Menuju konten utama

Amnesty Sebut Omnibus Law Menindas Pekerja di Indonesia

Dampak RUU Cipta Kerja Omnibus Law adalah perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap.

Amnesty Sebut Omnibus Law Menindas Pekerja di Indonesia
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). . ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.

tirto.id - Amnesty International Indonesia mengkritik keras sejumlah pasal yang dianggap bermasalah di dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law, yang saat ini sedang digodok Pemerintah dan DPR RI.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut rancangan undang-undang sapu jagat akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap.

Ketentuan baru ini, kata Usman, akan memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas.

Hal tersebut dikatakan Usman saat konferensi pers daring bersama Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, dan sutradara film Angga Dwimas Sasongko, Rabu (19/8/2020) siang.

"Perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap," kata Usman.

Aturan di dalam RUU Ciptaker, kata Usman, berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap, sehingga seterusnya mereka tidak mendapat perlindungan yang memadai di dalam UU Ketenagakerjaan.

Beberapa perlindungan tersebut di antaranya pensiun, cuti tahunan selama 12 hari (untuk pekerja sementara yang bekerja di bawah satu tahun), dan kompensasi untuk pemutusan hubungan kerja.

Usman menilai hal tersebut merupakan kemunduran dari undang-undang yang ada dan bertentangan dengan standar HAM internasional.

Usman juga menyoroti adanya ketentuan yang dapat membuat pekerja untuk bekerja lebih lama, dengan meningkatkan batas waktu lembur dari dari tiga jam per hari--sesuai UU Ketenagakerjaan--menjadi empat jam per hari, serta dari 14 jam menjadi 18 jam per minggu.

Kata Usman, RUU ini juga mengatur bahwa untuk sektor tertentu, perusahaan akan diberikan keleluasaan untuk membuat skema sendiri terkait penghitungan besaran kompensasi lembur.

“Keleluasaan yang diberikan kepada perusahaan dalam menentukan skema penghitungan dapat merugikan pekerja di sektor tertentu karena mereka bisa saja diharuskan bekerja lebih lama dan menerima upah lembur yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja dari sektor lain,” katanya.

Selain itu, Usman juga menyoroti bagaimana RUU Cipta Kerja akan merugikan pekerja karena menghapus beberapa bentuk cuti berbayar, termasuk cuti haid, cuti pribadi (seperti pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga), cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan.

Padahal, kata Usman, selama ini, jenis-jenis cuti tersebut merupakan cuti tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.

“Pemerintah dan DPR harus segera mengkaji ulang pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar HAM. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi, sejalan dengan hukum nasional dan standar HAM internasional,” katanya.

Sementara itu dalam proses pembuatannya, penyusunan Omnibus Ciptaker dinilai tidak terbuka dan tidak transparan. Pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat pekerja sebagai bagian dari proses konsultasi publik. Tetapi, Usman menilai, seluruh serikat pekerja tersebut membantah klaim pemerintah dan menyatakan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan sejak awal proses penyusunan.

Kata dia, itu artinya tidak ada interaksi yang jujur dan terbuka ​​antara otoritas pemerintah dan kelompok masyarakat terkait penyusunannya.

“Seharusnya para serikat pekerja dilibatkan dalam proses penyusunannya sejak awal, karena anggota merekalah yang akan terdampak langsung oleh RUU tersebut. Setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik, dan itu dijamin dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak‑Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Suara dan aspirasi kelompok buruh dan pekerja harusnya menjadi pertimbangan utama pemerintah dan DPR,” katanya

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Reja Hidayat