tirto.id - Pemerintahan Amerika Serikat (AS) di era Presiden Donald Trump melempar ancaman ke musuh bebuyutannya di Asia, Korea Utara. AS siap menghancurkan negara berhaluan komunis itu bila berani melancarkan serangan nuklir.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Jim Mattis mengatakan negaranya telah bersiap memberikan respon balasan yang efektif dan besar-besaran apabila Korea Utara memilih menggunakan senjata nuklir. Ancaman ini sekaligus jaminan kepada Korea Selatan mengenai dukungan dan perlindungan oenuh AS ke sekutunya itu.
"Setiap serangan kepada Amerika Serikat atau sekutu-sekutu kami, akan dikalahkan, dan setiap penggunaan senjata nuklir akan dibalas dengan respon yang efektif dan besar-besaran," kata Mattis saat bertemu dengan menteri pertahanan Korea Selatan sebagaimana dikutip Antara dari berita reuters pada Jumat (3/2/2017).
Pernyataan Mattis itu muncul di tengah kekhawatiran bahwa Korea Utara kini sedang bersiap melakukan uji coba lagi terhadap peluru kendali balistik terbarunya. Rencana Pyongyang itu menyuratkan tantangan serius kepada pemerintahan Trump.
"Korea Utara melanjutkan peluncuran rudal, mengembangkan program senjata nuklirnya dan terlibat dalam retorika dan prilaku mengancam," ujar Mattis.
Selama ini, Korea Utara tercatat telah melakukan 20 kali uji coba rudal balistik sepanjang 2016 lalu. Dua di antaranya ialah uji coba rudal balistik nuklir. Kedua uji coba itu melanggar resolusi dan sanksi PBB.
Korea Utara kini juga telah melengkapi harta persenjataannya dengan rudal antarbenua ICBM yang bisa mencapai daratan AS, yakni 9.000 kilometer dari Korea Utara. ICBM memiliki jangkauan minimal jarak tembakan sepanjang 5.500 kilometer dan maksimum 10.000 kilometer lebih.
Setelah ke Korea Selatan, Mattis akan melanjutkan lawatannya ke Jepang pada pekan ini.
Sikap keras AS ke seteru bebuyutannya ini tak berlaku ke negara pesaingnya yang lain, Rusia. Kamis kemarin, Departemen Keuangan AS melonggarkan sanksi bagi Badan Intelijen Rusia. Dalam pernyataannya, Departemen Keuangan mengizinkan sejumlah transaksi tertentu dengan Dinas Keamanan Federal Federasi Rusia (FSB). Izin tersebut diperlukan dalam melakukan impor, distribusi atau penggunaan produk-produk teknologi informasi tertentu di Rusia.
Badan intelijen tersebut sebelumnya dijatuhi sanksi oleh pemerintahan Presiden Barack Obama karena dugaan peretasan pada proses pemilihan presiden AS tahun lalu. Pada Desember 2016, Obama mengeluarkan sanksi terhadap dua lembaga intelijen utama Rusia, yaitu Direktorat Intelijen Utama (GRU) dan FSB, atas tuduhan membantu operasi peretasan yang mencampuri pemilihan presiden AS. Sanksi juga dijatuhkan terhadap empat pejabat GRU serta tiga perusahaan atas tuduhan yang sama.
Pemerintahan Obama juga mengusir 35 diplomat Rusia, yang dicurigai melakukan aksi mata-mata dan menutup dua kompleks milik Kedutaan Rusia.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom