Menuju konten utama

Upaya Tokoh Republikan Menghadang Trump

Trump secara de facto sudah memenangi bursa calon presiden dari Partai Republik. Tergambar dari banyak polling, kansnya menjadi presiden pun semakin besar. Ada segelintir elite Partai Tua Agung itu yang bersikukuh bahwa Trump tak layak menjadi presiden. Tokoh-tokoh itu bergerilya mendatangi nama-nama prospektif seperti Senator Ben Sasse yang sangat vokal mengkritik Trump.

Upaya Tokoh Republikan Menghadang Trump
Pendukung bertopeng menari sebelum bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald Trump tiba untuk kampanye di balai kota di Wausau, Wisconsin. ANTARA FOTO/REUTERS/Ben Brewer

tirto.id - “Maple Match memudahkan orang Amerika menemukan pasangan ideal orang Kanada untuk menyelamatkan mereka dari kengerian yang tak terbayangkan bila Trump jadi presiden.”

Kalimat itu ada pada laman utama situs pencari kencan Maple Match setelah Trump dipastikan akan menjadi calon presiden dari Partai Republik. Ted Cruz, pesaingnya, yang kalah pada pertandingan primer di Indiana 3 Mei, mundur karena merasa dirinya sudah tak punya kesempatan menang.

Meski pendukung Trump banyak, tak sedikit warga Amerika yang gegar karena kemenangan de facto-nya. Lena Dunham, pesohor televisi Amerika, menyatakan akan pindah ke Kanada jika Trump terpilih menjadi presiden. CNN juga mencatat pencarian dengan frasa “how to move from the U.S. to Canada” meningkat sebanyak 455 persen sejak Februari sampai Maret, setelah kemungkinan Trump untuk menang semakin tinggi.

Dengan reaksi semacam itu, kalimat promosi yang dibuat Maple Match terdengar sangat masuk akal, bukan sekadar lelucon tanpa data. Anda tak mau punya presiden Donald Trump? Gampang. Kawin saja dengan orang Kanada dan jadi warga negara di sana.

Kontroversial

Mengapa banyak orang tak mau Donald Trump tak mau menjadi presiden? Banyak alasannya.

“Orang lucu,” demikian ia disebut. Ada pula yang menyebutnya bodoh sebab kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan konyol.

Ia juga dianggap tak etis, rasis, dan kerap tak mengindahkan kepatutan berpolitik. Misalnya pada 2011, Trump pernah bilang, “Aku ingin dia [Obama] menunjukkan akte kelahirannya.” Dengan melontarkan pernyataan itu, Trump mengamini kampanye murahan yang beredar di masa pemilihan presiden 2008 yang menyebut Obama lahir di Kenya. Hukum AS memang mensyaratkan kandidat presiden dan wakilnya lahir di wilayah Amerika Serikat, sehingga isu itu diharapkan bisa berpengaruh buruk pada kampanye Obama.

Tak hanya pada Obama, Trump juga melakukan hal serupa pada pesaingnya sesama bakal calon presiden Republik, Ted Cruz. Tak tanggung-tanggung, bekas presenter acara The Apprentice itu menuduh ayah Cruz terlibat pembunuhan Presiden John F. Kennedy.

Cara berkampanyenya juga dianggap konyol. Saat bakal calon lain, Marco Rubio, menyebut tangan Trump kecil dan memberi isyarat bahwa ukuran penisnya juga kecil, dengan penuh niat Trump membahasnya. Ia berkata: “Lihatlah tangan-tangan ini, apakah kecil? Dia [Rubio] bicara soal tanganku—’jika tangannya kecil, maka sesuatu yang lain pasti kecil.’ Saya jamin tidak ada masalah. Saya jamin.”

Selain menyerang lawan politik dan mengatakan hal-hal konyol, Trump juga kerap berpendapat kontroversial dalam isu-isu penting. Ia misalnya pernah bilang akan menghentikan orang Muslim datang ke Amerika Serikat. “Orang-orang ini hanya percaya pada jihad. Mereka tidak ingin sistem kita. Dan [mereka] tidak memiliki akal sehat atau menghormati kehidupan manusia.”

Trump tak berhenti pada sikap Islamofobik. Ia juga pernah mengatakan orang Meksiko yang datang ke Amerika bukanlah yang terbaik, melainkan pemerkosa, pembawa narkoba, serta kriminal.

Tak mengherankan jika Mitt Romney, bekas kandidat presiden Partai Republik pada 2012, terang-terangan menolak Trump. Saat pemilihan di kaukus Utah, Romney menyatakan dukungan pada Ted Cruz dengan menulis di laman Facebook-nya:“Hari ini, ada kontes antara Trumpisme dan Republikanisme. Melalui pernyataan-pernyataan yang terukur dari pemimpinnya, Trumpisme telah melekat dengan rasisme, misogini, bigotri, xenofobia, kevulgaran, dan belakangan ini, ancaman dan kekerasan.”

Kans Trump

Jika Donald Trump begitu konyol dan rasis seperti kata Mitt Romney, Amerika Serikat tentu tak akan memilihnya menjadi presiden. Demikian suara skeptis terdengar. Tapi tunggu dulu. Nada menyepelekan semacam itu juga yang dulu berbunyi cukup nyaring saat Trump mengumumkan pencalonan dirinya.

Setelah hasil-hasil polling-nya meningkat terus, tulisan-tulisan jurnalistik masih saja memandang Trump sebelah mata, misalnya: “Trump adalah troll terbesar di dunia,” atau “Trump membangun enam jalan menuju kiamatnya.” Ada pula: “Wahai media, jangan terlalu khawatir dengan hasil poll Trump.”

Orang liberal naifkah yang menuliskannya? Bukan. Kalimat-kalimat itu datang dari Nate Silver, jurnalis data yang mendasarkan kesimpulannya dari angka-angka statistik. Saat itu, sesungguhnya Silver sudah menampilkan data-data yang memperlihatkan laju Trump begitu menjanjikan.

Tapi Silver keliru menarik kesimpulan karena lebih mempertimbangkan kecenderungan kader Republikan yang tak menyukai Trump—seperti yang ditunjukkan oleh Romney. Ujungnya, sekarang Silver—juga banyak jurnalis dan pengamat lain—mengakui kesimpulan-kesimpulannya terdahulu didasari asumsi yang salah.

Mendekati tanggal pemilihan, kans Tuan Trump semakin besar, meninggalkan suara-suara yang skeptis terhadap popularitasnya. Hasil polling keterpilihannya kian mendekati Hillary Clinton, yang diperkirakan akan memenangi pencalonan di Partai Demokrat melawan Bernie Sanders. Hasil poll Realclearpolitics.com memperlihatkan Trump hanya akan kalah angka sebesar 3,1 persen jika pemilihan presiden dilakukan sekarang (19/5/2016). Dengan waktu yang tersedia, tak terlalu sulit bagi lelaki berpotongan rambut khas ini untuk menyusul angka Clinton.

Gerakan “Never Trump” di Kalangan Republikan

Meski menang dengan mundurnya Ted Cruz, suara di Partai Republik terbelah. Sebagian tentu mendukung Trump, karena ia adalah hasil dari proses pemilihan yang benar secara prosedural. Tapi, ada segelintir elite Partai Tua Agung itu yang bersikukuh bahwa Trump tak layak menjadi presiden.

Setelah kemenangan Trump, Mitt Romney dan beberapa tokoh Republikan lain—seperti William Kristol, Erick Erickson, Mike Murphy, Stuart Stevens, dan Rick Wilson—aktif mencari calon yang bersedia menjadi calon independen, sebagai jalan ketiga dari pilihan Trump versus Clinton.

Menurut laporan Washington Post, tokoh-tokoh itu bergerilya mendatangi nama-nama prospektif seperti Senator Ben Sasse yang sangat vokal mengkritik Trump. Juga John Kasich, Gubernur Ohio yang mundur dari bursa calon presiden Republikan pada 4 Mei lalu. Mereka juga mendatangi Mark Cuban, miliuner pemilik klub basket Dallas Mavericks. Tapi, semuanya menjawab sama: Tidak, terima kasih.

“Romney mengirim [Kasich] email yang memintanya maju sebagai calon independen dan katanya ia akan membantunya,” demikian seorang penasehat Kasich memberi informasi pada Yahoo News. Setelahnya, mereka berbincang lewat telepon dan Kasich menolak ide itu.

Mark Cuban juga didatangi seseorang—namanya tak disebutkan pada Washington Post—yang berkata bahwa cara berkomunikasi Cuban, “digabung dengan substansi dan kemampuan untuk terhubung dengan pemilih secara lebih pribadi, bisa membuatnya menjadi kandidat yang berpeluang menang.”

Tapi, Cuban pun menolak. “Waktunya tak cukup,” katanya.

Bagaimana dengan Michael Bloomberg? Bekas walikota New York ini sudah lama berhitung tentang kemungkinan dirinya maju mencalonkan diri. Tapi, ia sudah mengukur dan memutuskan pada Maret lalu bahwa peluangnya kecil.

Dengan semua penolakan itu, akhirnya gerakan klandestin Mitt Romney dan kawan-kawan pun disudahi. Terlebih, menurut berita CNN, pejabat di Partai Republik bermanuver untuk menutup pembicaraan tentang calon independen. Ketua Komite Nasional Partai Republik, Reince Priebus, mengatakan tawaran soal pilihan ketiga adalah “misi bunuh diri.”

Walaupun ide calon independen terdengar sebagai ide brilian bagi sebagian kaum konservatif yang ogah memilih calon Demokrat tapi tak sanggup memilih Trump, usul itu ujungnya pasti tak menguntungkan bagi Republikan sendiri. Calon alternatif hanya akan memecah suara dan membuat calon Demokrat menang.

Barangkali, kaum konservatif anti-Trump benar-benar perlu mempertimbangkan ide beberapa liberal yang akan pindah ke Kanada jika Trump terpilih jadi presiden November nanti.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Politik
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti