tirto.id - Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa, 17 September 2019. Salah satu poin yang berubah adalah komisi antirasuah diberikan kewenangan menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) jika penyidikan atau penuntutan tidak selesai dalam dua tahun sesuai Pasal 40.
Kewenangan itu menuai kritik karena dinilai berpotensi membuat kasus-kasus besar yang ditangani KPK akan berakhir dengan SP3. Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana bahkan menyebut SP3 dapat membuat perkara yang ditangani KPK berhenti di tengah jalan.
"Perkara-perkara besar yang selama ini ditangani oleh KPK akan sangat memungkinkan untuk dihentikan penanganannya," kata Kurnia, Rabu (18/9/2019).
ICW mengingatkan, perkara korupsi yang ditangani KPK memiliki perbedaan kompleksitas penanganan sehingga tidak bisa disamaratakan. Apalagi narasi SP3 sudah berkali-kali ditolak dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2003, 2006, dan 2010.
ICW pun mengingatkan, esensi larangan SP3 adalah sebagai upaya agar penegakan hukum kasus korupsi tetap berjalan.
"Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam mengkonstruksikan sebuah perkara agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan," kata Kurnia.
Menkopolhukam Wiranto menjawab alasan pemerintah menyetujui SP3 dalam revisi UU KPK. Menurutnya, pemerintah memberikan kewenangan baru ini demi kepastian hukum.
"Kami tidak mungkin menggantungkan status orang menjadi tersangka yang tidak jelas jangka waktunya, bahkan sampai mati, belum terbukti diadili, tapi masuk liang kubur sebagai tersangka KPK," kata Wiranto di Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Ruang Gelap bagi Pemberantasan Korupsi
Ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga (Unair) Iqbal Felisiano berpendapat, keberadaan SP3 justru berbahaya bagi KPK. Menurutnya penanganan perkara korupsi di KPK menjadi tidak hati-hati sehingga kemungkinan penegakan hukum tidak berhasil menghukum koruptor.
"Harapannya pada saat SP3 tidak diatur dalam Undang-Undang KPK, penyidik KPK akan sangat berhati-hati dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Itu desain awalnya. Pada saat diberikan seperti ini, ini bisa negotiable SP3-nya," kata Iqbal kepada reporter Tirto.
Iqbal menjelaskan, esensi SP3 dalam pidana umum terjadi karena ada alasan hukum seperti daluwarsa, tersangka meninggal, serta kurang bukti. SP3 diatur dalam Pasal 109 KUHAP.
Keberadaan SP3 memang dihadirkan demi memberikan kepastian hukum, tetapi sangat berdampak bagi penanganan kasus korupsi. Ia beralasan, korupsi dikategorikan serious crime dengan kompleksitas tinggi. Sebab para pihak cenderung mempunyai status sosial tinggi yang berpotensi punya akses ke barang bukti sehingga potensial menyulitkan penjeratan koruptor.
"Ini hal yang berbeda dengan tindak pidana korupsi. Subjeknya sudah beda, perkaranya beda, orangnya beda jadi tidak bisa main-main dengan alat bukti," kata Iqbal.
Iqbal menerangkan, penegak hukum lain seperti polisi dan kejaksaan memang bisa menerbitkan SP3. Namun, ruang tersebut membuat tingkat kesuksesan dua penegak hukum dalam memproses perkara tidak optimal.
Selain itu, kata Iqbal, informasi penerbitan SP3 yang minim juga menjadi kekhawatiran pegiat antikorupsi.
Data mengenai SP3 perkara korupsi memang tergolong minim. Berdasarkan penelusuran digital yang dilakukan Tirto,ICW sempat merilis data perkara SP3 di kepolisian dan kejaksaan.
Pada 2001-2004, kejaksaan sempat mengeluarkan SP3 untuk 17 kasus, salah satunya kasus Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petrogas yang melibatkan mantan Menko Perekonomian Ginandjar Kartasasmita. Sementara data penerbitan SP3 perkara korupsi di kepolisian sulit ditelusuri. Oleh sebab itu, keberadaan KPK penting demi memberikan kepastian hukum.
"Jadi gini, hubungan korelasinya enggak ada SP3, KPK hati-hati sehingga proses penuntutannya berhasil terus," kata Iqbal.
Dia juga menambahkan: "di satu sisi harus kita lihat secara objektif bisa memberikan semacam kepastian hukum kepada seorang tersangka, tapi di sisi lain itu juga akan menimbulkan pelemahan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi," kata Iqbal.
Iqbal menerangkan, SP3 tidak serta-merta menghilangkan unsur pidana. Ia mencontohkan, seseorang yang meninggal tidak berarti penuntutan korupsinya berhenti sesuai Pasal 109 KUHAP. Negara bisa menuntut kepada keluarga tersangka dengan mekanisme perdata sesuai Pasal 32 UU Tipikor.
Di sisi lain, Iqbal khawatir keberadaan SP3 di KPK bisa mengarah pada upaya di luar hukum. Ia beralasan, citra tokoh publik bisa hancur karena disebut melakukan korupsi, apalagi dijerat oleh lembaga yang dianggap kredibel.
"Saya bukan orang politik, tapi apakah bisa dijadikan alat untuk itu (kepentingan politik) ya punya potensi dimanfaatkan ke sana," kata Iqbal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz