Menuju konten utama

Waspada Terjadinya Gangguan Kognitif karena Cedera Kepala

Cedera kepala yang bisa menyebabkan gangguan kognitif pada dasarnya bervariasi dan bisa diperkirakan dari derajat cedera kepala dan lokasi benturan.

Waspada Terjadinya Gangguan Kognitif karena Cedera Kepala
Ilustrasi sakit kepala.FOTO/Istockphoto

tirto.id - Pernahkah Anda terjatuh saat mengendarai motor, bersepeda atau bahkan saat berjalan dan mengalami benturan pada kepala?

Benturan pada kepala itu bisa jadi menyebabkan terjadinya cedera kepala. Dilansir dari laman Healthline cedera kepala adalah segala jenis cedera pada otak, tengkorak, atau kulit kepala Anda.

Cedera kepala ini bisa berkisar dari benjolan ringan atau memar hingga cedera otak traumatis.

Cedera kepala yang umum termasuk gegar otak, patah tulang tengkorak, dan luka kulit kepala.

Konsekuensi dan perawatannya sangat bervariasi, tergantung pada apa yang menyebabkan cedera kepala Anda dan seberapa parahnya.

Cedera kepala bisa tertutup atau terbuka. Cedera kepala tertutup adalah cedera yang tidak mematahkan tengkorak Anda.

Cedera kepala terbuka (tembus) adalah cedera di mana ada sesuatu yang merusak kulit kepala dan tengkorak Anda dan memasuki otak Anda.

Sulit untuk menilai seberapa serius cedera kepala hanya dengan melihat. Beberapa luka ringan di kepala banyak mengeluarkan darah, sementara beberapa luka besar tidak berdarah sama sekali. Penting untuk menangani semua cedera kepala dengan serius dan memeriksakannya ke dokter.

Dokter di RSUD Koja, Tanjung Priok, Eufrata Silvestris Junus juga mengatakan, saat Anda mengalami benturan dan mengakibatkan cedera kepala sebaiknya Anda harus mewaspadainya.

Sebab hal tersebut bahkan bisa saja menyebabkan Anda mengalami gangguan kognitif.

"Benjolan di kepala akibat cedera ringan bisa disebabkan memar hanya pada bagian kulit kepala dimana bagian dalam otak tidak ada masalah, jika ini yang terjadi resiko gangguan kognitif bisa dibilang kecil," kata dia dilansir dari Antara.

Secara umum cedera kepala menurut Brain Injury Association of America yakni suatu kerusakan pada kepala yang sifatnya bukan kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan serangan atau benturan fisik dari luar.

Kondisi ini dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif serta fungsi fisik jangka panjang seperti berkurangnya kemampuan berpikir, demensia, stroke, parkinson, dan berhubungan dengan meningkatnya angka kematian jangka panjang.

Cedera kepala yang bisa menyebabkan gangguan kognitif pada dasarnya bervariasi dan bisa diperkirakan dari derajat cedera kepala dan lokasi terjadinya benturan.

Pada cedera kepala kategori sedang dan berat umumnya memiliki resiko gangguan kognitif yang lebih besar dari cedera kepala ringan.

Sementara untuk lokasi cedera, jika terjadi pada bagian lobus frontal (bagian otak besar yang terletak di sisi depan otak) maka risiko gangguan kognitif yang berat lebih mungkin terjadi karena di sanalah proses kognitif paling besar.

Dari sisi kerusakan saraf yang bisa terjadi, secara umum terbagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.

Cedera kepala primer yang disebabkan benturan langsung pada kepala bisa menyebabkan cedera atau perdarahan otak bagian dalam hal ini terjadi seketika saat benturan terjadi.

Sementara cedera kepala sekunder merupakan efek dari kejadian primer yakni cedera atau perdarahan otak menyebabkan asupan makanan ke otak seperti oksigen terganggu.

"Jika hal (cedera sekunder) ini dibiarkan maka akan menyebabkan kerusakan otak semakin besar. Ada kalanya efek dari cedera sekunder ini baru tampak berbulan bulan atau bahkan bertahun tahun kemudian," tutur Eufrata yang menjadi bagian dari Tim Pelayanan COVID-19 RSUD Koja.

Cedera karena berkendara dan pentingnya helm

Eufrata menuturkan, manifestasi cedera kepala sangat bervariasi tergantung kompleksitas dari kepala itu sendiri dan mekanisme cedera yang terpengaruh dari tipe, intensitas, arah dan durasi kekuatan tekanan dari luar yang menyebabkan cedera kepala.

Pada cedera kepala akibat dari kecelakan berkendara kekuatan akselerasi dan deselerasi misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan serabut saraf penghubung atau memicu hilangnya konektivitas secara progresif seiring waktu.

Manifestasi yang mungkin terjadi antara lain robeknya kulit kepala, patah tulang tengkorak, dan perdarahan pada otak.

Lebih lanjut, cedera kepala mewakili senilai 30-40 persen kecelakaan yang menyebabkan kematian.

Sementara cedera saraf akibat insiden ini diproyeksilan menjadi penyebab kecacatan dibandingkan dengan penyakit saraf sampai dengan 2030 atau 2-3 kali lebih tinggi dibandingakan dari kontribusi penyakit alzheimer atau gangguan pembuluh darah otak.

Berdasarkan data, insidensi cedera kepala akibat berkendara ini lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda di negara berkembang.

Di Indonesia, merujuk pada Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018, proporsi cedera kepala di Indonesia sebesar 11,9 persen yang menduduki peringkat 3 terbanyak di bawah cedera anggota gerak bawah dan anggota gerak atas.

Guna menghindari terjadinya cedera kepala saat berkendara (sepeda motor), para pakar kesehatan menyarankan penggunaan helm.

Alat ini memberikan perlindungan dari cedera kepala dengan cara menyerap energi benturan dan menyebarkan dan memindahkan gradien puncak dari efek benturan ke area permukaan kepala yang lebih besar sehingga area benturan tidak terlokalisir pada satu bagian.

"Memang penggunaan helm bukan berarti akan membuat aman 100 persen jika terjadi kecelakaan lalu lintas tetapi pemakaian helm sekiranya dapat meminimalisir dampak langsung benturan kepada kepala," kata Eufrata.

Helm seperti apa yang disarankan?

Eufrata mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2006 menyebutkan, helm yang baik untuk berkendara salah satunya dari sisi material tidak boleh mengalami perubahan signifikan karena umur atau penggunaan normal.

Kemudian, material yang bersinggungan langsung dengan badan manusia harus non-toksik dan tidak mengakibatkan alergi serta terdapat pelindung cahaya (visor) dan pelindung muka bagian bawah (lower face cover).

Helm juga sebaiknya tidak menimbulkan bahaya bagi si pemakai karena mempengaruhi kemampuannya untuk mendengar atau melihat (kehilangan kemampuan pendengaran atau penglihatan) dan mengakibatkan temperatur dalam rongga di antara kepala dan kulit helm meningkat secara tidak normal.

Untuk mencegah hal ini dapat dibuat lubang ventilasi pada helm tersebut.

Terakhir, helm harus dapat dipasang dengan baik dan tidak bergeser dengan menggunakan sistem pengikat yang ditempatkan dibagian bawah dagu.

"Semua komponen pengikatan ini harus terpasang secara permanen pada helm. Tali pengikat pada dagu harus dapat diatur panjangnya dan dipasang dengan sistem pengunci," demikian pesan Eufrata.

Baca juga artikel terkait CIDERA KEPALA atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH