandom untuk berbagai produk budaya pop.

Pada genre fiksi ilmiah yang bercampur horor, dalam bentuk novel, film, atau serial, fandom terbentuk karena rata-rata karya berkonsep tinggi (high concept), namun juga mampu dipasarkan dengan baik.

Stranger Things dibuat untuk mengenang sekaligus menjadi bentuk penghormatan pada masa kejayaan fiksi ilmiah-horor itu, sehingga penggemarnya bukan hanya dari kalangan anak-anak atau remaja, tapi juga orang dewasa.

Orang dewasa itu, seperti Duffer Bersaudara, adalah mereka yang pernah terkesima dengan keajaiban noval maupun film fiksi ilmiah 80-an. Saat sudah beranjak dewasa, ia mudah terhubung dengan Stranger Things. Faktor inilah yang membuat mini seri tersebut mampu menjangkau massa dari berbagai usia.

“Anda tidak harus menjadi anak culun pada 1980-an untuk melihat diri Anda di salah satu karakternya. Semua anak-anak menghadapi monsternya masing-masing—apapun itu,” kata David Ewalt, penulis buku Of Dice and Men: The Story of Dungeons & Dragons and the People Who Play It, kepada Inverse.

“Kita akan merasa terhubung dengan karakter-karakter di dalam serial, mereka yang memiliki misi dan masalah yang harus dihadapi. Anak-anak kekinian pasti juga akan merasakannya.

Baca juga artikel terkait SERIAL NETFLIX atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nuran Wibisono