tirto.id - Pluralisme merupakan salah satu pemikiran yang muncul pada masa pencerahan (enlightenment) di Eropa pada abad ke-18 Masehi.
Menurut Britannica, pluralisme adalah paham bahwa orang-orang dari kelas sosial, agama, ras yang berbeda harus hidup berdampingan dalam masyarakat.
Salah satu gagasan pluralisme yang digaungkan di Indonesia adalah pluralisme ras dan agama. Hal ini disebabkan oleh latar belakang agama dan suku di Indonesia yang sangat beragam.
Menurut Repostori UIN Surabaya, gagasan pluralisme agama memiliki akar kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya di India.
Para peneliti dari Barat seperti Prrinder dan Sharpe menganggap bahwa pencetur gagasan tersebut adalah tokoh pemikir yang berbangsa India seperti Rammohan Ray dan Sri Ramakhrisna.
Sejarah Singkat Kemunculan Paham Pluralisme di Indonesia
Pada awal abad ke-19, gagasan pluralisme agama mulai mengakar dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi di Barat.
Salah satunya adalah dari teolog Kristen Liberal, Ernst Troeltsch (1865-1923) yang berpendapat bahwa semua agama selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak, sehingga konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak hanya satu.
Di Indonesia sendiri, gagasan pluralisme, khususnya dalam hal agama dibuka oleh cendekiawan muslim bernama Nurcholish Madjid.
Pluralisme di Indonesia digaungkan untuk mencegah dan meredam konflik antar umat beragama dan meningkatkan kesetaraan dalam segala hal antar agama.
Wacana pluralisme di Indonesia mulai semakin ramai setelah MUI menerbitkan fatwa No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 yang mengharamkan paham pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Menurut laman PKU Universitas Darussalam Gontor, pasca era reformasi yang ditandai dengan maraknya konflik antar agama dan ras membuat diskursus pluralisme di Indonesia semakin popular dan mendapatkan banyak pengakuan dan pendukungan.
Tokoh-Tokoh Pluralisme di Indonesia
Beberapa tokoh pluralisme yang terkenal di Indonesia adalah Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan K. H. Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii Maarif.
Dilansir dari laman Kebudayaan Kemdikbud, sebelum menjadi Presiden RI, Gus Dur telah dikenal sebagai tokoh yang selalu memperjuangkan hak-hak kaum minoritas.
Ia bahkan merealisasikan gagasan pluralisme tersebut dengan mencaput Inpres No.14 Tahun 1967 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Orde Baru.
Setelah itu Gus Dur juga mengeluarkan PP No.6 Tahun 2000 pada 31 Maret tahun 2000 yang menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Ia juga berperan dalam diakuinya agama Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia.
Gus Dur bahkan diangkat menjadi Bapak Tionghoa Indonesia oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia pada tanggal 24 Agustus 2014.
Sama halnya seperti Gus Dur, Buya syafii Maarif juga dikenal sebagai seorang ulama dan figur cendekiawan terhormat yang menjadi panutan bagi masyarakat Indonesia.
Dilansir dari laman PGI, Buya Syafii Maarif pernah menjabat sebagai Ketua Umum Penguruh Pusat Muhammadiyah pada tahun (1998-2005), Pemimpin Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta (1988-1990) dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WRCP).
Pada tahun 2008, Buya Syafii Maarif memperoleh penghargaan Ramon Magsasay Award Foundation (RMAF) untuk komitmen dan kesungguhannya dalam membimbing umat Islam untuk menegakkan toleransi dan pluralisme di Indonesia bahkan dunia.
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Maria Ulfa