tirto.id - Peluh di pelipis Mimi Bedeh terus mengucur. Sambil sesekali menyeka keringatnya, ia terus menyuruh seorang perempuan di depannya untuk menarik napas dalam-dalam dan mengejan. Di sampingnya, Bidan Marni sedang berusaha mengeluarkan jabang bayi dari rahim ibunya. Tak berselang lama, suara tangisan memecah ketegangan, Bidan Marni memutus ari-ari dibantu Mimi Bedeh yang membersihkan bayi.
Sudah hampir setengah abad Mimi menjalankan profesinya sebagai dukun anak di Desa Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Sudah puluhan calon ibu yang mendatanginya untuk dinisbatkan sebagai seorang ibu. Selama kariernya menjadi dukun anak, belum pernah sekalipun ia gagal dalam membantu proses persalinan. Mimi yang umurnya yang sudah lebih dari 70 tahun masih dipercaya oleh para calon ibu di era persalinan yang sudah modern mulai dari caesar hingga water birth.
Di Indonesia, negara yang tercatat sebagai tiga besar negara dengan Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi di Asia Tenggara, ternyata persalinan yang dibantu tenaga non medis seperti dukun anak masih menjadi pilihan, terutama pada masyarakat di daerah pedesaan. Berdasarkan Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 dalam ejournal.litbang.depkes.go.id, sebanyak 55,4 persen persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Sebanyak 43,2 persen persalinan dilakukan di rumah. Dari angka kelahiran di rumah itu, sebanyak 51,9 persen ditolong oleh bidan dan 40,2 persen oleh dukun.
Tingginya angka persalinan yang ditolong oleh tenaga non medis diduga merupakan salah satu penyebab Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi tinggi. Sejak 2007, Indonesia tercatat sebagai negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara (UNFPA, 2012) dengan 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Lima tahun kemudian, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan AKI di Indonesia berada pada angka 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup.
Faktor pendapatan dan pengetahuan yang rendah ditengarai menjadi penyebab masih tingginya angka kematian ibu dan anak pasca melahirkan di Indonesia. Kebanyakan para ibu di desa masih melahirkan dengan cara tradisional dan meminta pertolongan dukun anak sehingga risiko kematian cukup tinggi.
Sebagian besar kematian anak di Indonesia saat ini terjadi pada masa baru lahir (neonatal) atau bulan pertama kehidupan. Kemungkinan anak meninggal pada usia yang berbeda adalah 19 per seribu selama masa neonatal, 15 per seribu dari usia 2 hingga 11 bulan dan 10 per seribu dari usia 1 sampai 5 tahun. Padahal, target kelima Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015 lalu dicanangkan menurun hingga 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup.
Akhirnya, untuk menekan tingginya AKI pemerintah menerapkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sejak tanggal 1 Januari 2014, program JKN resmi diluncurkan dan dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Sebelum JKN lahir, program Jaminan Persalinan (Jampersal) sebetulnya telah dilaksanakan untuk memberikan jaminan kesehatan kepada ibu hamil sampai melahirkan. Dengan diluncurkannya JKN, maka program Jampersal dihapus pada Januari 2015.
“Untuk persalinan normal didorong mendapatkan pelayanan di faskes 1 yang terdiri dari puskesmas, klinik, dokter praktek perorangan atau bidan desa yang menjadi jejaring BPJS kesehatan. Jika memerlukan tindakan lebih lanjut maka bisa ditunjuk ke RS untuk ditangani ke dokter spesialis kandungan,” ujar Irfan Humaidi, Kepala Humas BPJS kepada tirto.id.
Semenjak dilaksanakan pada awal 2015 lalu, Indonesia telah meraih kemajuan signifikan dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Kematian balita telah menurun dua per tiga yaitu 85 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 27 per 1.000 kelahiran pada 2015. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 Angka Kematian ibu menurun dari 359 setiap 100.000 kelahiran hidup menjadi 190 setiap 100.000 kelahiran hidup pada 2015.
Kemitraan Dukun-Bidan
Mimi Bedeh sudah beberapa tahun belakangan tak sendiri dalam membantu persalinan para ibu di desanya. Ia dibantu mitranya, Bidan Marni. “Karena pemerintah takut banyak yang mati kalau melahirkan di dukun, mungkin alat tidak steril atau kurang pengalaman,” kata Mimi.
Memang, walau pemerintah sudah bersusah payah membuat JKN, masih saja ada yang tidak termasuk dalam JKN. Berdasarkan hasil survei Analisis Kesehatan Ibu dan Anak oleh Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) pada April 2016 lalu, menyatakan sebanyak 168 juta penduduk Indonesia atau sekitar 65 persen dari total penduduk terdaftar sebagai peserta JKN.
Namun, kelompok masyarakat marjinal seperti mereka yang bekerja sebagai kuli cuci, serabutan, PRT, pemulung, pengamen dan pengemis sebagian besar tidak memiliki JKN. Hal ini lantaran keharusan memiliki KTP, KK dan alamat lengkap menjadi kendala untuk mendaftarkan diri pada program JKN.
Untuk itu, masih banyak para calon ibu yang ingin melahirkan karena tidak ada uang berlari menggunakan alternatif lain yaitu pergi ke dukun. Apalagi, biasanya dukun anak merupakan orang yang sudah dipercaya, dihormati, dan dituakan di daerah setempat.
Sehingga, beberapa dinas kesehatan di daerah yang masih memiliki AKI tinggi pun menerapkan program kemitraan bidan dan dukun. Para dukun anak yang biasa membantu persalinan para calon ibu diharapkan membawa pasiennya ke bidan terdekat untuk persalinan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kemungkinan kematian para ibu maupun bayinya.
“Walaupun BPJS tidak secara langsung bekerja sama, tapi ini kerja sama juga dengan dinkes setempat untuk memberikan penyuluhan, pengetahuan, sosialisasi kepada Bidan dan dukun bahwa seyogyanya dapat pelayanan di faskes 1 yang kerjasama dengan BPJS kesehatan,” jelas Irfan.
Ia pun menceritakan, program kemitraan ini pernah dilakukan di salah satu tempatnya berdinas, Gorontalo. Upaya-upaya serupa sudah banyak dilakukan di daerah khususnya dari dinkes yang bekerja sama, penyuluhan ke dukun, pelatihan, sharing pengetahuan dan mendorong kerja sama dengan bidan desa sebagai jejaring JKN. Wilayah-wilayah yang menerapkan sistem ini membagi sebagian pendapatan si Bidan kepada dukun yang menjadi mitranya.
“Mungkin begini untuk faskes tingkat pertama diberikan biaya kapitasi dan non kapitasi. Nah yang non kapitasi itu persalinan dan atau rawat inap itu ada memang dikelola puskesmas setempat. Ada kegiatan seperti itu (kemitraan bidan-dukun bisa saja program beberapa dinkes untuk penyuluhan tersebut, apalagi puskesmas di daerah terpencil punya anggaran dinkes untuk melakukan kesehatan masyarakat.” paparnya.
Setelah hampir dua tahun diberlakukan JKN, jumlah ibu hamil yang diperkirakan mencapai 5 juta setiap tahunnya, dan diasumsikan bahwa 65 persen penduduk telah menjadi peserta JKN, maka hanya sekitar 1.820.000 ibu hamil yang belum tercakup oleh JKN.
Target MDGs 4 sebelumnya adalah menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 setiap 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKBA) menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup. Dan hasil survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menunjukkan AKB tercatat 22 per 1.000 kelahiran hidup dan AKBA 26 per 1.000 kelahiran hidup. Artinya setelah setahun dari peluncurannya, JKN mampu merealisasikan target MDG 4 dalam penurunan kematian Bayi dan Balita.
Walau begitu, saat ini pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah, me-JKN-kan 1,8 juta ibu hamil yang tergolong menengah ke bawah. Agar tak ada lagi ibu yang harus lari ke dukun untuk melahirkan karena keterbatasan biaya dan pengetahuan.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti