Menuju konten utama

18.800 Penyandang Disabilitas Psikososial Hidup Dipasung

Penanganan bagi penyandang disabilitas psikososial masih menjadi masalah bagi beberapa orang karena kerap menggunakan cara pemasungan.

18.800 Penyandang Disabilitas Psikososial Hidup Dipasung
Petugas memandikan penderita gangguan jiwa berinisial FN usai dilepaskan dari pasungan di Desa Pehwetan, Kediri, Jawa Timur, Rabu (5/4/2019). Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur membebaskan sejumlah penderita gangguan jiwa guna mesukseskan target Indonesia bebas pasung 2019. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww/17.

tirto.id - Permasalahan pasung kepada orang-orang dengan disabilitas psikososial kembali disoroti. Isu ini menjadi topik dalam sebuah pameran “Mereka yang Dilupakan” yang diadakan Komnas HAM, Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI), dan Human Right Working Group (HRWG) di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Pameran tersebut dibuka dengan film yang menunjukan adanya seorang pria dengan kaki yang diikat menggunakan rantai besi. “Tahukah kamu, ini tidak baik,” ujar pria tersebut sembari menunjukan pergelangan kaki yang terluka akibat rantai.

Selain itu, ada pula seorang perempuan yang mengisahkan bahwa dirinya sempat dibotakkan. "Sudah dua kali dibotakin. Gak boleh nolak," ujarnya.

Perempuan yang lain pun mengatakan bahwa dirinya pernah dilecehkan. "Saya sudah bilang ke dokter, saya enggak gila loh. Pelecehan loh itu," ujarnya.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan bahwa perlakukan terhadap disabilitas psikososial memang masih cukup bermasalah. Contoh konkret yang ia beberkan yakni masih banyaknya pemasungan.

“Ini orang dipasung, ya dekat-dekat kami aja. Bisa aja itu tetangga atau orang di sekitar kita, dan dianggap biasa saja. Orang-orang disabilitas psikososial juga banyak di pinggir jalan, dibuang sama keluarganya, dan tak ada yang peduli. Bahkan membangun stigma dan bully, tidak menyadari bahwa kita sedang merendahkan martabat manusia lain,” jelas Taufan saat ditemui di YLBHI, Jakarta Pusat, pada Rabu (4/12/2019).

“Padahal mereka orang yang memiliki kebutuhan khusus shg perlu ada kebijakan yang afirmatif. Ini yang perlu kami ubah untuk me-review seluruh kebijakan,” lanjutnya.

Taufan pun menjelaskan bahwa sebenarnya pemerintah sudah mengambil langkah untuk meratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas Tahun 2011. Kemudian, pada tahun 2016, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 tentang Penyandang Disabilitas.

“Ada langkah maju sebetulnya, tetapi belum diikuti dengan upaya pemerintah secara serius untuk merevisi regulasi, peraturan termasuk program terkait dengan penyandang disabilitas. Paling khusus terkait dengan penyandang disabilitas psikososial, karena itu panti-panti seperti itu masih beroperasi,” jelas Taufan.

“Jadi langkah maju tadi dengan meratifikasi dan melahirkan UU Penyandang Disabilitas itu belum diikuti dengan langkah konkret baik nasional maupun daerah,” lanjutnya.

Deputi Direktur HRWG Daniel Awigra pun menyampaikan bahwa ada 18.800 penyandang disabilitas psikososial dipasung di Indonesia. “Yang tak banyak diketahui orang adalah bahwa pemasungan tersebut tidak hanya terjadi di rumah-rumah namun juga dilakukan di panti-panti sosial yang mendapat izin dari pemerintah,” ujarnya.

Karena itu, Daniel mendesak agar pemerintah bisa menyusun roadmap atau peta jalan yang dalam jangka pendek, melalui Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Tujuannya, untuk melakukan pengawasan secara berkala terhadap panti-panti di seluruh Indonesia untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas psikososial di panti-panti terpenuhi.

Selain itu, Daniel juga meminta agar pemerintah menyediakan perumahan rakyat yang dapat dijangkau oleh penyandang disabilitas psikososial sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara dalam menyediakan perumahan yang layak bagi mereka.

Baca juga artikel terkait LARANGAN PRAKTIK PEMASUNGAN atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Humaniora
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika