Menuju konten utama

Air Mata dan Fakta yang Hilang dalam Dakwaan Iwan Adranacus

Penasihat hukum korban kecewa karena surat dakwaan tidak memasukkan peristiwa saat terdakwa menggilas kepala korban dengan mobil.

Air Mata dan Fakta yang Hilang dalam Dakwaan Iwan Adranacus
Iwan Adranacus mengenakan rompi tahanan dan diborgol saat mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Surakarta, Selasa (6/11/2018). (tirto.id/Irwan A. Syambudi).

tirto.id - Sidang perdana kasus dugaan pembunuhan Eko Prasetio dengan terdakwa Iwan Adranacus digelar di Pengadilan Negeri Surakarta, Selasa (6/11/2018). Selain diwarnai pelukan dan air mata antara keluarga korban dengan terdakwa, sidang itu juga menyisakan kekecewaan.

Suharto, ayah mendiang Eko Prasetio telah memberi maaf kepada orang yang didakwa menghilangkan nyawa putranya. Ia memeluk erat Iwan Adranacus dengan berlinang air mata sebelum bos PT Indaco itu duduk di kursi pesakitan.

“Mungkin takdir anak saya meninggal seperti itu. Daripada saya ada beban, mudah-mudahan dengan saya memaafkan, saya akan plong," ujarnya.

Suharto mengaku spontan memeluk pembunuh sang anak. Dalam benaknya, ia hanya tidak ingin membalas kejahatan yang dilakukan terhadap putranya dengan rasa marah.

"Kejahatan dibayar dengan kebaikan. Mudah-mudahan Pak Iwan dan keluarganya menyadari dan mendapatkan hidayah dari Allah," katanya.

Meski begitu, Suharto tetap berharap proses hukum terus berjalan sebagaimana mestinya. Karena Iwan, kata dia, telah melanggar hukum. "[Proses] Hukum terus berjalan sebagai tanggung jawab dia terhadap perbuatannya," kata Suharto.

Kecewa Atas Surat Dakwaan

Sementara itu, Sigit Sudibyanto, penasihat hukum keluarga Eko Prasetio, kecewa dengan surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Titiek Maryani dan Satriawan Sulaksono. Isi dakwaan dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Krosbin Lumban Gaol itu, tidak sesuai harapan.

"Karena tidak muncul peristiwa ketika terdakwa itu menggilas kepala korban [dengan mobil]. Hanya menabrak dan terdakwa melarikan diri,” kata Sigit.

Sigit berharap, fakta itu dapat muncul saat pembuktian meski tidak disampaikan saat pembacaan dakwaan. Ini lantaran fakta tersebut menjadi bagian penting dalam kasus Iwan.

"Hasil rekonstruksi jelas, ban mobil sebelah kiri belakang itu sudah menggilas kelapa korban," ungkapnya.

Dalam surat dakwaan setebal tujuh halaman, jaksa hanya menyebut pembunuhan dilakukan Iwan terhadap Eko Prasetio dengan cara menabrakan mobil.

"Terdakwa langsung menabrakkan dari arah belakang bagian depan kiri mobil yang dikendarai terdakwa ke bagian kanan motor yang dikendarai korban Eko, sehingga terjadi tubrukan yang keras yang menyebabkan korban Eko jatuh terhempas bersama dengan jatuhnya motor Honda Beat [pelat] AD 5435 OH sejauh sekitar dua meter dengan kepala korban Eko menghantam aspal Jalan KS Tubun dalam kondisi tengkurap,” kata Jaksa Titiek saat membaca surat dakwaan.

Surat dakwaan itu tidak menjelaskan Eko tewas dilindas ban mobil Iwan, seperti yang diungkapkan penasihat hukum keluarga korban.

"Terdakwa langsung kabur meninggalkan lokasi kejadian tersebut dengan melaju kencang menggunakan mobil yang dikendarainya ke arah utara Jalan KS Tubun," demikian Titiek melanjutkan surat dakwaan.

Akibat kejadian itu, korban meninggal dengan kondisi pecahnya tulang kepala akibat benda tumpul. Fakta ini sesuai hasil visum et repertum atau keterangan tertulis yang dibuat dokter forensik atas permintaan penyidik.

“Korban Eko Prasetio mengalami luka patah tulang lebih dari satu tempat dan mengalami rusaknya jaringan otak sehingga meninggal dunia sebagaimana hasil visum et repertum," kata Satriawan yang bergantian membacakan surat dakwaan.

Dalam sidang itu, Iwan Adranacus didakwa melanggar Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, subsidair Pasal 351 ayat (3) KUHP, tentang penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal dunia atau kedua Pasal 311 ayat (5) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.

Pada pasal yang disangkakan perkara Iwan tersebut, ancaman hukuman maksimal 15 tahun untuk Pasal 338 KUHP, dan atau maksimal tujuh tahun penjara Pasal 351 KUHP, dam maskimal 12 tahun penjara untuk Pasal 311 ayat (5) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009.

Infografik HL Indepth Mercy Solo

Fakta Persidangan Terus Berjalan

Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Surakarta Teguh Subroto mengatakan jaksa hanya mendakwa Iwan berdasarkan berkas perkara yang diberikan kepolisian. Ada tidaknya peristiwa Iwan melindas kepala korban, kata Teguh, nantinya dibuktikan di persidangan.

"Nanti kita lihat saja di persidangan. Kami mendakwa sesuai dengan berkas perkara," kata Teguh saat dihubungi reporter Tirto, kemarin.

Menurut Teguh, semua bagian yang ada dalam peristiwa bakal disampaikan sesuai dengan berkas perkara yang telah diterima Kejari, dan disesuaikan dengan agenda persidangan. Hanya saja, kata dia, dalam agenda sidang pertama pihaknya hanya membacakan surat dakwaan.

"Kan nanti disesuaikan dengan persidangan. Fakta persidangan itu berjalan. Kalau surat dakwaan itu hanya mendakwa, to? Mendakwa saja tentang perbuatannya yang disesuaikan dengan rekonstruksi dan sketsa gambar," dalih Teguh.

"Kalau di persidangan memang tukang becak itu [saksi] ngomong seperti itu. Itu kan nanti di [agenda sidang] tuntutan," kata Teguh menambahkan.

Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho mengatakan fakta korban dilindas mobil Iwan bisa semakin memberatkan terdakwa.

"Dalam konteks hukum [itu] beda, matinya dilindas dan tidak itu beda. Justru yang melindas itu yang memberatkan. Dengan dilindas itu sebagai faktor pemberat," kata Hibnu.

Hibnu menerangkan jaksa seharusnya menguraikan secara jelas kronologi pembunuhan Eko bila memang terdapat fakta korban dilindas. Jika fakta tersebut tapi tidak diuraikan jaksa, Hibnu berkata, hal itu patut dipertanyakan.

"Kalau ada dugaan penyalahgunaan surat dakwaan atau sistemnya, yang bersangkutan bisa melapor ke Komisi Kejaksaan karena itu yang akan mengawasi [...] Saya melihatnya itu fatal kalau tidak sesuai fakta," kata Hibnu.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih