tirto.id - Serah terima amplop berisi uang tunai telah menjadi rahasia umum menjelang pencoblosan pemilu. Kita mengenalnya dengan istilah serangan fajar, bentuk politik uang yang mengakar dalam palagan elektoral.
Pesta demokrasi yang seharusnya menjadi ajang rakyat memilih calon pemimpin dengan suara hati, justru diwarnai praktik kotor yang dianggap lumrah.
Temuan Survei Litbang Kompas pada Januari 2023, sekitar 36,5 persen dari 505 responden menyatakan pernah mengetahui ataupun mengalami secara langsung pemberian uang yang dilakukan oleh kontestan pemilu.
Sebanyak 21,9 persen responden mengaku mengambil uang namun tetap memilih dengan hati nurani. Sementara 2,3 persen responden menyatakan mengambil uang yang diberikan dan memilih sesuai dengan permintaan si pemberi.
Temuan ini menunjukkan bahwa paparan politik uang atau serangan fajar di Pemilu 2024 besar kemungkinan juga terus terjadi.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai serangan fajar atau bagi-bagi uang jelang pencoblosan tidak efektif dalam menentukan kemenangan.
Hal ini sejalan dengan temuan survei yang menunjukkan bahwa penerima serangan fajar justru banyak melabuhkan suara untuk kontestan lain.
“Ternyata dalam catatan survei banyak yang melakukan itu dan tetap tidak terpilih. Serangan fajar juga tidak identik dengan sehari sebelum [pencoblosan], ini sudah dilakukan beberapa hari sebelum pencoblosan kalau kandidat itu sudah punya jejaring pemilih kuat dan nama-nama penerima sudah ada,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Selasa (13/2/2024).
Menurut Dedi, serangan fajar biasanya memiliki koordinator yang mengumpulkan penerima dan membagi-bagikan uang. Penyebaran uang juga bisa dilakukan jauh hari sebelum pencoblosan dengan meneken komitmen berupa nama dan tanda tangan.
“Di pemilu 2019 banyak kejadian sebaran uang itu tidak berhasil, karena misalnya sudah lebih dulu ditangani Bawaslu atau mungkin karena tidak cukup waktu,” tambah Dedi.
Dedi menyebut kontestan yang masih memakai politik uang sebagai seorang politikus yang malas. Karena, kata dia, mereka mengandalkan uang semata tanpa melakukan pendekatan langsung pada pemilih.
Masalah lain politik uang atau serangan fajar, yang melakukan pemberian di suatu wilayah tidak satu kontestan saja. Sehingga dalam catatan Dedi, lebih banyak pemberi uang yang dipilih adalah mereka yang melakukan serangan fajar paling terakhir meskipun uang yang diberikan kalah nominal.
“Money politic saya kira sulit dihindari karena dia marak dilakukan secara terselubung dan banyak motifnya. Mulai dari sebatas ucapan terima kasih, honor relawan, sebagai ongkos transportasi, jadi Bawaslu akan kesulitan. Yang bisa meredam politik uang adalah sistem politik,” ungkap Dedi.
Sementara itu, Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyebut politikus yang melakukan serangan fajar sebagai kontestan yang tidak percaya diri. Menurutnya, masih banyak pemilih yang permisif dan dengan mudah termakan rayuan serangan fajar.
“Kontestan yang memilih serangan fajar bisa jadi telanjur percaya dengan strategi itu dan tidak percaya diri dengan keterpilihannya. Pemilih sebenarnya punya kapasitas untuk menolak tindakan itu, namun dalam riset kami mereka cenderung menerima namun tidak mengganggu keputusan mereka,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Selasa (13/2/2024).
Serangan fajar berpotensi membuat para kandidat atau tim sukses yang melakukan politik uang diancam hukuman pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Disebutkan pada Pasal 523 ayat 1, 2, dan 3 bahwa sanksi pidana diberikan kepada setiap orang, peserta, pelaksana, maupun tim kampanye yang memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan pada pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, Wawan memandang meski ada ancaman pidana, bentuk aplikasi dan pelaksanaan di lapangan tidak sejalan dengan yang semestinya. Akhirnya, pelaku dan orang yang menerima merasa baik-baik saja, karena tidak ada upaya pidana yang betul-betul serius.
“Malah, ini sudah menjadi budaya bahkan beberapa orang menunggu masa-masa serangan fajar itu,” tutur Wawan.
Ancaman Pidana
Menurut Koordinator bidang hukum dan advokasi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Romi Maulana, ancaman pidana praktik serangan fajar dapat menjerat setiap orang yang membantu kontestan melakukan politik uang.
Berbeda saat masa kampanye dan masa tenang, kata dia, di mana ancaman pidana hanya dapat menjerat peserta, tim kampanye, dan tim pelaksana kampanye saja.
“Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 523 ayat (3) UU 7/17 tentang Pemilu dengan ancaman dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah),” kata Romi kepada reporter Tirto, Selasa (13/2/2024).
Penerapan politik uang dalam prakteknya berpotensi menumbalkan tim eksekutor alias orang yang membagikan uang kepada pemilih. Di sisi lain, hal ini merupakan bentuk cuci tangan politik para kontestan yang menjadi sumber politik uang.
“Maka diharapkan pada hari H setiap orang atau siapapun tidak terlibat dalam membagikan uang/serangan fajar kepada pemilih,” ujar Romi.
Dia menilai, politik uang masih masif dilakukan karena kontestan menganggap kesadaran pemilih belum kritis terhadap akibat dari praktek tersebut. Bahkan, masih banyak pemilih yang berharap ketika momen pemilu mendapatkan uang/barang atau materi lainnya dari para kontestan.
“Selain itu, uang, barang atau materi lainnya dinilai sebagai kebutuhan pemilih secara langsung oleh kontestan yang mempraktekannya dibandingkan dengan visi-misi dan program yang disampaikan,” ungkap Romi.
Serangan fajar biasanya dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah warga sebagai target pemilih dengan mengajak atau merayu melalui sejumlah nominal tertentu agar memilih kontestan tertentu.
Romi menilai, jika dilakukan di hari pencoblosan biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum TPS dibuka.
“Setelah itu pemilih dimobilisasi. Ada juga yang menggunakan mekanisme pascabayar, jadi tindakannya adalah berbentuk janji kepada pemilih, setelah selesai memilih, pemilih tersebut diberikan uang/barang atau materi lainnya oleh kontestan atau pendukungnya yang mempraktekan politik uang,” terang Romi.
Cara untuk mengantisipasinya, kata dia, dengan membangun kesadaran kritis pemilih untuk menilai bahwa politik uang adalah bentuk kejahatan pemilu dan dapat berakibat buruk pada pemerintahan lima tahun mendatang.
Dengan kesadaran tersebut, pemilih dapat menolak politik uang dan melaporkan kepada pengawas pemilu bahwa di daerahnya sedang ada praktik lancung tersebut.
“Selain itu, pemilih dapat memperkuat pengawasan partisipatif terhadap praktik politik uang dan mendorong Bawaslu untuk melakukan patroli keliling terhadap daerah-daerah rawan praktek politik uang,” sebut Romi.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Lolly Suhenty, menyatakan pihaknya melakukan patroli untuk mengawasi serangan fajar dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Patroli tersebut sudah dilakukan sejak awal masa tenang kampanye pada Minggu (11/2/2024) lalu.
“Kami pakai patroli pengawasan. Sejak kemarin (Minggu) masa tenang patroli pengawasan sudah di-on kan, sehingga mereka bekerja 1x24 jam secara bergantian seluruh jajaran pengawas pemilu di seluruh level,” kata Lolly, di Gedung Bawaslu, Jakarta, Senin (12/2/2024).
Lolly mengimbau masyarakat menolak serangan fajar dari kontestan nakal pada Pemilu 2024. Lolly yakin jika semua pihak punya tujuan yang sama agar Indonesia lebih baik, seharusnya mampu menahan diri untuk tidak melakukan politik uang.
“Karena kalau sudah berlangsung, maka Bawaslu harus memprosesnya,” ujar Lolly.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi