Menuju konten utama

20 Tahun Java Jazz: Selalu Menarik dan Bisa Lebih Baik

Festival ini tidak membatasi diri dengan eksklusivitas hanya melibatkan musisi bergenre jazz.

20 Tahun Java Jazz: Selalu Menarik dan Bisa Lebih Baik
Penyanyi asal Inggris, Jacob Collier membawakan lagu pada acara Jakarta International BNI Java Jazz Festival (JJF) di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Jumat (30/5/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nym.

tirto.id - Memperingati usia dua dekade, titel festival jazz terbesar di Asia Tenggara yang disandang Java Jazz Festival kembali ditegaskan. Perhelatan dalam rangka perayaan usianya yang tidak tergerus perkembangan industri musik serta kehadiran festival musik lainnya, menekankan pencapaian eksklusif yang tidak terbantahkan dari Java Jazz Festival.

Bagi Dewi Gontha, Presiden Direktur Java Jazz Festival, festival musik ini bukanlah sekadar hiburan. Java Jazz, ujar Dewi, menyasar sebagai bagian dari industri musik itu sendiri.

“Kita bukan hanya jualan tiket dan menjadi hiburan, kita itu inginnya industri berkembang, dan kita menjadi bagian dari perkembangan tersebut,” kata Dewi pada konferensi pers kedua Java Jazz di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (28/5/2025) lalu.

Namun seiring dua puluh tahun berjalan, Java Jazz menghadirkan berbagai kebaruan dalam setiap pagelarannya. Festival ini tidak membatasi diri dengan eksklusivitas hanya melibatkan musisi bergenre jazz.

Dalam konferensi pers yang sama, Dewi menjelaskan bahwa genre jazz memiliki banyak turunan. Hal inilah, lanjut Dewi, yang mendorong kolaborasi Java Jazz Festival dengan lebih banyak penampil.

Baik musisi dari dalam negeri maupun luar negeri, Java Jazz Festival memberikan kesempatan penontonnya untuk menikmati musik yang lebih beragam. Diversitas ini, kata Dewi, merupakan strategi promosi sekaligus media untuk talenta para musisi.

“Kita tetap beranggapan bahwa musisi asing adalah ambassador adalah musisi yang mempromosikan festival kita di luar, musisi indonesia juga yang kita harap terus menyuarakan adanya Java Jazz sebagai sebuah media untuk membahas talenta mereka,” tambah dia.

Tantangan Dua Dekade Java Jazz

Java Jazz Festival 2025 diberitakan melibatkan setidaknya sampai dengan 1.000 musisi. Namun sayangnya, bagi penonton lama, angka tersebut tidak memberikan pengalaman yang sama.

Menurut Sari, salah satu penonton Java Jazz, kemeriahan Java Jazz Festival tahun ini tidak lebih ramai dari yang diingatnya. Kendati kali terakhir ia menonton adalah sebelum pandemi Covid-19, Sari mengungkapkan bahwa festival ini tidak lebih meriah dari yang saat itu dihadirinya.

“[Penontonnya] lebih sedikit kali ini, dulu lebih ramai. Artisnya juga dulu lebih banyak yang luarnya,” kata Sari saat tengah menunggu panggung Snarky Puppy, Minggu (1/6/2025).

Menelusuri ingatannya, Sari mengatakan bahwa barang kali alasannya adalah lebih banyaknya penyanyi bergenre pop yang membaur dalam festival ini. Sebab, ia mengingat para musisi yang tampil pada Java Jazz Festival sebelumnya merupakan musisi ternama dari genre jazz.

Pengalaman Sari merupakan pertanyaan sama yang selalu diterima Java Jazz setiap tahunnya. Setiap dihelat, saat itu juga Java Jazz akan dipertanyakan: kenapa ada musisi yang bukan jazz mengisi panggungnya?

Tirto pernah menjawab pertanyaan ini, bahwa pertunjukan musik haruslah luwes dan tidak terpaku. Sebuah festival jazz tidak melulu harus mengundang musisi jazz, yang selanjutnya dinyatakan sama oleh penyelenggara Java Jazz.

Bahwa ada keberagaman dalam industri musik yang layak ditampilkan, bahkan melalui panggung Java Jazz. Kesempatan ini, Dewi menjelaskan, dipandang sebagai sebuah “pintu masuk” bagi mereka yang tidak akrab dengan musik jazz sebelum Java Jazz.

Selain itu, faktor ini dapat disebabkan oleh keterlepasan Sari dalam mengikuti industri musik beberapa waktu ini. Ia mengakui, kedekatannya dengan festival terdahulu disebabkan oleh pengetahuannya kala itu. “Sekarang udah enggak terlalu mengikuti, tapi zaman dulu lebih tahu. Jadi, tahunya yang lama-lama,” sambung dia.

Namun demikian, pengalaman Sari menekankan tantangan yang melekati Java Jazz dalam dua dekade perjalannya: perlu ada titik tengah yang menarik bagi mereka yang telah lama menyukai jazz dan baru ingin mengenalnya.

Tetap Menarik untuk Mereka yang Awam

Berbeda dengan Sari, penonton yang mengunjungi Java Jazz Festival untuk kali pertama mengakui memberikan nilai yang cukup puas. Kali ini, seperti yang diharapkan, gelaran jazz tetap menarik meskipun tidak tahu tentangnya.

Bagi Mega, yang kemudian diketahui datang sebab ketertarikan pasangannya terhadap musik jazz, Java Jazz menawarkan pengalaman festival musik yang berbeda dengan festival yang biasa ia datangi.

“Kesannya festival yang rapi, hall yang banyak. Festival yang rapi, bukan berarti enggak rame, tapi rapi aja,” kata Mega sembari menyaksikan Teddy Adhitya yang tengah mengisi panggung spesial 20 Tahun Java Jazz.

Mega mengatakan datang khusus untuk hari puncak Java Jazz. Keputusan itu, meskipun belum pernah hadir pada pagelaran ini, meninggalkan memori yang berkesan dengan penataan festival musik yang nyaman dinikmati.

“Mungkin karena ke-filter yang nonton dan harga tiketnya [cenderung lebih mahal],” ujarnya memberikan alasan.

Sementara bagi Naufal, adanya banyak pilihan musisi dari panggung-panggung Java Jazz Festival menjadi sebuah nilai lebih. Ia menilai, penonton diberikan pilihan untuk menikmati sajian musik dengan gayanya masing-masing.

“Menarik sih. Ini juga ada musisi populer jadi menarik untuk didengerin,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait JAVA JAZZ atau tulisan lainnya dari Shofiatunnisa Azizah

tirto.id - Musik
Penulis: Shofiatunnisa Azizah
Editor: Nuran Wibisono