tirto.id - Arab Saudi adalah negara yang paling kerap menerapkan hukuman pancung bahkan di era modern. Dari TKI Indonesia, Siti Zaenab yang dieksekusi April 2015 karena dituduh membunuh majikannya, sampai Pangeran Turki bin Saud al-Kabir pada Oktober 2016 karena melakukan pembunuhan terhadap temannya sendiri. Pangeran Turki itu adalah terpidana ke-134 yang dipancung pada 2016.
Jika dilakukan dengan benar, hukum pancung hanya akan membutuhkan satu tebasan. Kesadaran korban akan hilang—kemungkinan—dalam waktu kurang dari 2-3 detik, karena suplai darah ke otak hilang secara cepat. Frances Larson dalam Severed: A History of Heads Lost and Heads Found menjelaskan bahwa hukum pancung sebenarnya malah memberikan kematian yang manusiawi karena berlangsung paling cepat dibandingkan eksekusi hukuman mati yang lain.
Beberapa hal mengapa hukum pancung tidak lagi digunakan di negara Barat karena bentuk eksekusi ini biasanya dipertontonkan secara publik. Apalagi hasil hukuman ini mengakibatkan pendarahan ekstrim—seperti ledakan darah pada arteri dan vena yang putus tiba-tiba di bagian leher, serta terpisahnya otak dengan sumsum tulang belakang.
Larson menjelaskan bahwa ketika kepala terputus, jantung akan terus berdetak untuk beberapa saat. Semua darah muncrat keluar leher dan menyembur dalam lonjakan tekanan tinggi sampai 30 detik setelah kepala dipancung. Semuanya tampak berantakan dan tidak ada yang ingin membersihkan kekacauan itu.
Masalahnya, sering terjadi di mana mata atau mulut orang yang dieksekusi bergerak-gerak setelah dipancung, hal ini bisa terjadi karena dalam otak manusia kadang masih tersimpan cadangan oksigen yang cukup untuk bertahan selama sekitar 7-12 detik setelah dipancung. Dan jelas ini pemandangan yang benar-benar mengerikan.
Hukum Darah Dibalas Darah
Dalam sejarah Arab, pandangan bahwa darah harus dibayar oleh darah sudah muncul sejak sangat lama, bahkan jauh sebelum Islam lahir di Mekkah. Ini adalah hukum tak tertulis dalam tata kehidupan orang-orang badui Arab yang nomaden. Tidak ada hukum yang bisa digantikan selain pembalasan yang setimpal dalam rumus keadilan orang Badui Arab.
Pada era Jahiliah antara masa 525 sampai 622 Masehi, sangat sedikit peninggalan literatur Arab secara tertulis yang bisa dikaji. Hal yang menunjukkan bahwa tidak ada hukum resmi yang diterapkan.
Menurut Philip K. Hitti dalam History of The Arabs, yang ada hanyalah paribahasa, legenda, atau cerita rakyat yang kemudian menjadi peninggalan penting untuk menggali pengalaman orang-orang Arab. Pada era itu, sistem tulis bukannya tidak ada namun belum berkembang karena satu-satunya keunggulan artistik masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam adalah puisi atau prosa lisan.
Orang-orang Badui Arab tidaklah sama dengan kaum gipsi di Eropa yang mengembara tanpa arah. Badui Arab merupakan representasi yang tepat bagaimana manusia bisa beradaptasi dengan luar biasa terhadap kondisi gurun yang sangat ekstrem. Berbagai kerajaan dan kepercayaan silih berganti tumbuh di jazirah Arab, namun di gunung pasir yang tandus orang-orang Badui ini tetap mampu bertahan -- siapa pun rezim yang sedang menguasai di jazirah Arab atau di mana pun.
Gurun pasir yang terlihat begitu mematikan, bagi mereka adalah tempat yang menjaga tradisi sakral, pemelihara bahasa dan darah mereka, dan benteng pertahanan yang kuat dari serangan musuh. Benteng kuat yang berupa hamparan pasir tanpa ujung, sumber air yang langka, panas terik yang membunuh, jejak kaki yang mudah terhapus sehingga bikin mudah tersesat, sampai badai gurun yang bisa menyerang tiba-tiba.
Keadaan demikian menjadi sekutu utama menghadapi musuh dari luar. Itulah yang menjadi sebab kenapa orang-orang Arab punya mentalitas yang sangat sulit untuk tunduk kepada bangsa asing.
Di sisi lain, untuk bertahan hidup, orang Badui sering melakukan ghawz (serbuan kilat) atau perampokan di gurun pasir terhadap kafilah (rombongan) dagang. Ini aktivitas umum dan lumrah. Bahkan perampok menjadi profesi yang terhormat pada masa-masa pra-Islam, bahkan sampai setelah Nabi Muhammad sekali pun. Hanya saja, dalam ghawz, tidak diperkenankan adanya pertumpahan darah, kecuali dalam keadaan mendesak karena pihak yang dirampok melawan dengan keras.
Tidak ada hukum tertulis untuk itu. Satu-satunya alasan yang membuat aturan tak tertulis itu bisa ditaati adalah ada anggota klan lain yang tidak sengaja ikut terbunuh. Ini bisa memunculkan masalah karena anggota klan korban akan menuntut balas, dan jika pelaku tidak ditemukan, klan tersebut harus membayar dengan nyawa salah satu anggotanya.
Pada akhirnya, darah, menurut hukum primitif gurun, harus dibayar dengan darah. Keluarga terdekat dari pelaku akan diminta sebagai pelunasan hutang darah yang setimpal. Dalam Ayyam al-Arab (kisah tentang perang antar suku-suku pra-Islam) salah satu perselisihan antara Klan Bakr dengan Klan Taghlib pernah terjadi sampai sepanjang 40 tahun lamanya. Perang klan yang tidak jarang diwarnai eksekusi hukuman pancung bagi anggota klan musuh yang tertangkap.
Kondisi ini baru bisa berakhir jika dari salah satu korban tidak menuntut balas nyawa, namun dengan meminta tebusan kira-kira senilai unta sebanyak 100 ekor. Sistem yang kemudian menjadi kultur masyarakat Arab dan pada perkembangan selanjutnya diadopsi menjadi salah satu hukum dalam penerapan hukum qishash dalam Islam.
Ketangguhan Badui dalam Militer
Selain untuk perlindungan diri, keanggotaan dalam klan juga penting untuk menghadapi alam yang ekstem. Inilah yang kemudian membuat loyalitas klan badui Arab begitu kuat. Kesetiaan yang memunculkan satu jenis semangat yang dikenal dengan istilah ‘ashabiyyah (semangat kesukuan), kesetiaan yang lebih lebih kuat dan mengakar dibanding -- misalnya-- sikap patriotisme ala ksatria-ksatria di Eropa.
Pada perkembangan berikutnya, setelah era kenabian berakhir, Kekhalifahan Islam benar-benar mampu memanfaatkan keberadaan Badui untuk tujuan militer. Mereka sangat bisa diandalkan untuk situasi-situasi sulit, yang membutuhkan kemampuan bertahan tingkat tinggi, di tengah segala macam keterbatasan.
Alih-alih membagi menurut kemampuan spesifik, Kekhalifahan Islam di masa Umar bin Khattab membagi prajuritnya ke dalam unit yang berdasar pada garis suku dan klan dalam ekspansi perluasan wilayah. Masing-masing unit dipimpin oleh orang yang paling disegani dari suku/klan tersebut. Watak yang sebenarnya sulit disatukan ini bisa menjadi pasukan yang sangat kuat dengan dorongan yang tepat dan menjadi tonggak penting dalam perkembangan perluasan Islam pada era kedua Khulafaurasyidin.
Dan Khalifah Umar menyebut Badui Arab sebagai bagian dari “menyempurnakan Islam dengan bahan-bahan mentahnya”.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS