tirto.id - Sudah dua kali sidang dengan agenda pembacaan tuntutan terhadap terdakwa Iwan Adranacus ditunda di Pengadilan Negeri Surakarta. Alasannya, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surakarta belum siap membacakan tuntutan untuk kedua kalinya, Kamis (13/12/2018).
Penundaan sidang ini menyisakan pertanyaan, lantaran jaksa dalam beberapa kesempatan, mengaku yakin dengan pembuktian dakwaan mereka. Dalam sejumlah kesempatan pula, Jaksa Satriawan Sulaksono dan Titiek Maryani menyebut motif terdakwa menabrak korban hingga tewas sudah cukup jelas.
Keyakinan tersebut salah satunya dikemukakan setelah membacakan keterangan tiga saksi yakni Dionisius Ndale, Leo Mentairo, dan Nataliz Kraiz Dura, Rabu, 21 November 2018.
Ketiga saksi adalah orang yang naik mobil Iwan sebelum terdakwa menggilas korban Eko Prasetio. “Tiga orang ini membuktikan motifnya. Sudah jelas terbukti motifnya bahwa ada kejadian yang memicu itu," kata Satriawan kala itu.
Namun keyakinan tim jaksa diuji tatkala memasuki sidang tuntutan. Waktu sepekan yang diberikan majelis hakim setelah sidang proses pembuktian rampung, nyatanya tak cukup bagi kedua jaksa menyusun tuntutan.
Pada sidang tuntutan yang sedianya digelar Kamis (6/12/2018), kedua jaksa beralasan berkas tuntutan belum selesai dibuat. Akibatnya sidang dimundur sepekan.
“Alasannya cuma satu, tuntutan belum siap," kata JPU Titiek Maryani usai Ketua Majelis Hakim Krosbin Lumban Gaol mengetuk palu memutuskan sidang ditunda saat sidang di Pengadilan Negeri Surakarta, Kamis pekan lalu.
Ketua Majelis Hakim kemudian menetapkan sidang tuntutan mundur Kamis (13/12/2018). Lagi-lagi, sidang itu urung digelar dengan alasan yang sama: tuntutan belum siap. Sidang pun bakal diundur hingga Selasa, 8 Januari 2019.
Berbeda dengan persidangan sebelumnya, dua jaksa yang biasanya memberi komentar saat ditanya jurnalis, kini mereka mulai menghindar. Mereka enggan memberi komentar apa pun terkait penundaan sidang.
Jaksa Tak Patuh
Guru Besar Bidang Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Profesor Hibnu Nugroho menyebut penundaan sidang tuntutan hingga dua kali sebagai sebuah bentuk ketidakpatuhan asas cepat di dalam peradilan.
“Karena asas cepat itu, kan, begitu sidang pembuktian selesai, langsung persiapan penuntutan. Lah, ini, kan, ngulur-ngulur,” kata Hibnu kepada reporter Tirto.
Dampak secara sosiologis dari penundaan ini, kata Hibnu, bisa saja menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap persidangan. Selain itu juga bisa mempengaruhi masa penahanan terdakwa.
Namun, Hibnu menegaskan, penundaan sidang adalah hal biasa. Hanya saja, kata dia, penundaan ini mengindikasikan ada keraguan dari jaksa dalam menyusun tuntutan.
"Bisa jadi [JPU] tidak yakin [...] Karena kalau sudah penuntutan itu kan mengkonstruksikan. Konstruksi yang tepat itu seperti apa? Keraguan konstruksi hukum untuk menuntut yang tepat, pasal berapa yang pas. Saya kira itu bisa dimengerti." katanya.
Potensi Kongkalikong
Sementara itu, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan menilai penundaan sidang tuntutan dapat disebabkan berbagai hal. Salah satunya karena proses birokrasi yang belum selesai di Korps Adhyaksa.
Untuk kasus besar, kata Choky, jaksa diharuskan mendapat persetujuan atasan dalam menyusun tuntutan. Prosedur demikian biasanya terjadi untuk kasus yang menyita perhatian publik.
“Kalau kasusnya menyita perhatian masyarakat banyak [persetujuan] bisa naik ke Kejati atau bahkan sampai ke Kejagung,” kata lelaki yang juga mengajar di FH UI ini kepada reporter Tirto.
Proses birokrasi semacam itu berkali-kali dipertanyakan Mappi. Ini berkaitan dengan relevansi dan efektivitas proses hukum, apalagi yang memahami kasus adalah jaksa yang bertugas.
Pada sisi lain, Choky menilai birokrasi panjang ini berpotensi memunculkan praktik lancung jual beli kasus antara jaksa dan terdakwa. “Kemungkinan [kongkalikong] pasti akan selalu ada,” kata dia.
Namun, Choky tak menuding jaksa bermain dalam kasus ini.
Menurut dia, sejauh ini belum ada indikasi yang menyiratkan jual beli sudah berlangsung. Kongkalikong kasus umumnya bisa dilihat dari perbedaan mencolok antara dakwaan dan tuntutan, serta pengabaian fakta persidangan.
“Biasanya tuntutan itu [berbentuk] rentang [tahun]. Misalnya kasus pembunuhan dihukum penjara maksimal 15 tahun, berarti kan JPU punya rentang 0-15 tahun penjara untuk menuntut terdakwa tersebut. Dan lamanya itu bisa ditransaksikan,” ujarnya.
Iwan Minta Keadilan
Secara terpisah, penasihat hukum Iwan Adranacus, Joko Haryadi mengaku sabar menunggu. Ia menyebut penundaan pembacaan tuntutan adalah hak JPU.
“Kami menghormati putusan tersebut,” katanya.
Joko berharap tuntutan jaksa sesuai fakta yang terjadi di persidangan. Sehingga, tidak memberatkan dari klien mereka.
Harapan itu juga diungkapkan Iwan Adranacus. “Saya minta keadilan yang seadil-adilnya,” kata bos indaco yang didakwa melindas Eko hingga tewas dengan sengaja itu.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Mufti Sholih