tirto.id - Ahli geodesi Australia Achraff Koulali, pada 2016 lalu mempublikasikan temuannya tentang sesar aktif melintang sekitar 25 kilometer di selatan Jakarta, kepanjangan dari Sesar Baribis.
Sesar ini melintang dari Purwakarta, Cibatu (Bekasi), Tangerang, dan Rangkasbitung. Jika ditarik lurus dari Cibatu ke Tangerang, secara kasar sesar ini melewati beberapa kecamatan di Jakarta seperti Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo, dan Jagakarsa.
Pakar geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Danny Hilman Natawidjaja menyebut riset Koulali ini valid.
Namun, menurutnya, Sesar Baribis ini belum banyak yang meneliti. “Jadi [yang ada] masih yang Koulali itu yang dari GPS, detailnya belum,” ujar Danny kepada Tirto di kantor LIPI, Selasa (2/10/2018).
Selain metode yang digunakan Koulali, menurut Danny, sejarah gempanya akan mulai dipelajari juga. “Saat ini ada beberapa teman yang sudah meneliti, tapi kita belum buat summary-nya, belum kita diskusikan, dan belum kita publikasi.”
Danny mengatakan, pemerintah sudah meminta untuk melakukan studi terkait Sesar Baribis. Ia tidak menjelaskan kapan pastinya penelitian akan dilakukan.
Ia mengatakan dalam waktu beberapa tahun ke depan, rencananya tim dari Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) yang terdiri dari berbagai tenaga ahli gempa dari berbagai instansi akan mulai penelitian. Organisasi yang terkait ialah BMKG, LIPI, Badan Geologi, ITB, UGM, dan instansi yang punya peneliti gempa.
Sejarah Membenarkan Ancaman itu
Riset sejarah dan simulasi dilakukan Ngoc Nguyen serta timnya untuk menemukan dugaan kuat dua gempa besar di Jakarta pada 1780 dan 1834, yang berpusat dari Sesar Baribis.
Gempa pada 22 Januari 1780 disebut sebagai gempa terbesar yang pernah terjadi di Jawa. Kekuatannya mencapai 8,5 skala Richter. Getarannya terasa di seluruh Jawa dan Sumatera bagian selatan.
Riset sejarah Alfred Wichmann, ahli geologi Hindia Belanda, menyebut guncangan gempa membuat Batavia porak-poranda, 27 gudang dan rumah runtuh di kanal Zandzee dan Moor.
Setelah gempa, ledakan dahsyat berlangsung selama dua menit dari Gunung Salak. Gempa juga memompa Gunung Gede berdahak.
Simulasi skenario Nguyen menemukan, ketika gempa terjadi, seluruh wilayah Depok, sebagian Tangerang Selatan, beberapa Kecamatan di Jakarta seperti Jagakarsa, Pasar Rebo, Ciracas, dan Cipayung, serta sebagian daerah Bogor utara (dari Cibinong, Parung, Parung Panjang) terguncang cukup parah dengan skala Mercalli X.
Artinya, jika gempa tahun 1780 terjadi sekarang, wilayah di atasnya bakal rusak parah, rangka rumah seketika reyot dan bangunan retak, pondasi sedikit berpindah, pipa-pipa di dalam tanah putus.
Pada gempa kedua, 10 Oktober 1834, Javasche Courant mengabarkan guncangan parah terjadi di Batavia, Banten, Karawang, Bogor, dan Priangan pada pagi buta. Gemetar tanah terasa hingga Tegal dan Lampung bagian barat. Kekuatan gempa diprediksi sekitar 7 Skala Richter (SR).
Gempa merusak bangunan vital di Het Groot Huis (Istana Gubernur Jenderal) di Sawah Besar Batavia. Sebagian Istana Bogor ambruk. Kerusakan terparah dilaporkan di Cianjur: mayoritas bangunan roboh.
Beda dari gempa 1789, getaran gempa 1834 tidak mengarah ke arah barat tetapi lebih condong ke arah Bekasi, Karawang, dan Jonggol. Meski tidak dihantam skala intensitas Mercalli X seperti gempa 1780, kondisi Jakarta tetap rawan jika dua gempa ini menggeliat dari dalam perut bumi sekarang, yang bisa mencapai skala VIII.
Jika divisualisasikan, gempa ini berpotensi menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat; retakan pada konstruksi bangunan kurang baik; dinding lepas dari rangka rumah; cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh; serta air menjadi keruh. Daya rusak ini sama seperti gempa di Banda Aceh 2004 dan Yogyakarta 2006.
Jika dibayangkan terjadi pada kondisi sekarang, dengan pemukiman berkembang lebih padat dan jumlah penduduk melimpah, potensi pengungsi pada gempa tahun 1780 itu berkisar 50 juta orang dan gempa tahun 1834 mencapai 62 juta orang pada hari ini. Artinya, efek gempa tergolong sangat dahsyat karena sanggup membuat sepertiga penduduk Jawa yang berjumlah 162 juta kehilangan rumah.
Dan, bagaimana jika dihitung berdasarkan jumlah korban?
Kekuatan gempa tahun 1780 ditaksir bisa membunuh 34.000 orang dan gempa tahun 1834 menelan 40.000 korban jiwadalam kondisi sekarang.
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Maya Saputri