tirto.id - Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan menjanjikan adanya perbaikan pengawasan di wilayah perbatasan bila terpilih menjadi presiden. Menurutnya salah satu penyebab lemahnya daya ekonomi di Kalimantan Barat adalah minimnya pengawasan di area perbatasan Indonesia dan Malayasia.
Akibatnya, sejumlah komoditas dari Malayasia masuk ke Indonesia dan membanjiri pasaran tanpa dapat dicegah.
"Kendalikan masuknya barang-barang dari luar secara ilegal," kata Anies saat berkampanye di Pontianak, Kalimantan Barat pada Selasa (26/12/2023).
Anies mengungkapkan bahwa komoditas impor yang masuk di Kalimantan Barat sebagian besar juga dapat diproduksi di dalam negeri. Dia menyebut sejumlah pedagang dan produsen lokal mengalami kerugian akibat kejadian itu.
"Jadi bagaimana sayur-sayuran ini memasuki pasar-pasar di Pontianak dan Kalimantan Barat. Sehingga membuat produksi lokal menjadi tersingkirkan," kata dia.
Selain menyoroti masalah impor ilegal yang marak di perbatasan sekitar Sabah dan Serawak, Anies juga mengungkit adanya pembangunan internet di wilayah terpelosok di Kalimantan. Menurutnya, salah satu infrastruktur yang mampu menggenjot daya ekonomi adalah kapabilitas internet.
Anies menyampaikan saat ini Indonesia masih berada di peringkat 96 dari 143 negara pengunaan internet. Selain itu secara kecepatan akses, internet Indonesia hanya mampu menjangkau hingga 23 MBPS di saat kecepatan internet dunia sudah mencapai 42 MBPS.
"Dengan adanya fasilitas internet yang merata, dengan kecepatan yang lebih tinggi, kita berharap kegiatan produktif yang mereka lakukan bisa menjangkau pasar lebih luas," kata Anies.
Aturan Perdagangan Lintas Perbatasan
Indonesia dan Malaysia sejatinya memiliki kesepakatan tersendiri yang mengatur sistem perdagangan di wilayah perbatasan, yang bernama Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970.
Aturan ini mengharuskan setiap barang yang melintasi perbatasan dilaporkan ke Pos Pengawasan Lintas Batas atau PPLB. Untuk lintas darat, kedua negara sepakat membatasi kuota maksimal barang seharga MYR600 ringgit per orang per bulan.
Begitu pula untuk lintas laut, yakni MYR600 ringgit per perahu per perjalanan. Apabila melebihi batas, maka warga akan dikenakan pajak tambahan. Namun masalah tidak selesai di situ.
Seiring perkembangan, tingkat kebutuhan hidup masyarakat meningkat. Ketentuan BTA Tahun 1970 dianggap sudah tidak relevan dan perlu penyesuaian. Di sisi lain, penegakkan hukum terbilang lemah dan hubungan dagang antarpenduduk sudah terjalin. Semua faktor ini akhirnya melanggengkan tingginya aktivitas perdagangan ilegal lintas negara.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Dwi Ayuningtyas