Menuju konten utama

Vonis Janggal Bos Indaco Iwan Adranacus: Sudah Sejak Penyidikan

Iwan divonis 1 tahun penjara, padahal jaksa menuntutnya 5 tahun penjara.

Vonis Janggal Bos Indaco Iwan Adranacus: Sudah Sejak Penyidikan
Terdakwa kasus pembunuhan Iwan Adranacus (mengenakan rompi oranye) bersama majelis hakim sedang melihat barang bukti mobil Mercedes Benz yang digunakan untuk menabrak korban saat persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta, Kamis (29/11/2018). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Iwan Adranacus divonis 1 tahun penjara, Selasa sore (29/1/2019). Bos Indaco itu dinyatakan bersalah karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan subsider Pasal 311 Ayat 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas.

"Menjatuhkan pidana penjara oleh karena itu selama satu tahun," kata Ketua Majelis Hakim Krosbin Lumban Gaol saat membacakan vonis dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta.

Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surakarta yang menuntutnya 5 tahun penjara dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan yang disengaja.

Dalam putusannya, majelis hakim tak sependapat dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa. Walhasil, pasal yang dipakai hanya pasal 311 bukan Pasal 338 KUHP ataupun Pasal 351 KUHP.

Kejanggalan Lain

Sebelum vonis 1 tahun dijatuhkan, kasus Iwan Adranacus bisa dibilang sebagai kasus yang ganjil. Kejanggalan dalam kasus ini mulai tampak sedari proses penyidikan yang seolah menyembunyikan tiga pria berbadan tegap bersama Iwan, padahal ketiganya punya andil dalam tabrakan yang menewaskan Eko Prasetio di samping Mapolresta Surakarta.

Ketiga pria itu adalah Dionisius Ndale, Leo Mentario, dan Nataliz Kraiz Dura. Dalam sidang, ketiganya pun absen. Mereka adalah orang yang disebut saksi di sekitar lokasi kejadian sebagai orang yang pertama ribut dengan Eko.

Namun, ketiga orang ini ternyata tak hadir dalam sidang. Kesaksian mereka hanya dibacakan jaksa berdasarkan berita acara pemeriksaan.

Kejanggalan lain muncul dalam pembacaan surat dakwaan. Poin yang tertulis dalam dakwaan setebal 7 halaman itu adalah: Jaksa menyebut pembunuhan dilakukan Iwan terhadap Eko Prasetio, saat itu mengendarai motor Honda Beat AD 5435 OH, dengan cara menabrakkan mobil yang dikendarai Iwan dengan Mercedes-Benz pelat AD 888 QQ.

Bagi Sigit Sudibyanto, yang saat itu masih menjadi penasihat hukum keluarga Eko Prasetio, dakwaan itu tidak menjelaskan Eko tewas dilindas ban mobil Iwan. Ia mengaku kecewa dengan surat dakwaan dari Jaksa.

"Karena tidak muncul peristiwa ketika terdakwa itu menggilas kepala korban [dengan mobil]. Hanya menabrak dan terdakwa melarikan diri. Hasil rekonstruksi jelas, ban mobil sebelah kiri belakang itu sudah menggilas kepala korban,” kata Sigit seusai pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Surakarta, 6 November 2018.

Kejanggalan lain muncul saat menjelang pembacaan tuntutan. Dua kali, JPU dari Kejaksaan Negeri Surakarta menunda pembacaan tuntutan hingga sidang terus molor. Penundaan sidang ini punya alasan yang sama: tuntutan belum siap.

Jaksa sering menghindar saat ditanya wartawan soal alasan penundaan. Mereka menolak memberi komentar apa pun usai sidang. Ini janggal lantaran pada sidang-sidang sebelumnya, jaksa selalu mengatakan yakin atas pembuktian dakwaan.

Infografik HL Indepth Mercy Solo

Infografik HL Indepth Mercy Solo Kronologi

Vonis Terlalu Ringan

Kejanggalan-kejanggalan ini muncul dalam sidang vonis. Hakim memutus perkara ini dengan hukuman 1 tahun, padahal jaksa menuntutnya 5 tahun.

Vonis ini dianggap janggal. Akademisi Hukum dari Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan menilai bahwa hakim seharusnya mengambil vonis terberat lantaran tindakan Iwan mengakibatkan Eko Prasetio tewas.

“Kalau ancaman 12 tahun tapi hanya dihukum satu tahun artinya hanya satu per dua belas, satu tahun itu terlalu ringan,” kata Agustinus kepada reporter Tirto, Selasa petang.

Menurut Agustinus, pasal yang dipakai hakim buat menghukum Bos Indaco itu selaiknya hanya dipakai buat pengendara yang ugal-ugalan. Ini dinilai janggal lantaran dalam persidangan terungkap pelaku mengejar dan menabrak korban karena marah.

“Perbuatan itu cocoknya menggunakan pasal alternatif seperti pasal 338 KUHP atau setidaknya mengenai pasal penganiayaan yang menimbulkan kematian (Pasal 351 KUHP),” kata Agustinus.

====

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Fahri Salam