tirto.id - Rumah Anies Baswedan di Lebak Bulus Dalam II, Jakarta Selatan tampak sepi kegiatan, pada Senin pagi (16/10/2017). Menjelang pelantikannya sebagai guburnur DKI periode 2017-2022, suasana rumah Anies tak seperti saat jelang pemilihan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua, pada 19 April lalu.
Hanya ada beberapa petugas pengamanan dari kepolisian dan asisten pribadi yang hilir mudik mengatur wartawan yang meliput. Tak ada juga massa relawan yang berkumpul. Anies sendiri tak nampak keluar rumah. Padahal saat hari pemilihan, Anies sudah berkegiatan sejak subuh dan menyapa para jurnalis yang sedang meliput.
Sejumlah wartawan di lokasi sempat dijanjikan untuk bisa melakukan wawancara sekitar pukul 8.00 pagi. Namun, janji itu tidak terpenuhi. Hanya TV One dan Detik.com yang diperbolehkan untuk meliput kegiatan Anies di dalam rumah saat pagi hari. Dari hasil liputan keduanya, diketahui Anies sedang sarapan bersama keluarganya.
Berdasarkan keterangan Nugaraha, salah satu asisten Anies yang mengurusi media, didapat informasi bahwa Anies tidak keluar rumah karena sibuk untuk menyiapkan teks pidato politik yang akan dibacakan pada malam setelah pelantikan di Balaikota Jakarta.
“Bapak lagi ngetik pidato,” kata Nugraha kepada wartawan, di kediaman Anies, Senin (16/10/2017).
Nugraha menyatakan, Anies belum puas dengan draf teks pidato yang telah disiapkan oleh timnya. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu ingin memperbaikinya sendiri.
“Ya, namanya mantan Rektor, bro. Masak pidato dibuatin,” kata Nugara.
Anies, kata Nugraha, memang cenderung perfeksionis perihal teks pidato. Anies bisa berulangkali merevisi sebuah teks pidato yang akan dibacakannya dalam momen-momen tertentu.
"Kebanyakan, Bapak [Anies] bikin sendiri pidatonya," kata Nugraha.
Anies baru keluar rumah sekitar pukul 13.40 saat hendak berangkat ke Masjid Sunda Kelapa yang menjadi titik temu antara dirinya dan Sandiaga Uno, sebelum keduanya sama-sama menuju Istana Negara untuk dilantik oleh Presiden Joko Widodo.
Namun, saat dikonfirmasi kegiatannya selama di dalam rumah, termasuk menulis teks pidato tersebut, Anies tak menjawab. Ia hanya mengatakan, “Tidak ada persiapan khusus. Biasa-biasa saja.”
Teks pidato tersebut pun akhirnya dibacakan Anies di depan warga DKI Jakarta di Balaikota. Orasi politik itu disampaikan di hadapan pendukungnya setelah dirinya dilantik di Istana Negara, dan serah terima jabatan di Balaikota Jakarta. Dalam pidato politiknya itu, Anies mengingatkan pentingnya kesejahteraan dan kesetaraan bagi warga DKI.
Anies juga menyinggung perihal sejarah panjang DKI Jakarta. Mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga menjadi Jakarta saat kemerdekaan. Termasuk eratnya hubungan Jakarta dengan kemerdekaan.
Dalam konteks itu, Anies menyatakan bahwa warga Jakarta haruslah merdeka di kotanya sendiri. Anies mengatakan, dulu semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
“Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik se atellor, ajam se ngerremmi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami,” kata Anies dalam pidatonya, di Balaikota Jakarta, Senin.
Anies menyebut Jakarta satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat, penjajahan di depan mata, selama ratusan tahun. Di tempat lain mungkin penjajahan terasa jauh, tapi di DKI, kata Anies, yang namanya kolonialisme itu di depan mata.
“Dirasakan sehari hari. Karena itu bila kita merdeka, maka janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta,” demikian cuplikan pidato Anies. Sontak kalimat itu pun mendapat sorakan dari pendukung Anies-Sandi yang memadati Balaikota.
Pernyataan Anies itu memantik respons negatif setelah sejumlah media memberitakannya. Anies dianggap membangkitkan kembali sentimen anti-pribumi di DKI Jakarta. Terlebih dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu isu SARA turut memanaskan situasi persaingan politik.
Baca juga:Kata "Pribumi" yang Polemis dalam Improvisasi Pidato Anies
Menanggapi polemik tersebut, Anies pun akhirnya melakukan klarifikasi. Mantan Mendikbud ini menegaskan bahwa istilah “pribumi” digunakan dalam konteks menjelaskan era penjajahan. Sebab, kata Anies, Jakarta merupakan kota yang paling merasakan penindasan di era kolonial Belanda.
"Yang lihat Belanda jarak dekat siapa? Orang Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok Indonesia, tahu ada Belanda? Kita lihat di depan mata enggak? Tapi yang lihat di depan mata itu kita yang di Jakarta,” kata Anies, di Balakota Jakarta, Selasa (17/10/2017).
Bagi Anies, ucapannya soal “pribumi” dalam pidato tersebut diplintir oleh beberapa media online hingga menjadi viral di media sosial. “Kan pelintiran satu dua website itu sekarang sudah dikoreksi ya. [Berita] Detik.com sudah dikoreksi, kemudian Kumparan,” kata dia.
Anies juga bersikukuh bahwa istilah “pribumi” yang ia pakai tidak melanggar etika publik, serta tidak menyalahi Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program ataupun Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
"Pokoknya itu [kata "pribumi"] digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda dan itu memang kalimatnya begitu," ujarnya.
Apa yang disampaikan Anies Baswedan soal “pribumi” dalam pidato di hadapan pendukungnya itu memang sedikit keluar dari teks pidato yang telah dibuat. Namun demikian, antara teks pidato dan hasil improvisasi Anies tidak jauh beda.
Misalnya, dalam teks pidato tertulis: “Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, 'Itik se atellor, ajam se ngeremme.' Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain.
Sementara itu, pidato improvisasi Anies berbunyi: “Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat, penjajahan di depan mata, selama ratusan tahun. Di tempat lain, mungkin penjajahan terasa jauh tapi di Jakarta bagi orang Jakarta yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari-hari. Karena itu bila kita merdeka, maka janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta.
Anies menambahkan “Dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik se atellor, ajam se ngerremi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.”
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani