tirto.id - Penelitian yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development(INFID) perihal Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan menunjukkan bahwa anak muda masih tergolong intoleran menanggapi isu-isu agama.
"Sebanyak 88,2% dari mereka memang tidak setuju dengan ekstremisme kekerasan. Tapi pada pertanyaan tentang 'apakah boleh mengucapkan hari raya ke teman yang beragama lain', perbandingan jawaban hampir 50:50. Kami menilai masih ada intoleransi di antara anak muda,” ujar Program Officer Human Right & Democracy Lola Lovelita dalam diskusi di Griya Gus Dur, Jakarta, Selasa (26/9/2017).
Dari angka ini, Lola menuturkan, tantangan mereka saat ini adalah bagaimana agar para pemuda bisa paham nilai-nilai perdamaian dalam menghadapi perbedaan.
Menanggapi pernyataan tersebut, Frinsoni Buaton Nainggolan selaku Program Officer dari Search for Common Ground mengatakan, penting untuk melihat perdamaian dari perspektif anak muda.
"Berpikir sebebas-bebasnya. Cari contoh-contoh best practice dalam dunia global," ujar Soni.
Ia juga menambahkan bahwa konflik horizontal yang terjadi selama ini tidaklah ditentukan dari isu yang melatarbelakangi. "Penyebab konflik itu dari respons kita terhadap konflik itu sendiri," kata Soni.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menginternalisasi nilai-nilai perdamaian pada anak muda. Media OfficerThe Wahid Institute Fatma mengatakan bahwa salah satu cara yang efektif adalah melalui program live in (hidup bersama).
"Kami pernah mengajak 50 anak muda hidup di suatu komunitas marginal di daerah Jawa Barat. Saat itu mereka tinggal di sebuah kelompok Ahmadiyah. Awalnya mereka takut. Tapi setelah hidup bersama, mereka tahu dengan sendirinya. Saya pikir ini cara paling alami dalam menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian pada anak muda," tutur Fatma.
Koordinator Temu Kebangsaan 2017 Mikail Gorbachev Dom juga bercerita pernah mendirikan sebuah gerakan bernama Artis Propaganda Lingkungan Hidup. Lewat program ini, ia meminta aktris secara sukarela untuk berbicara soal kampanye lingkungan hidup.
"Soal kebangsaan dan perdamaian itu bisa diutarakan lewat apa saja. Waktu itu kebetulan saya menarik isu lingkungan hidup untuk menyebarkan nilai-nilai kebangsaan. Itu waktu Pilkada. Ibaratnya waktu itu saya jadi buzzer tapi lewat isu lingkungan hidup," jelas Gorba.
Pengalaman melakukan penelitian bersama Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan juga diceritakan oleh salah satu anggota Sandya Institute, Reza Aditia. Ia mengatakan, ada nilai-nilai kearifan lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian.
"Kebetulan saya di sana waktu acara Seren Taun. Saya lihat ada kidung[nyanyian suci] yang artinya mengandung nilai-nilai perdamaian. Selain itu, saya juga jadi memahami kehidupan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan," kata Reza ceritakan pengalamannya.
Pada diskusi yang membahas usaha perdamaian dari perspektif anak muda juga dianalisis masalah-masalah yang dihadapi Indonesia. Salah satu masalah yang disebut berkali-kali oleh peserta adalah prihal rendahnya tingkat literasi di kalangan masyarakat Indonesia.
"Menurut saya, ini berkaitan dengan critical thinking. Kita terlalu mudah menerima sesuatu," ujar Aprida Sondang Silitonga dari salah satu organisasi kepemudaan independen, Gerakan Mari Berbagi.
Hal lain yang patut dipertimbangkan lagi adalah soal penggunaan term dalam peacebuilding ini.
"Seperti kata radikalisme yang sebenarnya mengalami peyorasi. Kita harus berhati-hati menggunakan pemilihan kata. Seperti konflik, misalnya. Lebih baik kita hindarkan kata itu gunakan istilah temu kebangsaan, dialog kebangsaan atau istilah-istilah positif lainnya," ujar Soni menutup diskusi.
Ia mengatakan, hasil dari pertemuan ini akan dijadikan rekomendasi dalam Pertemuan Tingkat Tinggi yang akan diselenggarakan di Washington tentang Scope 2 Global Peacebuilding Movement.
Penulis: Diana Pramesti
Editor: Yuliana Ratnasari