Menuju konten utama

Pesona "Plastic Love", Kebangkitan City Pop Jepang Era 80-an

Lebih dari sekadar algoritme YouTube, “Plastic Love” menyuguhkan nada khas City Pop yang mudah digemari secara universal, di saat generasi kekinian sedang menggandrungi berbagai hal yang mengandung estetika 80-an.

Pesona
Mariya Takeuchi dalam sampul album "Morning Glory". FOTO/mariyat.co.jp.

tirto.id - Setelah mengendap cukup lama di bagian rekomendasi YouTube, saya menyerah. Lagu “Plastic Love” karya Mariya Takeuchi akhirnya saya putar. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Berkali-kali. Secara tak sadar, saya kecanduan lagu tersebut.

Warganet lain ternyata mengalami hal yang sama. Pujian kepada lagu tersebut membanjiri kolom komentar. Ada yang jatuh cinta dengan suara sang biduan asal Jepang. Ada yang menyukai ketukan diskonya, atau permainan basnya yang “funky”. Lainnya mengalami nostalgia yang ganjil sebab lagu itu lahir dan berjaya di masa ketika mereka belum lahir.

Muaranya serupa: rasa syukur karena rekomendasi YouTube telah memperkenalkan mereka pada sesuatu yang baru sekaligus yang enak didengar kuping.

Bak menemukan harta karun, editor Noisey Ryan Bassil menulis sebuah artikel yang cukup emosional untuk mendaulat “Plastic Love” sebagai “lagu pop terbaik di dunia”.

Apa alasannya?

Mari mundur sejenak ke Jepang era 1980-an, ketika Negeri Matahari Terbit sedang menikmati puncak pertumbuhan ekonomi empat persen per tahun. Pada 1987 hingga 1989 angkanya bahkan naik di kisaran 5 persen.

Konsumen dari seluruh dunia membayar harga yang terjangkau untuk barang dan komoditas bikinan Jepang. Industri berkembang, termasuk di bidang kreatif seperti film, televisi, video, animasi, dan komik manga. Pengangguran pun bisa ditekan hingga di bawah lima persen.

Kota-kota besar, terutama Tokyo, diterjang arus modernisasi dari segala sisi. Pembangunan gedung pencakar langit meningkat, baik untuk perkantoran, kawasan bisnis, maupun apartemen. Pembangunan transportasi massal juga digenjot habis, dan dirasa perlu meski memakan anggaran yang besar.

Hasilnya adalah migrasi penduduk usia produktif dari desa ke kota, atau dikenal dengan istilah urbanisasi. Robert C. Christopher pernah melaporkan untuk New York Times bahwa pasca Perang Dunia II Jepang mengalami kenaikan penduduk kota hingga 87 persen.

Saat ruangan apartemen di Tokyo kian menyempit tapi harganya makin mencekik, terjadi proses sub-urbanisasi yang menyasar kota-kota di sekitarnya. Pendatang memilih tinggal di Saitama, Chiba, atau Ibaraki. Sementara yang mencari nafkah di Osaka atau Kyoto memilih tinggal di Hyogo, Nara, atau Shiga.

Selain dari sisi materil, perubahan yang tak kalah signifikan adalah dari segi gaya hidup. Warga Jepang kian kosmopolit, individualis, sekaligus makin teralienasi satu sama lain. Mereka terjebak dalam paradoks: makin dinamis dalam bersosialisasi, tapi sekaligus mudah kesepian. Mereka gampang mengosumsi hal-hal yang sifatnya instan sekaligus kian susah mencecap keintiman.

Faktor utama yang membuat Ryan Bassil (dan penggemar Mariya lain) jatuh hati pada “Plastic Love” adalah liriknya yang sukses menarasikan sederet problem tersebut. Lagu ini bercerita tentang seseorang perempuan, sebut saja A, yang mencoba 'move on' dari mantan pasangannya.

A terjebak di situasi yang ironis, karena “setiap laki-laki yang mengajakku kencan mirip dengannya (mantan)”. Hal ini “memancing” memori A, tapi tidak menghentikannya untuk menjalani kencan singkat dengan laki-laki itu.

Kencan yang A jalani dianalogikan sebagai plastik: murahan, instan, tidak mengandung keintiman lebih. A melarikan diri dari kisah kelamnya dengan cara menggauli malam yang serba-kosmopolitan, glamor, tapi ia sendiri tahu bahwa itu semua palsu.

Saat ada laki-laki yang mencoba serius, A kemudian berkata bahwa ia hanya sedang main-main. Ia takut sekaligus trauma berkomitmen.

Maaf, jangan cintai aku dengan serius

Cinta hanya permainan belaka

Jika aku bisa bersenang-senang, itu sudah cukup

Gaun dan sepatu mewah mendekorasi pikiranku yang tertutup

Keduanya adalah temanku untuk melonggarkan rasa sepi

A tahu bahwa “ini cuma cinta plastik” dan tak ingin orang lain “mengacaukan program cintanya”. Baginya, “semua akan berakhir pada waktunya”, dan ia hanya ingin “berdansa dengan irama plastik, hingga pagi menjelang.”

“Plastic Love” adalah salah satu lagu yang mewakili genre yang pernah populer di Jepang pada dekade 1980-an. Namanya City Pop. Jurnalis musik Yutaka Kimura dalam bukunya Disc Collection: Japanese City Pop (2011) menyebutnya sebagai “musik pop perkotaan untuk mereka yang bergaya hidup urban”.

Faktor unik yang membantu reputasi genre ini adalah kemunculan stereo set mobil. Warga perkotaan di Jepang tiba-tiba membutuhkan musik yang enak untuk didengar sepanjang menyusuri kota, selama mereka menyesap aura kosmopolitanisme yang memancar dari cahaya gedung dan sorot lampu jalanan.

Dua musisi yang dianggap sebagai pelopor City Pop adalah mantan personel band Happy End, Haruomi Hosono dan Tatsuro Yamashita. Pada pertengahan 1970-an Haruomi dan bandnya berkreasi dengan menggabungkan unsur R&B bagian selatan AS, soul bagian utaranya, dan jazz tropis Hawaii atau Okinawa.

Hasilnya adalah bibit genre City Pop. Tatsuro mengokohkan pondasinya dengan menambahkan unsur soft rock, funk, boogie, dan akhirnya turut terpengaruh pop tekno serta disko. Genre ini populer sejak akhir tahun 1970-an dan terutama pada awal 1980-an oleh sederet penyanyi seperti Anri dan Akira Terao.

Mariya Takeuchi berkarier di jalur yang sama sejak pertengahan 1970-an. Ia sukses merilis lima album hingga tahun 1982. Ia kemudian rehat sejenak karena menikah dengan Tatsuro. Keduanya menjadi pasangan musisi paling beken di Jepang, serupa Beyonce dan Jay Z di masa kini.

Pada 1984 Mariya merilis album “Variety” yang mengandung lagu “Plastic Love”. Album ini laris manis di pasaran. Karya kolaborasinya bersama suami merajai tangga lagu domestik. Ia mulai membangun basis penggemar di luar Jepang dan makin dikenal sebagai salah satu ikon terpenting City Pop.

Mariya masih merilis hampir selusin album lain, hingga yang terakhir dirilis pada tahun 2014. Namun, dalam wawancara bersama Patrick St. Michel untuk Japan Times, Mariya menganggap Variety sebagai album yang paling berarti baginya.

“Album itulah yang membuat aku bisa independen dalam berkarier. Tentu saja aku sebelumnya telah merilis lima album, dan semuanya juga penting bagiku untuk beberapa alasan khusus. Tapi, bagaimana pun juga, tanpa “Variety” aku tidak mampu meraih apa yang sudah kudapatkan hari ini.”

infografik city pop

City Pop pelan-pelan memudar pada era 1990-an. Salah satu penyebab utamanya adalah pecahnya gelembung harga aset di Jepang. Ekonomi negara tiba-tiba mengalami perlambatan, stagnan, lalu akhirnya menurun. Warga kota murung dan pesimistis, sehingga tak bisa lagi menikmati alunan City Pop yang cenderung ceria dan optimistik.

Selama dua dekade selanjutnya industri musik dalam negeri Jepang diramaikan oleh berbagai varian J-Pop. Lalu pada 2010-an City Pop tiba-tiba populer kembali.

“Plastic Love” yang orisinil hanya berdurasi lima menit. Versi delapan menit disertakan dalam album kompilasi tahun 1985. Versi inilah yang diunggah di YouTube oleh sebuah akun bernama Plastic Lover pada Juli 2017.

Popularitas City Pop membuat unggahan ini mendapat penonton melimpah (lebih dari 23,5 juta per 28 November 2018). Penonton juga otomatis direkomendasikan ke lagu City Pop legendaris lain, seperti “Stay With Me”-nya Miki Matsubara atau “Remember Summer Days”-nya Anri.

“Plastic Love” dan lagu-lagu City Pop lawas turut terdongkrak popularitasnya karena dijadikan bahan “meme” oleh warganet. Kembali merujuk ke laporan Patrick St. Michel untuk Japan Times, bahkan Mariya sendiri heran dengan asal-usul gerakan “meme” tersebut.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” katanya, yang juga penasaran dengan penilaian para penggemar baru terhadap karya-karyanya.

Patrick kemudian menghubungi Kevin Alloca, kepala divisi Kultur dan Tren YouTube. Ia meminta penjelasan terkait alogaritma YouTube yang membuat “Plastic Love” direkomendasikan ke banyak orang.

“Sistem rekomendasi YouTube mencoba mencocokkan setiap pengunjung dengan video yang kemungkinan besar mereka tonton. Sistem ini menyediakan umpan balik “real-time” yang memenuhi minat tontonan pengunjung,” jelasnya.

Kevin tidak menyebut satu contoh khusus. Pada intinya penggemar musik yang mengklik tombol suka pada satu video akan dicatat oleh sistem rekomendasi YouTube sebagai sinyal positif. Sistem ini kemudian menaruh video ke bagian rekomendasi penonton lain yang menaruh minat pada jenis musik yang sama.

YouTube kini dibanjiri oleh video kompilasi lagu-lagu City Pop yang berdurasi antara setengah hingga lebih dari satu jam. Ada juga yang menyediakan kanal streaming untuk mengakses lagu-lagu City Pop selama 24 non-stop.

Video-video tersebut memamerkan kreasi visual sederhana yang mengandung unsur warna neon. Ada yang menyematkan cuplikan film atau serial animasi lawas untuk diputar berulang-ulang.

Nuansa urbannya kian terasa pada beberapa video yang menampilkan jalanan kota metropolitan Jepang pada malam hari, dilihat dari sudut pandang supir mobil.

Terlepas dari algaritme YouTube, popularitas City Pop memang didorong oleh kegandrungan generasi milenial dan yang lebih muda terhadap berbagai bentuk karya seni yang mengandung estetika 80-an. Ketertarikan ini merentang mulai dari gaya busana, gaya artistik, film layar lebar, hingga tentu saja musik.

Di tangan mereka City Pop membelah diri ke dalam sebuah sub genre baru bernama Vaporwave. Sub genre ini bertitik tolak pada musik yang dirasa cocok atau sesuai suasana hati (mood music).

Vaporwave menggabungkan unsur-unsur jazz lembut, musik lift, R&B, dan musik “lounge”. Mereka memanipulasi trek dengan cara dicincang-cindang, diperlambat, ditambah efek disana-sini, dan kebanyakan tanpa lirik. Teknik yang sama juga dipakai oleh pegiat lo-fi, genre mood music yang belum lama ini juga sempat populer di YouTube.

Baca juga artikel terkait MUSIK POP atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Musik
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf