Menuju konten utama

Apa Arti dari Serangan Fajar dan Politik Uang dalam Pilkada?

Di medsos, beredar banyak meme serangan fajar Pilkada 2020 seperti "Ambil uangnya, jangan pilih orangnya, biar kapok."

Apa Arti dari Serangan Fajar dan Politik Uang dalam Pilkada?
Ilustrasi suap. FOTO/IStockphoto

tirto.id - Menjelang hari pemungutan suara Pilkada serentak pada Rabu, 9 Desember 2020 ini, beredar banyak meme di media sosial yang menyinggung soal politik uang atau yang dikenal dengan istilah serangan fajar.

Meme-meme itu seperti berikut ini:

"Maaf tidak terima serangan fajar, tapi kalau maksa taruh aja di bawah keset."

"Ambil uangnya, jangan pilih orangnya, biar kapok."

"Harga diri dan harga surat suara. Jika Anda mau dibayar Rp100.000 untuk memilih calon, maka ketahuilah: Rp100 ribu dibagi 5 tahun sama dengan Rp20 ribu. Rp20 ribu dibagi 12 bulan sama dengan Rp1.666. Rp1.666 dibagi 30 hari sama dengan Rp55,5 per hari. Lebih murah dari harga sebuah permen karet."

Lantas apa yang dimaksud dengan politik uang?

Istilah Politik Uang

Seperti dikutip buku Badai Politik Uang dalam Demokrasi Lokal (2020) oleh Ahmad Hudri disebutkan, politik uang atau money politics adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi, atau dapat juga diartikan sebagai jual-beli suara dalam proses politik dan kekuasaan. Bisa juga diartikan sebagai tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.

Politik uang juga bisa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku politik orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Juga bisa diartikan sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan, hal ini bisa terjadi dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum presiden.

Pada umumnya, politik uang ini dipakai untuk menarik simpati pemilih dalam menentukan hak suaranya. Dengan demikian, politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang untuk menentukan pilihannya. Pemberian bisa dilakukan menggunakan barang dan uang.

Masih di dalam buku itu, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menyebutkan istilah money politics sendiri masih kurang jelas. Sebab, di dalam banyak kesempatan, politik uang sering dipakai untuk merangkum seluruh praktik, mulai dari korupsi, jual beli suara sampai kriminal. Oleh sebab itu, politik uang beroperasi pada dua ranah. Akan tetapi, praktik politik uang bisa disamakan dengan uang sogok dan suap.

Pertama, terjadi di tingkat elit seperti calon Presiden, DPR, DPRD, Gubernur, Bupati atau Wali Kota yang maju dalam pemilihan umum. Sebab, setiap calon harus mengeluarkan uang lebih untuk menyewa "perahu" partai, kampanye, konsultan sampai biaya berperkara di Mahkamah Konstitusi. Kedua, politik uang yang terjadi di tingkat massa dalam bentuk jual beli suara ke pemilih.

Ada banyak strategi dalam menjalankan politik uang dalam pemilu, namun yang paling umum adalah istilah serangan fajar.

Istilah Serangan Fajar

Serangan fajar adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bentuk politik uang dalam membeli suara. Serangan fajar bisa dilakukan oleh satu atau beberapa orang dengan tujuan memenangkan calon peserta pemilihan umum. Pada umumnya, serangan fajar sering terjadi menjelang pemilihan umum dan menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Serangan fajar sudah dikenal luas oleh para pemilih dan kontestan pemilu di Indonesia. Ia merupakan kunjungan rahasia ke pemilih yang dilakukan pada pagi hari untuk mendistribusikan uang dan kebutuhan sehari-hari sebelum masyarakat menuju tempat pemungutan suara (TPS).

Biasanya, para kontestan akan menggunakan pihak ketiga untuk mengunjungi calon pemilih di rumah mereka, tempat nongkrong atau pemilih yang sedang dalam perjalanan ke TPS. Mereka kemudian menawarkan atau memberikan sejumlah uang dengan harapan orang-orang ini akan memberikan suaranya kepada para kontestan.

Akan tetapi, serangan fajar juga bisa dilakukan oleh para tim kampanye sebelum masa kampanye, saat masa kampanye, pada masa tenang atau pun malam hari menjelang pencoblosan ke TPS.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH