Menuju konten utama

Usai Ledakan SMAN 72 Jakarta, Tepatkah Gim Daring Dibatasi?

Gim dan media sosial bukan faktor tunggal penyebab anak melakukan tindakan ekstrem. Ruang aman dibutuhkan.

Usai Ledakan SMAN 72 Jakarta, Tepatkah Gim Daring Dibatasi?
Ilustrasi Game Online. foto/istockphoto

tirto.id - Ledakan di SMAN 72 Jakarta yang terjadi Jumat (7/11/2025) hingga kini masih menyisakan tanya. Sebagaimana lokasi kejadian di sekolah menengah, mereka yang menjadi korban dan terduga pelaku merupakan remaja. Pelaku pun diduga terpapar muatan kekerasan dari konten daring. Oleh sebab dugaan itu, pemerintah lantas menggodok rencana pembatasan online game.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengungkapkan bahwa rapat terbatas yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto bersama Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit, dan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih, menyimpulkan onlinegame sebagai salah satu penyebab yang mempengaruhi tindakan terduga pelaku peledak di SMAN 72.

"Beliau tadi menyampaikan bahwa kita mesti juga harus berpikir untuk membatasi dan mencoba bagaimana mencari jalan keluar terhadap pengaruh-pengaruh dari game-game online," kata Prasetyo di Kertanegara, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025).

Gim yang dimaksud mengandung aksi kekerasan itu adalah PlayerUnknown's Battlegrounds atau PUBG. Menurut Prasetyo, permainan tersebut menjadi sorotan karena dianggap mengajarkan kekerasan kepada para pemainnya.

"Misalnya PUBG, kami berpikir di situ ada pembatasan-pembatasan karena di situ ada jenis-jenis senjata yang mudah sekali untuk dipelajari," jelasnya.

Prasetyo khawatir gim daring yang bermuatan aksi kekerasan itu dapat menimbulkan pengaruh terhadap psikologi anak-anak dan remaja di masa depan. Terutama menjadikan aksi perundungan sebagai hal yang biasa.

Menanggapi wacana pembatasan gim daring ini, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, pun menyatakan dukungan penuh. Terutama, pada permainan-permainan yang di dalamnya terdapat sejumlah adegan yang memperagakan kekerasan.

Penjagaan pasca ledakan di SMA 72 Jakarta

Kondisi terkini di depan SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (7/11/2025) malam. tirto.id/Auliya Umayna

Gim daring memang hari ini sudah menjadi bagian dari keseharian yang tak terpisahkan. Dalam laporan We Are Social, Indonesia bahkan dinobatkan sebagai negara nomor dua dengan persentase pemain gim daring terbanyak.

Persentase pengguna internet berusia 16 tahun ke atas yang bermain gim daring mencapai 93,7 persen—hanya kalah 3 poin dari Filipina (96,7 persen). Di belakang Indonesia, ada Thailand, Turki, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Meksiko.

Meski bukan berarti semua gim daring berdampak buruk, beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa pemain gim bermuatan kekerasan cenderung memiliki agresi lebih tinggi—tapi hubungan sebab-akibatnya masih belum pasti.

Penelitian Olejarnik dan Romano (2023), misalnya, menemukan bahwa pemain yang memilih lebih banyak gim dengan rating kekerasan, cenderung memiliki skor agresi yang lebih tinggi—khususnya pada dimensi seperti agresi verbal (yang diekspresikan lewat kata-kata kasar dan makian) dan hostilitas alias sikap atau perasaan negatif yang mendasari agresi.

Namun, studi Lacko dkk. (2024) justru menentang cara pikir umum bahwa gim dengan unsur kekerasan menjadi faktor signifikan yang berkontribusi terhadap peningkatan agresi dan penurunan empati pada remaja.

Penelitian ini lebih menekankan soal adanya perbedaan kondisi pribadi masing-masing pemain dan relasi antarpribadi pemain. Menurut penelitian Lacko dkk., agresi verbal dan fisik serta empati afektif baru berkorelasi positif dengan gim video penuh kekerasan pada tingkat antarpribadi.

Pengaruh Tak Hanya Datang dari Medsos atau Gim

Gim daring—terutama yang mengandung kekerasan, agaknya sering dijadikan kambing hitam dalam berbagai insiden kekerasan di masyarakat, utamanya dalam kasus-kasus penembakan di sekolah yang terjadi di Amerika Serikat. Padahal, gim daring tidak bisa dilihat sebagai faktor tunggal seseorang atau anak-anak melakukan kekerasan atau tindakan ekstrem.

Dalam konteks peristiwa peledakan SMAN 72 Jakarta, psikolog kondang, Seto Mulyadi, mengatakan bahwa akar masalah pelaku melakukan tindakan ekstrem justru adalah kekerasan terhadap anak. Seto menjelaskan bahwa ketika anak mengalami kekerasan di sekolah atau di manapun, dia punya kecenderungan untuk fight atau flight.

Fight berarti melawan bentuk kekerasan itu dengan segala cara, seperti membakar sekolah, meledakkan bom, atau lainnya. Sementara itu, flight bisa jadi lari ke media sosial atau bunuh diri, lari ke dunia yang lain.

“Jadi, bukan hanya pengaruh dari media sosial [dan gim] saja. Itu adalah bentuk perlawanan, bentuk reaksi terhadap kekerasan yang dialami oleh anak,” kata Seto kepada jurnalis Tirto, Selasa (11/11/2025).

Pria yang akrab dipanggil Kak Seto itu lantas menekankan hal terpenting yang harus dilakukan adalah menciptakan ruang yang aman bagi anak. Penciptaan ruang aman itu pun telah diamanatkan dalam undang-undang (UU).

Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menyatakan bahwa setiap anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Menurut Seto, kalaupun anak-anak meniru tindak kekerasan dari konten yang dilihat di media sosial maupun gim daring, itu karena anak tidak diajarkan menggunakan teknologi digital secara paripurna. Padahal, isi pendidikan mencakup lima unsur, antara lain etika, estetika, ilmu pengetahuan dan teknologi/IPTEK, kesehatan—termasuk kesehatan mental, dan nasionalisme atau kebersamaan.

WAWANCARA KHUSUS KAK SETO

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau yang dikenal Kak Seto berpose usai wawancara khusus di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), Pasar Baru, Jakarta Pusat, Senin (11/7/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/YU

“Nomor satu apa? Etika. Nah, ini yang kurang diajarkan. Jadi, anak tidak bisa membedakan antara yang buruk dan yang baik. Kemudian adalah estetika, keindahan. Termasuk, keindahan berperilaku dan sebagainya. Keindahan dalam raga, dalam gambar, dalam lukisan dan sebagainya, itu termasuk yang tidak diajarkan pada anak-anak,” lanjut Seto.

Menurut dia, pendidikan yang diterima anak-anak kini timpang alias hanya menitikberatkan pada IPTEK saja sehingga mereka lemah di bidang-bidang yang lain. Pendidikan yang holistik pun tak cuma menjadi domain institusi sekolah, tapi juga di pendidikan informal dalam keluarga dan pendidikan nonformal di masyarakat.

Anak mestinya bisa diterangkan mana saja hal-hal yang benar dan salah. Kemudian, juga diajarkan kebhinekaan global sehingga bisa menghargai perbedaan. Selain itu, sikap gotong-royong sekaligus kemandirian juga perlu dibangun di kalangan anak-anak.

Dengan begitu, mereka jadi percaya diri pada masing-masing kemampuannya. Di lain sisi, kreativitas dan daya kritis anak perlu dilatih agar bisa mengkritisi persoalan yang keliru. Kak Seto sendiri tak mendorong adanya pembatasan gim yang terlalu ekstrem pada anak, asalkan orang tua dan guru sekolah bisa menjadi “sahabat anak”.

“Jadi, harus berada di tengah-tengah anak, bersama. Misalnya, anak mengakses media sosial, dilihat. Belajar apakah ini benar atau tidak. Jangan 'ah anak tahu, pokoknya dia sudah duduk manis,' ya sudah diam saja. Orang tua tidak tahu apa yang dikonsumsi oleh anak-anak,” tutur Kak Seto.

Dia menambahkan bahwa para orang tua perlu menjadikan rapat keluarga, dialog keluarga, makan bersama sambil berdialog sebagai tradisi dalam keluarga. Di situlah, orang tua dan anak mempunyai ruang untuk saling bertukar pandangan.

Bukan Hanya Dibatasi, tapi Dihilangkan dari Dunia Anak?

Bertolak dengan pandangan Kak Seto, Wakil Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Lia Latifah, beranggapan bahwa gim daring justru semestinya dihilangkan dari dunia anak-anak.

"Karena memang dari pengalaman di Komnas Perlindungan Anak, game online itu adalah salah satu pemicunya anak-anak mempunyai perilaku kekerasan. Jadi, yang disebutkan itu bukan hanya PUBG, tapi ada game online yang lain, seperti misalnya Mobile Legends, Free Fire, Roblox. Itu adalah game-game yang memang hari ini terbukti banyak sekali mengandung tindak kekerasan yang anak-anak ikuti perilakunya," ujar Lia kepada jurnalis Tirto, Selasa (11/11/2025).

Roblox sebelumnya sempat menjadi sorotan lantaran diketahui mengandung unsur-unsur kekerasan hingga konten seksual yang eksplisit. Pemerintah bahkan sempat melarang anak-anak di bawah umur untuk memainkan gim ini.

@officialtirtoid

Gim online Roblox menyedot perhatian publik usai disebut bisa berbahaya untuk anak-anak. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu"ti, sebut gim yang populer di kalangan anak dan remaja ini mengandung unsur kekerasan. Lantas, apa sebenarnya gim Roblox? Permainan ini dirilis perusahaan asal Amerika Serikat, Roblox Corporation pada 2006. Dikutip dari berbagai sumber, Roblox menjadi populer karena menawarkan banyak hal, salah satunya ialah ketika satu pemain bisa mengunjungi dunia yang dibuat oleh pemain lainnya. Artinya, ada jutaan dunia yang bisa dijelajahi. Kemudian, Roblox juga menawarkan berbagai macam model permainan, misalnya simulasi kehidupan (roleplay), adu strategi, balapan, aksi, hingga petualangan naik gunung. Permainan naik gunung ini menjadi salah satu magnet. Apalagi gunung-gunung yang ada di Indonesia pun tersedia. Platform ini juga memiliki fitur interaksi sosial, seperti obrolan lewat chatting, main bersama, hingga fitur kustomisasi avatar. Pada 31 Juli 2025, Reuters melaporkan Roblox memiliki lebih dari 100 juta pengguna aktif harian. Kesuksesan ini berkat viralnya gim simulasi pertanian, Grow a Garden, buatan remaja 16 tahun yang dimainkan oleh 21 juta pengguna secara bersamaan. Penulis/Editor: Muhammad Fadli Rizal #TirtoDaily#Roblox

♬ original sound - TirtoID - TirtoID

Dalam hal unsur kekerasan dalam gim, Lia juga mencontohkan soal bagaimana anak-anak sering kali meniru kata-kata kasar yang dilontarkan para gamers. Gim daring juga disebutnya memberi ruang para gamers untuk "belajar melukai" atau menyerang.

Itulah sebabnya Lia mendorong pemerintah bersikap tegas dan mengupayakan pendampingan dan pengawasan orang tua. Pendampingan itu salah satunya bisa berupa batasan waktu bermain gim.

“Hari ini, memang peran serta orang tua harus sudah mulai lebih memperhatikan anak-anak kita. Kenapa? Karena tadi, ketika anak-anak menggunakan media sosialnya, terus kemudian mereka memainkan games-nya, ketika tidak ada batasan waktu, ketika tidak ada pengawasan orang tua, akhirnya anak-anak kita mempunyai perilaku-perilaku yang sangat negatif," lanjutnya.

Lia menekankan bahwa hal ini perlu diwujudkan secara sinergis, termasuk oleh pihak sekolah. Apabila pemerintah dan berbagai pihak bisa berkolaborasi secara serius untuk mencegah tindak kekerasan, ruang aman di dunia pendidikan dan di manapun bagi anak-anak bisa terjamin.

Baca juga artikel terkait GAME ONLINE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi