Menuju konten utama
3 November 2011

JKT48: Gelap Terang Grup Idola

Cerita panjang mengenai mengapa JKT48 begitu populer. Lalu bagaimana setelah Nabilah mundur?

JKT48: Gelap Terang Grup Idola
Ilustrasi personil JKT48. tirto.id/Gery

tirto.id - Pada mulanya adalah harapan. Aria Triputra, akrab dipanggil Ari, di sela kesibukaannya mengurus kebersihan kantor, menyempatkan menonton video-video JKT48. Sebelum kenal dengan grup idola tersebut, Ari pernah tergabung Kopi Putih, Komunitas Pencinta Putri Titian--saya tidak tahu ke mana larinya huruf 'h' di akhir--sebelum kemudian memutuskan pindah haluan.

Ari bukan pehobi yang akan membelanjakan seluruh gajinya untuk menonton teater JKT48 atau berjabat tangan dengan oshi-nya. Dia dan teman-temannya menikmati posisi sebagai penggemar. Berbeda dengan AKB48 di negeri asalnya yang menyasar pria-pria kelas menengah yang matang, baik usia maupun finansial, untuk terjun dalam dunia grup idola. JKT48 melampaui target pasar itu.

"Habis mereka (anggota JKT48) lucu-lucu sih, Mas. Kelihatan semangat gitu. Saya jadi ikut semangat." jawab Ari saat ditanya alasan menyukai JKT48, lalu menambahkan dengan menyanyikan lagu Fortune Cookies yang Mencinta, "Masa depan tidak akan seburuk itu."

Rekah Fajar Grup Idola

Harapan itu mewujud dalam grup Sannin Musume (Tiga Dara). Grup yang beranggotakan gadis-gadis sekolah--Hibari Misora, Chiemi Eri, dan Yukimura--muncul di dekade 50an dan menjadi sarana pelarian luka Pasca Perang Dunia II dengan membawakan musik mini jazz (Sandra Buckley, The Encyclopedia of Contemporary Japanese Culture). Mereka menawarkan dua gagasan saja: lugu dan murni.

Lalu mukjizat turun di Jepang. Pertumbuhan ekonomi di masa antara Perang Dunia II dan akhir Perang Dingin (Lucien Ellington, Learning from the Japanese Economy) melahirkan budaya konsumerisme yang perlu medium penyaluran, sebelum memasuki era 90an, dekade ekonomi yang disebut Fumio Hayashi sebagai paling membosankan di Jepang (The 1990s in Japan: A Lost Decade).

Harapan dan mukjizat itu menemukan titik temu di kata idol (idola). Kata itu mendarat dan berkembang di Jepang setelah film Perancis garapan Michel Boisrond, Cherchez l’idole, dirilis tahun 1963 dengan judul Aidoru o Sagaso (Mencari Idola). Kemudian kata idol di Jepang sering diasosiasikan dengan penampil muda yang menyanyi, berpose di majalah, dan kerap muncul di media.

Idol memproyeksikan citra mereka sebagai orang yang resik, sehat, dan periang. Tahun 1971, tertulis dalam buku Idols and Celebrity in Japanese Media Culture, dikenang sebagai tahun awal bangkitnya musim idola (aidoru gannen). Pada tahun-tahun itu gadis-gadis bertampang ceria dan tindak-tanduk serba ramah menghiasi acara-acara televisi seperti New Big Three (shin-gosanke), kemudian produk dan budaya yang berhubungan dengan grup idola mengelilingi industri idola seperti satelit.

Industri ini memasuki era emasnya di dekade 80an. 40 hingga 50 grup idola baru lahir setiap tahun. Pada 1985, ketika Fuji TV menayangkan program malam bertajuk All Night Fuji dengan pembawa acara gadis sekolah, gagasan lugu dan murni dan harapan-harapan yang menyertainya menembus titik tertinggi. Penontonnya didominasi laki-laki, tentu saja. Mereka, pecinta idola, lebih senang menyebut diri sebagai pendukung ketimbang penggemar. Maka semakin terang arti idola: sekelompok manusia baik yang bisa Anda kagumi dan impikan.

Untuk memastikan bahwa mereka tetap lugu dan murni di mata pendukungnya, manajeman Onyako Club (grup idola di tahun 1987), misalnya, membuat aturan yang super-konservatif: tidak boleh pacaran, tidak boleh dugem, tidak boleh bolos sekolah, tidak boleh merokok. Aturan ini tampaknya masih dianut hingga kini (Brian Ascraft & Shoko Ueda, Japanese Schoolgirl Confidential: How Teenage Girls Made a Nation Cool).

1990-an - 2000-an: Jenuh hingga Resureksi Idola

Permainan mencari dan mendukung idola adalah salah satu medium yang muncul dari kematangan ekonomi Jepang Pasca-Perang Dunia II, bentuk konsumerisme yang memungkinkan untuk lahir pada saat itu.

Awal 90-an, orang-orang mulai jenuh dengan idola yang begitu-begitu saja. Mereka mulai mengapresiasi keindahan dalam bentuk yang "sempurna". Kata idola mulai tergantikan dengan "remaja rupawan berbakat" atau "seniman", istilah-istilah yang ditujukan kepada orang-orang yang memang memiliki bakat untuk diapresiasi. Gerakan musik rock dan folk Jepang yang disebut Musik Baru (New Music) menempatkan diri sebagai lawan dari grup idola (Chuo Koron, When Idols Shone Brightly – Development of Japan, the Idol Nation, and the Trajectory of Idols).

Amuro Nami, yang memulai debutnya sebagai idola dalam grup Super Monkey's pada usia 14 tahun, tidak pernah lagi menyebut dirinya sebagai idola. Kata idola tentu tidak punah, tetapi digunakan untuk menyebut penyiar atau model remaja yang muncul di majalah.

Kekuatan idola memudar hingga kemunculan Morning Musume pada 1997, yang diikuti AKB48 pada tahun 2005, dan Momoiro Clover Z di 2008. Era resureksi grup idola ini dibarengi dengan pembaharuan yang membuat mereka berbeda dengan grup-grup idola dekade 80-an: mereka berjuang setengah mati sebelum dapat diidolakan.

AKB48, idola yang berkompetisi, memperkenalkan program dengan konsep kompetisi sehat antar anggota yang berkaitan dengan penggemar mereka. Konsep Pemilihan Member yang melibatkan penggemar berhasil menciptakan hubungan berharga antara penggemar dan yang digemari. Penggemar bisa menikmati permainan mencari, mendukung, dan mempromosikan idola mereka. Maka tidak salah jika mereka lebih cocok disebut 'pendukung' ketimbang 'penggemar'.

Sistem bisnis yang menciptakan paradoks; perasaan dekat namun tak terjangkau. Meski begitu model program AKB48 mendapat momentumnya, melintasi batas region, dimulai dari Tokyo, menyebar ke Nagoya, lalu Osaka, Fukuoka, hingga mendarat di Jakarta.

JKT48, Penjualan, dan Anggapan

"Buat salaman aja disediain hand sanitizer, emang tangan lo sarang virus ebola?" pertanyaan yang tak perlu jawaban itu dilontarkan Pandji Putranda saat ditanyai tanggapannya mengenai JKT48 dan pendukungnya. Pandji Putranda adalah satu dari sekian orang yang menganggap aneh kultur grup idola. "Buat ngidol ada yang sampai gadai mobil segala, berantem di twitter cuma gara-gara masalah sepele, sampai ada kasta-kastaan. Nge-fans kok birokratis."

Pandji dapat dipastikan tidak masuk dalam 3.895.719 orang yang menyukai halaman Facebook JKT48 (data diambil per 27 Oktober 2017, jam 17.30 WIB) apalagi berlangganan akun YouTube mereka. Tetapi Haidir Rahman adalah salah satunya.

"Waktu pertama nonton, terlihat bersinar sendiri," kata Haidir dalam obrolan singkat di WhatsApp, yang diklaim terlihat bersinar itu adalah salah satu anggota JKT48, Melody Nurramdhani Laksani, oshi-nya Haidir.

Hal yang paling dikenang Haidir tentang Melody adalah ketika dia memberikan hadiah berupa jam tangan secara langsung pada sesi hi-touch--sesi tos dengan idola--setelah selesai teater.

"Tapi gue nggak pernah melihat oshi sebagai pacar sih, jadi biasa aja. Nggak pernah ada usaha buat dikenal sama oshi, kan ada tuh yang malah pengen dikenal. Haha. Oshi itu menurut gue cuma wanita yang diidamkan tapi nggak bisa digapai."

Awalnya Haidir menyukai lagu-lagu JKT48. Lingkungan pertemanannya juga menyukai JKT48. Keseruan bersama teman dan bernyanyi bareng adalah alasan kenapa dia suka menghadiri acara-acara JKT48. Haidir memulai hobi ini sejak 2012, dan pelan-pelan mulai meninggalkannya.

"Teman-teman yang lain sekarang sibuk kerja, dan gue mulai merasa sayang ngeluarin duit buat gituan. Haha. Kadang masih lihat-lihat aja. Terakhir ke teater tiga bulan lalu, itu juga dibayarin," ujarnya.

Perbincangan kami diakhiri dengan pesan, "Buat Melody, tolong jangan bersinar teruslah, nanti saya susah lepas lagi." Lalu Haidir membubuhkan emoji sedih sebagai penutup percakapan.

JKT48 adalah paket lengkap. Pendukungnya tidak hanya disuguhi hiburan, tetapi juga pengalaman-pengalaman emosional. Mendukung idolanya mulai dari tidak bisa bernyanyi dan menari hingga cukup populer untuk terpilih menjadi senbatsu.

Seperti halnya produk budaya Jepang yang mendarat di Indonesia, JKT48 jadi sama artinya dengan hobi. Dan untuk hobi, mengelurkan banyak uang adalah sesuatu yang lazim. Apakah kondisi ekonomi Indonesia, dan penghasilan warganya, sudah sematang Jepang? Jawaban dari pertanyaan ini yang kemudian membuat Haidir berusaha meninggalkan JKT48.

Berbeda dengan Haidir Rahman, Sandya Windhu Febryas menganggap wota adalah sekumpulan orang menyedihkan. Sikap dan pilihan mereka tak dapat dia pahami. Bagi Sandya, wota hanya orang-orang kesepian, yang melampiaskan kesepian mereka kepada gadis-gadis muda.

"Wah berarti ada 4 jutaan orang menyedihkan, dong?" komentar Sandya saat tahu jumlah pengikut akun @officialJKT48 mencapai 4.073.441 follower pada 27 Oktober 2017, jam 17.30 WIB.

Sandya menambahkan, "Gue sih fokus ke wota-wota cowoknya. Ada banyak konser yang lebih menarik daripada JKT48, misalnya, tapi mereka habisin uang buat yang begitu. Aneh aja. Tapi, ya, gue mengapresiasi cara manajemen JKT48 menjual produk mereka."

Pujian Sandya rasanya tak berlebihan. Menurut Andre Noorman, Head of Operation Hits Record, seperti yang dikutip Jawa Pos, album JKT48 Festival Greatest Hits berhasil menembus 150 ribu keping dalam waktu enam bulan sejak dirilis. Double Platinum, istilah yang sudah cocok menjadi judul dongeng musik Indonesia di era digital. Penjualan itu mustahil tercapai tanpa kerja keras dan strategi jitu.

Awalnya Meisya Citraswara berada satu barisan dengan Sandya. Bagi Meisya, JKT48 hanya gadis-gadis bawah umur yang dikumpulkan untuk menghibur pria-pria.

"Gue lihat mereka di Twitter. Mereka dikasih satu persona yang dieksploitasi di Twitter, misalnya Ayana kalau nge-tweet itu harus typo dan yang lain juga dikasih identitas kayak gitu. Menurut gue itu menjijikan. Gue salah satu orang yang dulu sering menjadikan mereka bahan ledekan di Twitter."

Hingga suatu hari, mengikuti saran temannya yang sudah lebih dulu menggemari JKT48, Meisya menonton teater secara langsung.

"Kalau toh lo nggak suka, minimal lo punya bahan tambahan buat ngeledekin mereka," kenang Meisya seraya meniru gaya bicara temannya.

Akhirnya dia sepakat menonton, tentu ditraktir. "Wah, ternyata spektakuler banget! Cewek-cewek lucu, nyanyi sambil nari di panggung dengan lightning yang megah dan animo penonton yang seru. Keren. Image mereka ternyata berbeda dengan image di Twitter, dan berbeda dengan grup-grup lain yang ada di TV. Mereka menyajikan konten yang lebih eksklusif khusus bagi penggemar yang datang ke Teater. Jadi kalau lo mau lihat mereka beneran, ya, di Teater. Kepribadian mereka kelihatan di sana, dan itu kan yang dijual JKT48, selain nyanyi dan nari-nari."

Kesukaan Meisya terhadap komik-komik shojo--komik yang ditujukan untuk pembaca perempuan remaja dan fokus pada drama ketimbang aksi--membuat Meisya pelan-pelan menikmati lirik-lirik lagu JKT48. Liriknya manis dan naif, seperti ucapan-ucapan anak sekolah yang kadang terdengar menggelikan sekaligus menggemaskan.

"Tapi gue nggak pernah merasa tumbuh bareng mereka. Itu, kan, yang diharapkan grup idola. Gue cuma ikut handshake dan ikut seneng saat anggota yang gue suka jadi senbatsu. Tapi kalau mereka kenapa-kenapa, ya, gue biasa aja. Nggak pernah sampai bikin gue marah."

Hampir semua teman Meisya yang menjadi wota tidak punya teman perempuan di kehidupan nyata. Mereka melihat JKT48 bukan sebagai objek penghibur belaka melainkan juga teman.

"Setelah gue menyukai JKT48 dan mengamati, ternyata nggak semua menjadikan JKT48 itu objek kepuasan semata, ada yang benar-benar cuma menganggap anggota-anggota JKT48 itu teman sebaya mereka. Orang yang peduli dengan mereka. Meskipun nggak bisa ditampik kalau itu memang objektifikasi. Hal yang paling gue inget adalah saat gue keluar dari Teater, Nabilah menegur gue, 'Eh, kakak cantik yang kemarin!'

"Ada perasaan: 'Oh, ternyata dia inget gue.' Dan akhirnya gue mau datang ke Teater lagi. Padahal gue tahu, dia melakukan itu ke semua penggemarnya. Gue sadar itu cuma gimmick buat menyenangkan fans, cuma ya gue senang. Kesenangan yang sebanal itu."

Dia Aditia Purnomo. Dia pekerja lepas dan ketua Komtek. Dia membuat daftar putar lagu khusus JKT48 di Spotify. Dia adalah salah satu dari 14.027 pengikut JKT48 di Spotify. Dia hanya menonton dua konser JKT48. Dan dia hanya satu kali ke Teater. Adit, sapaan akrabnya, pengikut garis keras beberapa anggota JKT48 di Twitter.

"Awalnya aing, sih, anti gitu sama JKT48. Ngga jelas. Tapi, pas denger lagu River, jadi seneng aja. Sampai sekarang."

Adit mengenang masa-masa awal dia menyukai grup idolanya. Dia dan temannya kerap membahas JKT48, sampai memunculkan wacana untuk mengadvokasi mereka. Advokasi entertainment, begitu istilah mereka.

Wacana itu muncul bukan seperti ilham mendadak, melainkan melalui permenungan.

"Karena dulu mereka masih anak-anak sekolah, dan mereka harus latihan-show-sekolah-latihan-show-sekolah. Kami bilang itu eksploitasi terhadap anak di bawah umur. Waktu ke Teater dulu anak-anak berniat membawa banner 'HAPUSKAN EKSPLOITASI TERHADAP MEMBER!', sayang ngga terwujud."

Sungguh wujud kasih sayang yang total. Kita mesti mengapresiasi niat Adit.

"Nah yang aing paling inget tentu waktu ada teman menghadiahkan buku Catatan Seorang Demonstran dan Madilog ke Nabilah. Itu waktu handshake. Zaman Nabilah masih SMP."

Lagu-lagu JKT48 adalah pemantik semangat Adit. Kalau sudah lelah bekerja, Adit membuka YouTube dan memutar dan memandangi gerak-gerik grup idolanya. "Hidup di Jakarta, dengan dunia kerja yang keras membuat aing butuh penghibur. Selain Indomie ama rokok ya JKT48 ini. Aing yakin JKT48 akan bertahan. Member boleh datang dan pergi, masalah boleh menimpa mereka, tapi selalu ada orang yang perlu menghibur diri. Mereka nggak akan kehabisan dukungan."

Mundurnya Nabilah Ayu

"Nama saya Nabilah Ayu. Motivasi saya mengikuti audisi JKT48 karena tertarik, dan ingin menjadi seperti Idol band AKB48. Dan ingin digemari diseluruh Dunia."

Saat audisi generasi pertama JKT48 digelar Nabilah masih 12 tahun. Ia bahkan belum bisa memiliki akun Google Plus-nya sendiri--ketentuan batas usia akun Google Plus minimal 13 tahun. Sejak terpilih menjadi anggota grup idola JKT48, Nabilah selalu masuk tim utama. Ia menyanyikan hampir semua single JKT48 dan bermain peran dalam tiga film dan dua belas iklan. Nabilah juga dinobatkan sebagai Duta Literasi DKI Jakarta pada 3 Juni 2016.

Aku percaya, tidak ada satupun orang yang siap dengan perpisahan. Tetapi, perpisahan akan selalu ada dan sudah menjadi bagian dari setiap pertemuan.

Paragraf kedua surat Nabilah kepada para pendukungnya yang dilansir jkt48.com pada 31 Oktober 2017 sudah cukup menjelaskan seluruh isi: ini surat perpisahan.

infografik mozaik idola yang bisa kamu jumpai

Pembicaraan meruap. Di twitter jumlah tagar #TerimaKasihNabilah, menurut estimasi Tweet Binder pada 1 November 2017 pukul 12:30 siang, berjumlah 1.989 cuitan dengan impresi mencapai lebih dari 2,8 juta. Belum lagi tagar lain yang bernada sama. Hal yang wajar saja, mengingat jumlah pengikut Nabilah di Twitter mencapai 3,4 juta pengguna sebelum akun tersebut dinon-aktifkan.

Melihat reputasi Nabilah, apakah kemundurannya akan berdampak pada popularitas JKT48? Jika meyakini ujaran Adit, mungkin tidak.

Kesehatan dan pendidikan menjadi alasan utama Nabilah mengurangi aktivitas keidolaan sejak Juli 2017, yang kemudian menjadi alasan utamanya mengundurkan diri pada 31 Oktober 2017.

Paragraf kedua surat Nabilah sebetulnya tak perlu ada di sana. Sebab, ditulis atau tidak, perpisahan pastilah terjadi. Tetapi, kau tahu, kalimat seperti itu kadang berguna agar inti dari hal yang ingin disampaikan tak terlalu melukai orang yang membacanya.

Hari Baru, Harapan Baru

Ada masa di mana lagu pop yang menawarkan optimisme begitu diminati. The Beatles dalam "Good Day Sunshine" melagukan hari-hari cerah dengan keluguan seperti seekor gajah dalam kubangan lumpur, dan seolah tak cukup mereka mengulang larik Good Day Sunshine berkali-kali sampai kau malas menghitungnya.

The Rolling Stones seperti enggan meniru perkataan Julius Rosenwald kepada Dale Carnegie, "If you have a lemon, make a lemonade." Alih-alih, mereka malah memberi sesuatu yang bertolak belakang: kalau The Beatles memberimu hari-hari cerah, kami membawakan kepadamu kegelapan. I wanna see the sun blotted out from the sky. Lagu "Paint It Black" menyusup di sela kebahagiaan a la The Beatles.

Kematian Inao Jiro adalah lagu "Paint It Black". Ia menjadi semacam cermin terbalik. Sejak didirikan, sebagian besar lagu-lagu JKT48 berisi lirik riang dan membicarakan hal-hal baik dan naif seperti Good Day Sunshine. Pada 21 Maret 2017, pelbagai keriangan dan harapan yang digaungkan sebelumnya menjadi seperti--meminjam istilah Derrida--mitologi putih. Ilusi-ilusi yang segi ilusinya telah dilupakan orang. Kebahagiaan yang belum teruji. Di balik kostum warna-warni dan gerak lincah para idola terdapat kesedihan.

Pada hari itu, dan beberapa hari setelahnya, semua anggota memasang avatar monokrom sebagai wujud bela sungkawa. Tapi kini mereka berwarna-warni lagi.

Seperti yang sudah dilakukan orang-orang optimis sepanjang sejarah, kepergian Inao Jiro tampaknya malah menjadi pemicu bagi para anggota JKT48 untuk semakin bersemangat. Pada 29 Juli 2017, empat bulan setelah hari duka itu, Tim KIII berhasil mendatangkan sebanyak 2.217 penonton di konser tunggal bertajuk Jangan Kasih K3ndor yang digelar di Lapangan Basket Indoor Cipulir, Jakarta Selatan.

Saat ini JKT48 Request Hour Setlist Best 30 2017 sedang dibuka, penggemar diminta tolong untuk memilih 30 lagu yang kemudian akan ditampilkan oleh idola mereka. Panggung sudah disiapkan dan penonton menunggu. Selain hiburan, pendukung JKT48 diam-diam menaruh harapan. Pada akhirnya ini cuma soal harapan.

Baca juga artikel terkait JKT48 atau tulisan lainnya dari Sabda Armandio

tirto.id - Musik
Reporter: Sabda Armandio
Penulis: Sabda Armandio
Editor: Sabda Armandio