tirto.id - Jumat pekan lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sudah sampai 75 persen. Pernyataan ini diamini oleh Hendrawan Supratikno, Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDIP, yang menambahkan regulasi sapu jagat ini bisa disahkan sebelum reses pada Oktober mendatang.
Sejak diajukan oleh pemerintahan Joko Widodo pada 7 Februari 2020, dan berubah-ubah namanya seiring protes publik, RUU Cipta Kerja menuai pro-kontra. Para pendengung alias buzzermempromosikannya ke seluruh kanal media sosial. Sebaliknya, kelompok-kelompok masyarakat sipil pro demokrasi gencar mengkritiknya, termasuk pada 14 Agustus kemarin saat pidato tahunan Presiden Jokowi di DPR. Salah satu tumpuan gelombang protes terhadap RUU Cipta Kerja adalah klaster ketenagakerjaan.
RUU Cipta Kerja akan mengatur tiga jenis upah minimum, yaitu upah minimum provinsi, upah minimum padat karya, dan upah minimum usaha mikro kecil menengah. Peraturan mengenai upah minimum provinsi dibahas pada pasal 88C, dan akan menghapus upah minimum kabupaten/kota (tertuang dalam Pasal 89 UU ketenagakerjaan).
Upah minimum provinsi (UMP) adalah jaring pengaman yang ditentukan oleh gubernur dari masing-masing provinsi. Masalanya, UMP hanya berfungsi sebagai jaring pengaman sehingga nilainya pun lebih rendah dari upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Sekalipun belum ada Omnibus Lawa Cipta Kerja, kebijakan pengupahan tenaga kerja di Indonesia sudah bermasalah.
Upah minimum ditentukan oleh gubernur melalui rekomendasi bupati/wali kota dan pertimbangan dewan pengupahan provinsi berdasarkan survei mengenai kebutuhan hidup layak (KHL). Penghitungan ini menuai pro-kontra karena nilai UMK. (Upah di beberapa kabupaten/kota, misalnya, masih lebih kecil daripada kebutuhan hidup layak.)
Ada juga komponen yang dijadikan perhitungan kebutuhan hidup layak versi pemerintah tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak pekerja.
Ada sesat pikir dalam penentuan upah minimum yang ditentukan oleh pemerintah. Hal ini tertuang dalam pasal 43 (2) PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Pasal ini menjelaskan kebutuhan hidup layak yang dijadikan pertimbangan adalah standar untuk satu orang pekerja lajang selama satu bulan.
Sementara banyak pekerja tidak selalu mencari uang untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, tapi juga untuk anggota keluarga seperti istri dan anak (apabila sudah menikah), atau orang tua dan sanak saudara (apabila belum menikah). Tanggungan seperti ini tidak diperhitungkan dalam penentuan upah minimum.
Walaupun sudah tertera bahwa standar minimal pengupahan adalah untuk satu orang pekerja lajang selama satu bulan, ternyata tidak semua daerah mengikuti peraturan ini.
Bila UMK dengan biaya hidup di masing-masing kota/kabupaten di Pulau Jawa dibandingkan, akan terlihat ketimpangan di berbagai kota/kabupaten.
Untuk satu pekerja lajang tanpa memiliki tanggungan anak atau istri, beberapa kota/kabupaten di Pulau Jawa tidak layak dihuni karena biaya hidup lebih tinggi dibandingkan upah minimum yang diterima pekerja. Daerah ini adalah Bangkalan dan Sampang di Jawa Timur, Purworejo, Wonosobo, Kota Magelang, dan Kabupaten Magelang di Jawa Tengah, dan Seluruh Provinsi DI Yogyakarta.
Seluruh Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, layak untuk dihuni jika dilihat dari kelayakan upahnya. Tapi, apabila UU Cipta Kerja berlaku dan upah minimum menyesuaikan provinsi, akan terjadi penurunan di beberapa daerah.
Tangerang Selatan di Banten, sebagian besar Jawa Barat seperti Kota Bandung, Kota Bekasi, Karawang, Kota Cimahi, Kota Depok, Purwakarta, Subang, dan Sumedang, beberapa daerah di Jawa Timur seperti Gresik, Mojokerto, Kota Mojokerto, Kota Surabaya, Lamongan, dan Sidoarjo, mengalami penurunan drastis dari layak menjadi tidak layak.
Di daerah-daerah yang upah pekerjanya sekarang tidak layak, bila RUU Cipta Kerja disahkan, nominal upahnya semakin tidak layak alias amblas.
Mengingat rezim pengupahan di Indonesia hanya menghitung kebutuhan untuk satu orang, maka bagi pekerja yang memiliki tanggungan seperti anak atau pasangan tidak bekerja akan sangat berat hidupnya. Dalam kondisi sekarang, UMK di banyak daerah sudah tidak layak untuk menghidupi kondisi orang tua tunggal.
Bekasi, Kota Bekasi, Bogor, dan Kota Bogor di Jawa Barat, Kota Cilegon, Serang, Kota Serang, Tangerang, dan Kota Tangerang di Banten, dan DKI Jakarta masih memberi upah layak dengan selisih lumayan besar. Di banyak daerah lain, situasinya antara cukup layak dengan selisih kecil, atau tidak layak sama sekali.
Bila Omnibus Law Cipta Kerja berlaku, tak satu pun daerah di Pulau Jawa yang memberi upah layak bagi orang tua tunggal.
Maka, dalam kondisi pandemi COVID-19 sekarang, politik pengupahan sebetulnya sudah bikin remuk keluarga-keluarga pekerja. Kita tahu ada peningkatan angka perceraian di berbagai daerah selama pandemi. Ia memunculkan banyak orang tua tunggal yang harus menanggung kehidupan anaknya.
Rezim pengupahan sekarang sama sekali tidak layak bagi pekerja yang menjadi orang tua tunggal dengan dua anak di Pulau Jawa. Jika UU Cipta Kerja berlaku, kondisinya bisa bikin jongkok keluarga-keluarga ini.
Bagi pasangan menikah yang salah satunya tidak bekerja, berlaku perhitungan upah yang sama dengan orang tua tunggal, karena hanya satu orang menerima upah sementara ia juga (harus) menanggung pasangan tidak bekerja.
Dalam kondisi pandemi, menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, ada sedikitnya 3,5 juta pekerja yang di-PHK maupun dirumahkan per 31 Juli 2020. Kondisi ini turut menambah salah satu pasangan (atau bahkan keduanya) tidak bekerja. Ia jelas bikin jongkok pendapatan rumah tangga.
Serang, Kota Serang, Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon di Banten, serta sedikit daerah di Jawa Barat seperti Bekasi, Kota Bekasi, Bogor, Kota Bogor, dan Sukabumi, masih memiliki upah layak. Namun, kondisi ini berubah jika UU Cipta Kerja berlaku.
Apabila pasangan kelas pekerja ini memiliki anak, tanggungan itu tentu menambah pengeluaran keluarga, maka tak ada daerah di Pulau Jawa memiliki upah layak, sebelum maupun sesudah UU Cipta Kerja.
Jember dan Jombang di Jawa Timur memiliki warna lebih terang karena selisih upahnya lebih kecil, tapi besaran penghasilan rumah tangganya masih lebih kecil dibandingkan pengeluaran rumah tangga.
Untuk bisa hidup layak dengan upah minimum, dalam rezim pengupahan di Indonesia, pasangan suami-istri harus sama-sama bekerja. Ia berlaku bagi pasangan non-suami-istri, atau adik-kakak, orang tua-anak yang sudah bekerja, dengan menggabungkan penghasilan maupun pengeluaran rumah tangga sehingga lebih irit.
Dalam komposisi rumah tangga seperti ini, hampir seluruh daerah di Pulau Jawa layak untuk ditinggali. Beberapa daerah dengan upah tidak layak adalah Purworejo, Wonosobo, Magelang, dan Kota Magelang di Jawa Tengah, serta Banyuwangi dan Sampang di Jawa Timur. Situasi berbeda untuk seluruh provinsi Yogyakarta: mengandalkan upah semata, dengan skema di atas, tetap saja tidak layak dihuni.
Ketika Omnibus Law RUU Cipta Kerja diberlakukan, pendapatan rumah tangga di beberapa daerah akan menurun secara drastis. Di antaranya Kota Tangerang Selatan di Banten, serta Bandung, Bandung Barat, Kota Bandung, Bekasi, Kota Bekasi, Kota Cimahi, Kota Depok, Purwakarta, Subang, dan Sumedang di Jawa Barat.
Bila bertambah ada anggota keluarga tidak bekerja ke dalam tanggungan rumah tangga, pengeluaran rumah tangga juga akan bertambah, tanpa ada pendapatan tambahan.
Beberapa daerah masih memiliki upah layak jika dalam rumah tangganya ada tambahan tanggungan satu anak. Tapi, banyak kota besar di Pulau Jawa yang sulit menangung satu anak sekalipun pasangan sama-sama bekerja. Misalnya Bandung, Bandung Barat, Ciamis, Garut, Subang, Sumedang, dan Kota Cimahi di Jawa Barat, Banjarnegara, Banyumas, Batang, Kebumen, Kendal, Kota Salatiga, dan Temanggung di Jawa Tengah, Pamekasan, Lamongan, dan Kota Mojokerto di Jawa Timur. Sementara daerah-daerah lain seperti Yogyakarta, serta Magelang dan Kota Magelang di Jawa Tengah, sudah buruk kondisinya sejak awal.
Perubahan komposisi rumah tangga, kondisi pandemi COVID-19, maupun Omnibus Law Cipta Kerja hanya semakin memperburuk keadaan itu.
Jika rumah tangga pekerja yang mengandalkan upah minimum semata harus menanggung dua anak, hanya sedikit daerah yang masih layak ditinggali. Di kawasan Jabodetabek, hanya Tangerang, Kota Tangerang, Bekasi, Kota Bekasi, Bogor, dan Kota Bogor yang upahnya masih layak untuk menghidupi dua orang dewasa dan dua anak.
Sukabumi di Jawa Barat, Jember, Jombang, Pasuruan, dan Kota Pasuruan di Jawa Timur adalah segelintir daerah yang masih layak ditinggali dengan upah minimum dengan kondisi di atas (dua orang dewasa bekerja menanggung dua anak). Tapi, bila Omnibus Law Cipta Kerja berlaku, tidak ada satu daerah pun di Pulau Jawa yang memiliki upah layak.
Thus, kondisi keluarga-keluarga pekerja akan menghadapi kehidupan yang jongkok, amblas, dan remuk di bawah rezim pengupahan UU Cipta Kerja.
Metodologi
Visualisasi di atas membandingkan antara upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum provinsi (UMP) yang ditetapkan oleh gubernur di masing-masing provinsi di Pulau Jawa, dengan biaya hidup berdasarkan Survei Biaya Hidup oleh Badan Pusat Statistik.
Survei biaya hidup yang digunakan adalah rilis 2012, lalu perhitungannya memakai nilai Indeks Harga Konsumen 2018 (2012=0) dan IHK 2020 (2018=0).
SBH 2012 hanya melakukan survei di 82 kota/kabupaten secara nasional; 33 ibu kota provinsi dan 49 kota lainnya. Di antara itu hanya 26 kota/kabupaten di Pulau Jawa. Data ini diinterpolasi secara spasial demi mendapatkan nilai perkiraan biaya hidup di Pulau Jawa, selain 26 daerah yang disurvei oleh BPS. [Datanya bisa lihat di sini.]
Nilai pengeluaran rumah tangga dalam survei biaya hidup adalah nilai rata-rata dari satu keluarga dengan rata-rata sekitar 4 anggota keluarga. Angka ini dibagi dengan jumlah anggota keluarga untuk mendapatkan biaya hidup per kapita di masing-masing daerah. Tidak ada penjelasan rinci mengenai biaya hidup untuk anak maupun dewasa di dalam SBH 2012. Maka, angka biaya hidup per kapita dianggap setara untuk semua kelompok umur.
Editor: Windu Jusuf