Menuju konten utama

Apakah Benar Multitasking Lebih Produktif?

Padahal faktanya, otak manusia justru dirancang 'monotaskers' alias mengerjakan satu saja pekerjaan dalam sekali duduk.

Apakah Benar Multitasking Lebih Produktif?
Ilustrasi Multitasking. FOTO/Istock

tirto.id - Seorang lelaki sepuh dengan gangguan demensia mesti mempertaruhkan hidup karena kecerobohan dokter saat memasang selang makanan di perutnya. Dokter tersebut keliru menambahkan dosis warfarin (obat pengencer darah) pada sang pasien.

Kecelakaan terjadi ketika si dokter lengah menyetop aliran warfarin pada tubuh pasien berusia 56 tahun tersebut. Akibatnya, darah pria tua itu terlalu 'encer' sehingga secara spontan mengisi kantung jantungnya. Walhasil, ia harus menjalani operasi jantung terbuka untuk menguras darah.

Pemicu insiden itu ternyata kebiasaan multitasking. Saat si dokter mengevaluasi kebutuhan warfarin pada tubuh pasien lewat komputer, ia malah membalas pesan dari kawannya. Kisah ini merupakan kejadian nyata yang dilaporkan oleh Kepala Staff Informasi Harvard Medical School, dokter John Halamka, pada Agency for Healthcare Research and Quality.

Kasus di atas disebut sebagai "multitasking mishap" atau kecelakaan akibat multitasking. Di sebagian bidang, risikonya mungkin tidak fatal, tetapi di urusan serius seperti penanganan medis, petaka bisa terjadi.

Bagi sebagian besar orang, khususnya di era serba cepat dan terhubung seperti sekarang, mengerjakan banyak hal sekaligus dalam waktu bersamaan mungkin dianggap sebuah kelebihan dan kebanggaan. Seperti menyelesaikan satu laporan sambil membalas pesan, menghadiri rapat sembari mencatat kebutuhan belanja bulanan, atau menulis proposal di tengah-tengah presentasi.

Banyak orang bahkan menyalah artikan bahwa multitasking mencerminkan kemampuan kognitif yang tinggi dan memberi banyak manfaat bagi kesehatan otak. Kebiasaan ini kini menjelma jadi bentuk efisiensi kerja atas nama produktivitas.

Padahal faktanya, otak manusia justru dirancang 'monotaskers' alias mengerjakan satu saja pekerjaan dalam sekali duduk. Seperti halnya yang dijelaskan dalam sebuah publikasi American Psychological Association (APA), alih-alih membantu, multitasking malah menurunkan efisiensi kerja dan kualitas hasilnya.

Mungkin analoginya seperti sebuah motor yang harus berpindah gigi secara mendadak. Bukannya berjalan lancar, gerak motor malah tersendat. Proses perpindahan terus-menerus dari satu tugas ke tugas lain secara bersamaan ini disebut dengan cognitive switching.

Dampak Multitasking pada Otak dan Risikonya

Otak manusia ternyata bisa menerima risiko buruk ketika harus berpindah-pindah fokus dalam waktu singkat. Perpindahan fokus secara konstan akan membuat otak cepat lelah. Cognitive switching menguras lebih banyak energi jika dibandingkan dengan menyelesaikan tugas satu per satu.

Berbagai penelitian mengungkap bahwa otak manusia bukan ‘perangkat’ paralel. Menurut Daniel J Levitin, seorang ahli saraf yang menulis buku The Organized Mind, bagian penting di balik tempurung kepala ini tidak didesain untuk menangani dua bahkan lebih pekerjaan kompleks dalam satu waktu. Korteks prefrontal, bagian otak yang berperan dalam pengambilan keputusan dipaksa bekerja lebih keras saat seseorang melakukan multitasking.

Salah satu studi dari jurnal Plos One(2014) garapan peneliti bernama Kep Kee Loh dan Ryota Kanai, menunjukkan potensi risiko yang lebih jauh. Individu dengan kebiasaan multitasking menggunakan media digital cenderung memiliki volume materi abu-abu yang lebih kecil di anterior cingulate cortex, yakni bagian otak yang mengatur empati, kontrol impuls, dan pengambilan keputusan.

Meskipun temuan ini belum sepenuhnya mengindikasikan sebab-akibat langsung, tetap saja mengisyaratkan adanya korelasi antara multitasking yang intensif dan perubahan struktur otak. Secara umum, multitasking dapat menurunkan tingkat atensi karena banyaknya distraksi. Ini pun tak jarang membuat seseorang yang mengerjakan terlalu banyak hal menjadi kurang fokus sehingga sulit berpikir secara mendalam.

Infografik Multitasking

Infografik Multitasking. FOTO/Tirto

Sebagian ahli menyebut efek dari multitasking hanya jangka pendek. Namun, belum ada studi khusus yang menjelaskannya. Artikel dari Brown Health Services bertajuk Multitasking and How It Affects Your Brain Health menerangkan bahwa multitasking dapat meningkatkan tekanan darah dan detak jantung, sehingga berisiko meningkatkan level stres.

Multitasking juga dikaitkan dengan gejala depresi dan kecemasan. Ini terjadi saat seseorang secara tergesa-gesa mengerjakan banyak hal dengan penuh tekanan. Efek multitasking bisa jadi sementara saja, tetapi secara kronis akan berdampak permanen apabila memicu stres berlebihan. Perilaku ini bahkan dapat memicu penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah otak (serebrovaskular) dan gangguan kognitif.

Set Shifting sebagai Alternatif Multitasking

Sebenarnya multitasking masih aman apabila salah satu pekerjaan yang sedang ditangani sepenuhnya bersifat otomatis tanpa perlu upaya lebih. Misalnya berjalan di treadmill sambil membaca buku, atau menyambi mendengarkan podcast saat menyetrika baju.

Kendati demikian, bad multitasking bisa membawa risiko buruk pada otak, kondisi mental, bahkan kesehatan fisik. Bad multitasking di sini merujuk pada upaya menyelesaikan dua atau lebih pekerjaan yang sama-sama butuh perhatian dalam satu waktu yang berpotensi menggerus kualitas hasil kerja. Contohnya melakukan rapat sembari membalas email.

Dalam sebuah publikasi diCNN Health, Margaret Moore yang menulis buku Organize Your Mind, Organize Your Life bersama Paul Hammerness yang diterbitkan Harvard Health Publishing, menyatakan bahwa multitasking dapat meningkatkan risiko membuat kesalahan dan melewatkan informasi-informasi penting. Orang yang melakukan banyak tugas sekaligus juga cenderung tidak dapat menyimpan informasi dalam memori kerjanya, yang dapat menghambat pemecahan masalah dan kreativitas.

Untuk menghindari jeratan multitasking, Moore menyarankan set shifting, yaitu mengalihkan perhatian secara sadar dan menyeluruh dari satu tugas ke tugas berikutnya. Praktik set shifting mendorong orang memberikan perhatian penuh pada apa yang sedang dilakukan. Berfokus pada tugas yang sedang dikerjakan hingga tuntas. Pekerjaan akan terselesaikan secara lebih baik karena kreativitas dicurahkan sepenuhnya pada satu hal. Kiat ini juga dapat lebih mengurangi risiko kesalahan.

Pun menurut Moore, set shifting menjadi tanda kebugaran dan kelincahan otak. Sebab, mereka yang mampu mengelola fokus dengan sadar memiliki kapasitas mental yang lebih adaptif, tenang, dan fleksibel dalam menghadapi tuntutan sehari-hari.

Multitasking mungkin tampak sebagai keahlian keren, tetapi faktanya ia bisa menjadi jebakan ilusi di balik kata ‘produktivitas’ dan ‘efisiensi’. Bukannya menjadi produktif, dengan multitasking, seseorang justru akan terjebak dalam tekanan pekerjaan yang rasanya tak kunjung selesai.

Baca juga artikel terkait KERJA atau tulisan lainnya dari Dina T Wijaya

tirto.id - Kueri
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Addi M Idhom