tirto.id - Presiden Joko Widodo membentuk tim ad hoc bernama Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 6 April 2021. Seperti namanya, tim ini dibentuk untuk memburu aset BLBI, skema pinjaman saat terjadi krisis moneter tapi malah jadi ladang basah korupsi.
Tim dibentuk setelah penyidikan terhadap tersangka Sjamsul Nursalim dihentikan dan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Sjamsuddin Arsyad Tumenggung lepas dari hukuman.
"Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI bertugas sejak keputusan presiden ini ditetapkan sampai 31 Desember 2023," kata Jokowi.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021, satgas yang langsung di bawah komando Presiden ini terdiri dari pengarah dan pelaksana. Tim pengarah terdiri dari Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman dan Investasi, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri; sementara tim pelaksana diketuai Deputi Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, dan diwakili oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Tim pengarah bertugas menyusun kebijakan strategis pemulihan hak tagih negara dan aset BLBI; mengintegrasikan dan menetapkan langkah-langkah pelaksanaan kebijakan strategis dan terobosan yang diperlukan; memberikan arahan kepada tim pelaksana; serta pemantauan dan evuasi tim pelaksana. Sementara Tim Pelaksana bertugas menginventarisasi dan memetakan hak tagih negara dan aset properti BLBI; melaksanakan kebijakan strategis yang disusun Tim Pengarah; melakukan upaya hukum dan/atau upaya lainnya yang efektif dan efisien; dan lain-lain.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira berpendapat pembentukan satgas adalah bukti bahwa selama enam tahun pemerintahan Jokowi "terobosan untuk mengembalikan uang BLBI yang hilang menemui jalan buntu." "Jadi proses hukum yang biasa sepertinya tidak cukup sehingga harus ada upaya ekstra dengan membentuk satgas," kata Bhima kepada reporter Tirto, Selasa (13/4/2021).
"Upaya ekstra" ini bukan sekadar demi memulihkan kerugian negara, tapi uang negara yang digelontorkan 22 tahun lalu itu semakin penting kembali saat ini untuk menutup defisit APBN karena pandemi. Selain itu, dana BLBI bisa memperkuat kurs rupiah--jika dana itu kini berbentuk valuta asing dan disimpan di luar negeri.
Masalah BLBI berawal pada krisis moneter 1997. Kala itu bank sentral menetapkan kebijakan pengetatan likuiditas sebagai imbas dari nilai rupiah yang terus melemah atas dolar AS. Kebijakan ini memunculkan efek domino termasuk penarikan uang besar-besaran (rush) akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap bank.
Rush menyebabkan bank mengalami kesulitan likuiditas yang diperparah dengan melonjaknya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAP) hingga 300 persen per tahun. Bank pemberi pinjaman ikut merasakan dampaknya. Keadaan perbankan sangat rentan dan potensi kelumpuhan ekonomi menganga lebar.
Untuk mengatasi itu, singkat cerita, Bank Indonesia (BI) memberikan bantuan dana talangan yang dikenal sebagai BLBI. Total Rp148 triliun digelontorkan pemerintah ke 48 bank dan seyogianya dana itu harus dikembalikan.
Berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017, terjadi penyelewengan sebesar Rp138 triliun. Salah satunya diduga dilakukan oleh Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dikomandoi oleh Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang saham pengendali. Bank ini mendapat kucuran dana Rp30,9 triliun. Dari skema Kewajiban Penyelesaian Pemegang Saham (MSAA) yang dilakukan BDNI, diketahui kewajiban BDNI terhadap negara adalah Rp47,258 triliun--terdiri atas BLBI ditambah simpanan nasabah dan utang serta kewajiban lain.
Kala itu BDNI mengklaim memiliki total aset Rp18,85 triliun, salah satunya adalah piutang dengan petani tambak Dipasena sebesar Rp4,8 triliun. Dengan demikian, setelah kewajiban dikurangi aset, maka total kewajiban pemegang saham BDNI adalah Rp28,408 triliun.
Namun dari audit diketahui ada ketidakcocokan nilai aset petambak Dipasena. Begitu aset itu dijual tahun 2007, rupanya nilainya hanya Rp220 miliar--jauh dari seperti yang diklaim, Rp4,8 triliun. Begitu disadari ada ketidakcocokan nilai dalam audit, pemerintah meminta tambahan jaminan tetapi ditolak Sjamsul.
Dalam hal ini Ketua BPPN Sjafruddin Arsyad Tumenggung bertugas menangani kewajiban para obligor BLBI. Ia sudah mengetahui soal ketidakcocokan tersebut. Hal itu diketahui dari surat yang ia kirim kepada Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Kwik Kian Gie pada April 2000 dan 2001. Meski tahu, ia tetap memberi Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI pada 26 April 2004 atas kewajiban melunasi BLBI sebesar Rp28 triliun. Ini berakibat hilangnya hak tagih negara atas Sjamsul Nursalim, utamanya atas jaminan piutang petani tambak Dipasena.
Bhima menilai ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan negara untuk mengembalikan hak tagih tersebut. Pertama, Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata. Selain itu, satgas juga bisa meminta kepada otoritas dalam negeri atau luar negeri untuk membekukan aset para tersangka BLBI dan perusahaannya. Kemudian, pemerintah juga bisa mendalami laporan aset para obligor dan kemungkinan pelanggaran pajak.
"Strateginya adalah mengepung para tersangka BLBI dari segala penjuru, pendekatan hukum sampai ke perpajakan dan kerja sama internasional," kata Bhima.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan kerja-kerja memulihkan aset BLBI akan menemui tantangan karena banyak yang berada di luar negeri. Untuk itu pemerintah perlu menggelar mutual legal assistance dan perjanjian ekstradisi yang masih jarang dilakukan.
Selain itu, harus dijelaskan pengembalian aset akan dilakukan dengan tunai atau aset, dan bagaimana metode penilaian aset nantinya. "Jangan sampai ini dijadikan bancakan korupsi yang baru lagi, mengulangi apa yang terjadi," kata Kurnia, Selasa.
Lebih luas dari kasus BLBI, Kurnia mengatakan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga patut didorong untuk disahkan. Menurutnya RUU itu penting demi pemulihan aset-aset negara lain.
"Ini bisa berbicara menyeluruh, tidak hanya terkait BLBI. Kalau memang ditemukan ada aset hasil kejahatan maka dapat dihadirkan di persidangan untuk bisa dilakukan perampasan," kata Kurnia.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino