tirto.id - Pekan lalu tagar SellerAsingBunuhUMKM menggema di jagat Twitter. Pemicunya adalah para penjual daring yang disebut Mr. Hu leluasa menggelar lapak di marketplace lokal Shopee. Mereka diduga menjual barang yang berasal dari Cina dengan harga lebih murah dari produk serupa yang dijajakan penjual lokal.
Salah satu akun yang mempopulerkan tagar ini adalah Rudi Valinka atau @kurawa. Pada 17 Februari 2021, Rudi mengunggah foto tangkapan layar bukti transaksi. Dalam foto tersebut barang yang dipesan memang tak dikirim dari toko di Indonesia.
Salah satu Mr. Hu yang dimaksud adalah akun bernama bz_store.id. Harga yang ditawarkan memang sangat murah. Misalkan saja produk 'Micro Sdxc Ultra 256gb Sandisk 100mb / S Ultra Tf Card Dengan Adapter Class 10' yang dijual dengan harga Rp19.998 - Rp79.998. Sementara produk serupa yang dijual seller lokal yang terletak di Jakarta Utara dibanderol Rp95 ribu-Rp256 ribu.
Dengan perbedaan harga sejauh itu, dapat dipahami mengapa pelaku e-commerce lokal resah.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) langsung ambil langkah cepat meminta klarifikasi kepada Shopee. Shopee mengakui memang ada seller asing yang berjualan, namun porsinya sangat kecil baik dari sisi pelaku usaha maupun volume barang yang ditransaksikan. "Produk pedagang lokal masih mendominasi penjualan di Shopee," kata Head of Public Policy and Government Relations Shopee Indonesia Radityo Triatmojo kepada reporter Tirto melalui keterangan tertulis, Rabu (24/2/2021).
Kepada Menkop UKM Teten Masduki, perwakilan Shopee mengatakan 98,1% dari 4 juta penjual aktif di Shopee adalah UMKM dan hanya 0,1 % penjual cross border. Penjualan produk UMKM tercatat sebesar 71,4% sedangkan produk cross border hanya 3% dan sisanya pedagang besar lokal.
Dalam sesi klarifikasi dengan Menkop UKM Teten, Radityo juga mengatakan Shopee memastikan seluruh transaksi melalui cross border sesuai dengan prosedur yang berlaku termasuk membayar pajak.
Dia juga mengatakan Shopee berkomitmen mendukung pertumbuhan UMKM dengan cara "menghadirkan rangkaian program edukasi dan pendampingan bersama dengan beberapa kementerian dan lembaga pemerintahan melalui Kampus Shopee" serta "memasarkan produk UMKM melalui kanal khusus produk lokal Kreasi Nusantara."
Sementara Menkop UKM Teten Masduki mengatakan pada dasarnya kementeriannya bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan telah berupaya membatasi masuknya produk asing, misalnya dengan menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS. Barang impor yang harganya di atas 3 dolar AS atau kira-kira setara Rp42 ribu sudah dikenakan pajak sebesar 17,5% yang terdiri dari bea masuk 7,5%, PPN 10%, dan PPh 0%. Dengan cara ini diharapkan produk impor tak akan mengganggu eksistensi produk UMKM karena harganya lebih masuk akal.
Selain itu dia juga bilang telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk mengecek kepatuhan seluruh penyedia marketplace terhadap ketentuan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang berlaku. Dengan cara ini Teten berharap dapat menekan aktivitas perdagangan cross border.
Masalah Lama
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan produk impor yang dijual di e-commerce lokal sebenarnya bukan fenomena baru. "Studi Indef yang dirilis tahun 2019 menemukan bahwa 25,9% barang yang ditransaksikan melalui internet diproduksi secara lokal. Artinya ada 74,1% produk impor," beber dia kepada reporter Tirto, Rabu.
Bhima bilang fenomena ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama memang seperti seakan-akan dibarkan. Perusahaan e-commerce asing dibiarkan menguasai kepemilikan saham e-commerce lokal dan menyebabkan e-commerce lokal itu sekadar saluran distribusi produk impor. Mereka lantas menggelar promosi dan diskon besar-besaran untuk menarik konsumen.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah tingginya ongkos logistik yang dialami penjual dalam negeri. Belum lagi ketergantungan UMKM terhadap bahan baku impor hingga akses permodalan.
Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok Kementerian Koperasi dan UKM Ari Anindya Hartika membenarkan perkara tersebut. "Masih ada beberapa pelaku UMKM yang bergantung bahan baku impor, sementara ongkos logistiknya mahal. Di saat yang sama terjadi penurunan daya beli masyarakat," kata Ari dalam webinar yang diselenggarakan pada Rabu lalu.
Lebih detail, dia menyebut sekitar 20,01 persen pelaku usaha menghadapi persoalan distribusi logistik dan ketersediaan bahan baku. Sementara isu permodalan dialami oleh sekitar 19,39 persen pelaku UMKM.
Peneliti Indef lain, Nailul Huda, mengatakan Mr. Hu dapat muncul karena adanya ketimpangan antara peluang pasar yang begitu besar dengan ketersediaan produk. Kondisi ini juga didukung dengan pertumbuhan kelas menengah serta generasi gadget yang pesat dan haus akan diskon produk.
"Sekarang juga pengiriman lebih murah dan ada diskon ongkos kirim dari platform. Harga produksi yang murah dan ongkir yang murah merupakan kombinasi yang pas buat konsumen Indonesia,” jelas dia.
Praktik ini lama kelamaan memang akan semakin menggerus pangsa pasar UMKM. Akibatnya akan banyak UMKM yang bakal hengkang.
Sederet masalah itu, kata Nailul, harus segera diatasi pemerintah bila tak ingin Indonesia hanya jadi pasar produk negara lain. Bila sudah demikian, masyarakat selaku konsumen pula yang akan dirugikan. "Di saat sudah tidak ada lagi pesaing lokal, harganya lama kelamaan bisa naik dan membebankan ke konsumen. Praktik ini termasuk praktik tidak sehat," tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino