tirto.id - Dedi Mulyadi tertegun saat mendengar sumber air yang dikelola merek besar AQUA berasal dari sumur bor. Fakta sumber air kemasan AQUA bukan berasal dari mata air pegunungan di permukaan didapat Gubernur Jawa Barat ini saat sidak ke PT Tirta Investama (AQUA) cabang pabrik Subang.
Dedi pada mulanya menanyai lokasi sumber air yang dikelola pabrik AQUA itu. Lalu, petugas pabrik berkata tanpa ragu bahwa air berasal dari sumur bor yang memiliki kedalaman 60-102 meter di bawah permukaan tanah. Sumur bor itu terbagi dua titik di dalam lokasi pabrik tersebut.
“Oh ini jadi bukan dari mata air ya. Saya kira air permukaan, dari sungai atau air dari mata air,” ujar Dedi, dikutip dalam tayang YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel, Jumat (24/10/2025).
Fokus Dedi saat mendengar sumber air dari sumur bor menyoal apakah ada kerusakan lingkungan seperti pergeseran tanah. Ia mewanti-wanti potensi longsor yang bisa saja turut dipengaruhi aktivitas pengeboran sumur air. “Ngefek tidak pada lingkungan, geser tanah, atau nunggu longsor,” ujar dia.
Meski begitu, dia tetap menyinggung soal metode pengambilan air dengan sumur bor tersebut. Seturut itu, petugas pabrik menjelaskan air bawah tanah memiliki kualitas bagus. “Jadi semakin 100 meter, semakin murni maksudnya,” ucap Dedi.
Petugas pabrik juga menjelaskan cadangan air bawah tanah yang kini digarap AQUA dalam keadaan melimpah. Saking melimpahnya, bahkan Dedi dikasih unjuk tempat pembuangan air dari sisa pengambilan air yang tak bisa ditampung. Kata pihak pabrik, air yang dibuang itu berkualitas rendah.
Setelah sidak Dedi, pihak manajemen pusat AQUA mengeluarkan klarifikasi. Kata korporasi, Air AQUA berasal dari 19 sumber air pegunungan yang tersebar di seluruh Indonesia. Setiap sumber air dipilih melalui proses seleksi ketat mulai dari berbasis sembilan kriteria ilmiah, lima tahapan evaluasi dan dilakukannya minimal 1 tahun penelitian
Rangkaian proses tersebut dilakukan oleh tim ahli dari berbagai disiplin ilmu seperti geologi, hidrogeologi, geofisika, dan mikrobiologi. Hanya saja, AQUA menggunakan air dari akuifer atau lapisan tanah tertekan dengan kedalaman 60–140 meter. Sehingga air yang digunakan sebagai bahan baku bukan dari air permukaan atau air tanah dangkal.

Pengambilan air dari akuifer ini diklaim perusahaan terlindungi secara alami oleh lapisan kedap air. Dengan kata lain, disebut bebas dari kontaminasi aktivitas manusia dan tidak mengganggu penggunaan air masyarakat. Soal higienitas dan standarisasi pengambilan air, manajemen AQUA menerapkan sistem pengemasan otomatis tanpa sentuhan tangan manusia.
Pihak manajemen juga menjelaskan prosedur pengambilan dari akuifer berdasarkan SIPA (Surat Izin Pengusahaan Air Tanah). Itu adalah izin resmi dari pemerintah yang mengatur volume dan lokasi pengambilan air oleh perusahaan.
“Benarkah AQUA menggunakan air dari sumur bor biasa? Tidak benar. AQUA menggunakan air dari akuifer dalam yang merupakan bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan. Air ini terlindungi secara alami dan telah melalui proses seleksi serta kajian ilmiah oleh para ahli dari UGM dan Unpad. Sebagian titik sumber juga bersifat self-flowing (mengalir alami),” jelas manajemen AQUA dalam siaran pers, Rabu (20/10/2025).
Lazimkah Air Minum dari Akuifer?
Air minum dalam kemasan (AMDK) yang sehari-hari kita konsumsi tidak serta-merta mengalir begitu saja ke botol. Di balik setiap tetesnya, terdapat proses panjang, penelitian ilmiah, dan izin berlapis dari berbagai instansi pemerintah.
Dosen Teknik Geologi Universitas Pakuan, Singgih Irianto, menjelaskan bahwa proses pemanfaatan air untuk industri AMDK pada dasarnya terbagi dua: dari mata air dan dari air tanah dalam.
“Lazimnya seperti itu. Ada dua yang terjadi, air tanah keluar jadi mata air. Nah yang di dalam tanah, itu harus dibor. Konsepnya sama seperti di pegunungan, hanya mekanisme mendapatkannya yang berbeda,” tutur Singgih kepada Tirto, Jumat (24/10/2025).

Menurutnya, sebagian besar perusahaan AMDK memilih memanfaatkan air tanah dalam karena lebih terjamin kualitas dan kuantitasnya. Cara ini diupayakan korporasi dengan risiko proses pengelolaan yang tidak sederhana.
Tahapan tersebut wajib melalui berbagai izin, mulai dari kepemilikan lahan, izin lingkungan, laporan studi kelayakan, hingga surat keterangan ketersediaan air dari instansi terkait. Proses perizinannya pun berbeda tergantung sumber air yang digunakan.
“Kalau dari mata air, izinnya ke PSDA (Pusat Sumber Daya Air) di Kementerian PUPR. Tapi kalau dari air tanah bor, mekanismenya lewat Kementerian ESDM, dan harus mengurus SIPA (Surat Izin Pengambilan Air),” ucap Singgih.
Sebelum air tanah bisa dimanfaatkan, perusahaan wajib melakukan penyelidikan hidrogeologi. Dari situ akan diketahui lapisan batuan mana yang mengandung air dan berada di kedalaman aman untuk diambil.
“Setelah diketahui lapisan airnya, dilakukan uji pompa untuk mengetahui kemampuan akuifer menghasilkan debit air per detik. Yang diambil adalah lapisan yang aman, agar tidak mempengaruhi air tanah dangkal yang dimanfaatkan warga,” jelasnya.
Dari hasil kajian tersebut, Kementerian ESDM akan menetapkan berapa volume air yang boleh diambil perusahaan. Selain itu, setiap perusahaan wajib memiliki sumur pantau untuk memonitor apakah ada dampak lingkungan dari pengambilan air bawah tanah.
“Perusahaan juga wajib melakukan konservasi di daerah imbuhannya, supaya kualitas dan kuantitas air tetap terjaga,” kata dia.
Singgih menuturkan bahwa secara ilmiah, kualitas sumber air juga dinilai berdasarkan beberapa kriteria, mulai dari kedalaman lapisan akuifer, jenis lapisan batuan, konstruksi sumur, kapasitas pengambilan, hingga kondisi konservasi daerah sekitarnya. “Rata-rata kedalamannya di atas 80 meter. Jarang yang di bawah itu,” ujarnya.
Dia menjelaskan ihwal faktor pendorong air bawah tanah lebih dipilih karena kandungan air lebih terlindungi dari potensi pencemaran. “Kalau dari mata air itu lebih berisiko dari segi kualitas dan rawan konflik sosial karena biasanya mengalir ke sungai atau sawah milik masyarakat. Sedangkan air tanah dalam lebih terjaga,” ungkapnya.
Adapun air tanah sendiri bersumber dari air hujan yang meresap ke lapisan bumi di daerah resapan, biasanya di pegunungan di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Karena itu, menjaga vegetasi di daerah hulu menjadi hal penting agar siklus air bawah tanah tetap berkelanjutan.
“Air hujan meresap dan mengalir di bawah tanah bisa sampai lebih dari satu tahun sebelum mencapai lokasi akuifer yang dibor. Itu sebabnya konservasi di daerah resapan harus dijaga,” katanya.
Namun, dia mewanti-wanti apabila pengambilan air melebihi batas izin, maka dapat berakibat fatal. “Kalau melebihi batas rekomendasi, kualitas dan kuantitas air bisa menurun, bahkan merusak lingkungan sekitar,” ujarnya.

Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air dari BRIN, Rachmat Fajar Lubis menekankan bahwa ilmu tentang air tanah sebenarnya bagian dari ilmu air secara keseluruhan yang dipelajari. “Air di muka bumi ini ada tiga jenis, air hujan, air permukaan, dan air tanah,” tuturnya kepada Tirto, Jumat (24/10/2025).
Secara nilai konsumsinya, air tanah sendiri terbagi dua jenis, yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan. Perbedaan keduanya terletak pada tekanan dan kedalamannya.
“Air tanah bebas tekanannya sama dengan satu lapisan tanah lainnya, sedangkan air tanah tertekan memiliki konstruksi lebih dari itu,” katanya.
Air tanah bebas biasanya berada dekat dengan permukaan bumi. Karenanya, jenis ini mudah dipengaruhi musim—debitnya menurun saat kemarau dan meningkat ketika hujan datang. Sebaliknya, air tanah tertekan lebih stabil karena letaknya jauh di bawah lapisan tanah.
“Mata air juga terbagi dua. Ada mata air dari tanah bebas yang bisa kering di musim kemarau, dan ada mata air dari sistem tanah tertekan yang mengalir sepanjang tahun,” jelasnya.
Perusahaan besar seperti AQUA, kata dia, umumnya mengambil sumber air dari air bawah tanah tertekan. Alasannya bukan hanya soal ketersediaan, tapi juga karena kualitasnya lebih baik dan aman untuk dikonsumsi.
“Biasanya sumber itu berasal dari daerah pegunungan vulkanik. Kandungan mineralnya bagus untuk kesehatan,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, sejumlah lokasi seperti Ciburial di Bogor atau Umbul Ponggok di Klaten merupakan daerah yang memiliki sistem air tanah tertekan alami. Dari wilayah-wilayah seperti inilah banyak sumber air berkualitas ditemukan.
Namun, seiring perkembangan ilmu dan kesadaran lingkungan, muncul pula pemahaman baru tentang risiko di balik pengambilan air dari mata air permukaan.
“Bahaya yang paling umum adalah kontaminasi bakteri. Bisa berasal dari aktivitas manusia, hewan, atau sisa tanaman di sekitar sumber air.” kata dia.
Tersebab itu, kata dia, perusahaan air minum kini lebih banyak memanfaatkan air dari bawah tanah di sekitar kawasan mata air, bukan dari aliran permukaan langsung. Prosesnya dimulai dengan pengeboran di sekitar sumber air, lalu dipasang pipa hingga ke lapisan yang mengandung air.
“Setelah dibor, pipa dimasukkan, lalu air dipompa menuju pabrik untuk diolah,” katanya.
Air yang berasal dari sistem batuan pegunungan ini memiliki keunggulan tersendiri. Selain stabil dari segi kualitas dan kuantitas, cara ini juga membantu menghindari konflik sosial dengan masyarakat sekitar sumber air.
“Kalau langsung ambil dari mata air, risikonya bisa menyinggung warga sekitar. Jadi biasanya dibor di sistem tanah yang sama, tapi dengan jarak 100 sampai 500 meter dari sumbernya,” terangnya.
Setelah air diambil, proses pengolahan pun dilakukan sesuai standar baku. Jumlah tahap penyaringan tergantung dari kualitas air mentah yang diperoleh. “Tujuan mengambil air dari akuifer yang dalam itu agar penyaringannya tidak perlu banyak. Itu juga bagian dari perhitungan perusahaan,” ujar dia,
Di pabrik, pengolahan terutama berfokus pada aspek mikrobiologis. Teknologi ultraviolet (UV) sering digunakan untuk memastikan air benar-benar aman diminum. “Pengolahan bakteriologi penting supaya air tidak membawa penyakit seperti diare. Biasanya dipanaskan dengan UV agar bakteri yang tersisa bisa ditekan seminimal mungkin,” tuturnya.
Sehatkah Minum Air dari Akuifer?
Pakar kesehatan masyarakat Griffith University, Australia, Dicky Budiman, menjelaskan bahwa kondisi kimia air sangat bergantung pada lingkungan biologis dan geologi di sekitar sumbernya.
“Kalau bicara pH, air pegunungan biasanya netral hingga sedikit basa, di kisaran 7 sampai 8. Itu karena melalui batuan karbonat yang menambah mineral alami,” ujarnya dalam jawaban melalui rekaman suara yang diterima Tirto, Jumat (24/10/2025).
Namun, angka pH tersebut tidak mutlak. Komposisinya bisa berbeda tergantung pada jenis batuan yang dilalui air. Di sisi lain, air dari sumur bor cenderung lebih variatif senyawa kimianya.
“Biasanya lebih asam dan kadang mengandung besi atau mineral lain,” jelasnya.

Menurutnya, air pegunungan cenderung memiliki kandungan mineral yang stabil. Sedangkan air sumur bor bisa lebih berisiko karena faktor geologi tertentu. “Bisa saja mengandung nitrat atau bahkan unsur berbahaya seperti arsenik jika formasi tanahnya tercemar. Karena itu, penting dilakukan uji laboratorium rutin,” kata dia.
Kata Dicky, tidak ada jaminan bahwa air pegunungan selalu lebih higienis daripada air sumur bor.
“Kebersihan sumber air bergantung pada perlindungan lingkungannya. Kedalaman sumur, konstruksi, serta proses pengolahan dan pembotolan sangat menentukan,” ujarnya.
Dia menekankan pula bahwa air pegunungan umumnya lebih terlindung karena berasal dari mata air tertutup dan minim paparan limbah. “Tapi kalau sumbernya terbuka, risiko kontaminasi bakteri seperti E. coli tetap ada,” katanya.
Sedangkan air sumur bor, terutama yang dangkal dan dekat pemukiman, memiliki risiko lebih tinggi. “Kalau dekat rumah warga, bisa tercemar limbah domestik atau pertanian. Karena itu WHO menekankan pentingnya uji higienitas secara berkala,” ungkapnya.
Menyoal manfaatnya bagi tubuh, Dicky menegaskan bahwa baik air pegunungan maupun air sumur bor berfungsi utama untuk hidrasi, bukan sebagai sumber utama mineral.
“Manfaat minum air, ya, untuk menjaga cairan tubuh. Mineral di dalamnya hanya tambahan kecil, bukan sumber gizi utama,” katanya.
Meski begitu, beberapa mineral alami seperti magnesium memang bisa mendukung metabolisme ringan tubuh. “Tapi bukti klinis jangka panjangnya masih terbatas. Jadi jangan berlebihan mengklaim manfaat kesehatan hanya dari air mineral,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahaya kandungan nitrat dalam air sumur bor, terutama bagi bayi. “Kadar nitrat yang tinggi bisa berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Itu sebabnya sumur dalam harus diuji secara rutin,” katanya.
Dari hasil berbagai studi, mata air tertutup disebut sebagai sumber air paling aman. Sementara di peringkat berikutnya adalah air sumur dalam yang diawasi higienitasnya secara berkala. Namun, semua kembali pada bagaimana air itu dikelola dan transparansi pengelolaannya.
“Kalau mengandung logam berat atau mikroorganisme, risikonya bisa sampai ke penyakit serius seperti gagal ginjal atau diare,” ujarnya menambahkan.
“Di Indonesia, seharusnya uji berkala higienitas dan kandungan kimia air dipublikasikan secara transparan. Begitu juga izin dan kapasitas pengambilan air oleh perusahaan,” pungkasnya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































