Sambil menerawang jauh, Muhammad Mansur Dokeng mengendalikan kemudi kapal kayunya saat matahari sekitar dua jam lagi akan terbenam di ufuk barat Selat Rote, Nusa Tenggara Timur.
Seolah tak ingin kalah, suara kencang mesin motornya menjadi bagian dalam keriuhan menjelang senja di tengah perairan yang terapit Pulau Timor dan Pulau Rote itu.
Sesekali pria yang memiliki panggilan Dewa itu menggunakan teropong binocularnya. Mata tajamnya seakan mengawasi aktivitas nelayan-nelayan yang melintas. Terkadang kapalnya bergerak mendekati kapal nelayan lain yang masuk dalam pantauannya.
"Amankah perbekalan kalian? Hati-hati ya jangan sampai masuk perairan Australia!" pesan Dewa kepada nelayan di kapal lain yang ia temui.
Tak sekedar mencari ikan, bapak dua anak itu juga memiliki misi mengajak kalangan nelayan NTT untuk tidak melanggar batas negara saat mencari ikan sejak 2020.
Masih adanya nelayan NTT yang tertangkap oleh aparat di Australia akibat memasuki wilayah negara tersebut tanpa izin membuat nelayan asal Kampung Oesapa, Kota Kupang, itu gencar bersuara.
Selain itu, nasionalisme Dewa pun juga bangkit setelah melalui titik balik dalam kehidupannya. Bagi Indonesia pelanggaran yang mereka lakukan disebut penangkapan ikan ilegal, lanjutnya, tapi bagi Australia itu tetap saja disebut mencuri.
“Jangan sampai Australia mengecap kita sebagai bangsa pencuri,” kata Dewa.
Apalagi dia juga pernah merasakan pahitnya ditahan otoritas keamanan Australia akibat tindakan serupa. Dewa tak ingin dinginnya penjara Australia dirasakan oleh nelayan-nelayan Indonesia lainnya. “Total 12 kali saya ditangkap Australia, sembilan kali di antaranya saya sampai dipenjara antara tiga hingga tujuh bulan,” kata Dewa.
Beberapa tahun lalu ia sering tertangkap tangan menangkap ikan dengan melanggar batas wilayah Australia karena tidak paham cara mengetahui batas kedua negara.
Tak hanya persoalan pelanggaran batas negara saat mencari ikan, Dewa pun juga aktif mengampanyekan menjaga lingkungan Kampung Nelayan Oesaba, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Ia mendapat plakat penghargaan atas perannya sebagai aktivis lingkungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di kantor kelompok usaha bersama (KUB) Angsa Laut yang ia pimpin di Kampung Nelayan Oesaba, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Seolah tak ingin kalah, suara kencang mesin motornya menjadi bagian dalam keriuhan menjelang senja di tengah perairan yang terapit Pulau Timor dan Pulau Rote itu.
Sesekali pria yang memiliki panggilan Dewa itu menggunakan teropong binocularnya. Mata tajamnya seakan mengawasi aktivitas nelayan-nelayan yang melintas. Terkadang kapalnya bergerak mendekati kapal nelayan lain yang masuk dalam pantauannya.
"Amankah perbekalan kalian? Hati-hati ya jangan sampai masuk perairan Australia!" pesan Dewa kepada nelayan di kapal lain yang ia temui.
Tak sekedar mencari ikan, bapak dua anak itu juga memiliki misi mengajak kalangan nelayan NTT untuk tidak melanggar batas negara saat mencari ikan sejak 2020.
Masih adanya nelayan NTT yang tertangkap oleh aparat di Australia akibat memasuki wilayah negara tersebut tanpa izin membuat nelayan asal Kampung Oesapa, Kota Kupang, itu gencar bersuara.
Selain itu, nasionalisme Dewa pun juga bangkit setelah melalui titik balik dalam kehidupannya. Bagi Indonesia pelanggaran yang mereka lakukan disebut penangkapan ikan ilegal, lanjutnya, tapi bagi Australia itu tetap saja disebut mencuri.
“Jangan sampai Australia mengecap kita sebagai bangsa pencuri,” kata Dewa.
Apalagi dia juga pernah merasakan pahitnya ditahan otoritas keamanan Australia akibat tindakan serupa. Dewa tak ingin dinginnya penjara Australia dirasakan oleh nelayan-nelayan Indonesia lainnya. “Total 12 kali saya ditangkap Australia, sembilan kali di antaranya saya sampai dipenjara antara tiga hingga tujuh bulan,” kata Dewa.
Beberapa tahun lalu ia sering tertangkap tangan menangkap ikan dengan melanggar batas wilayah Australia karena tidak paham cara mengetahui batas kedua negara.
Tak hanya persoalan pelanggaran batas negara saat mencari ikan, Dewa pun juga aktif mengampanyekan menjaga lingkungan Kampung Nelayan Oesaba, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Ia mendapat plakat penghargaan atas perannya sebagai aktivis lingkungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di kantor kelompok usaha bersama (KUB) Angsa Laut yang ia pimpin di Kampung Nelayan Oesaba, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.