Menuju konten utama

Tertutup dan Pilah-Pilah: Upaya Anies Membalikkan Kebiasaan Ahok

Menghindari para wartawan di Balai Kota, Anies mengandalkan saluran media sosial resmi untuk mengabarkan progres pemerintahannya.

Tertutup dan Pilah-Pilah: Upaya Anies Membalikkan Kebiasaan Ahok
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat hari pertama bertugas di Balai Kota, 16 Oktober 2017. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Anies Baswedan termasuk gubernur Jakarta yang memilah-milih media. Berbeda dari Sandiaga Uno, mantan wakilnya yang kini bertarung dalam Pilpres 2019, Anies seringkali menghindar bahkan menolak untuk dimintai wawancara. Sementara Sandiaga hampir dalam setiap kesempatan tahu cara bagaimana berhadapan dengan media, termasuk dan sekalipun bertingkah dan berucap ngawur.

Padahal, perkara menghadapi media menjadi hal penting sebab memengaruhi citra pejabat publik.

Data yang diterima Tirto dari Indonesia Indicator, perusahaan yang menganalisis sentimen pemberitaan, menunjukkan Anies memang lebih irit berbicara dibandingkan Sandiaga. Anies boleh saja menjadi top person atau figur yang banyak dibicarakan seputar isu di DKI Jakarta. Namun, Sandiaga menempati posisi top influencer atau figur yang pernyataannya paling banyak dikutip media.

“Data itu dihasilkan dari riset menggunakan teknologi artificial intelligence terhadap 282.220 berita dari 1.447 media online sejak April hingga Oktober 2018,” kata Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang kepada Tirto.

Selama kurun itu, Anies disinggung dalam 49.074 pemberitaan terkait Jakarta, sementara Sandiaga sedikit di bawahnya dengan 39.226 pemberitaan, bahkan setelah ia mengundurkan diri dari posisi wakil gubernur.

Sebaliknya, pernyataan yang paling banyak dikutip terkait isu di DKI Jakarta berasal dari lisan Sandiaga. Statemen Sandiaga dikutip 90.968 kali, sedangkan Anies hanya 75.425 kali.

Dari riset tersebut, Indonesia Indicator mendapati lima isu yang paling banyak dibicarakan media mengenai kepemimpinan Anies-Sandiaga. Dua isu yang paling banyak menyita perhatian adalah majunya Sandiaga sebagai cawapres dan Asian Games.

Tiga isu lain adalah penataan Tanah Abang serta janji kampanye Anies-Sandiaga menyetop reklamasi Teluk Jakarta dan program kewirausahaan One Kecamatan-One Center Entrepreneurship (OKE-OCE).

Tertutup terhadap Wartawan

Beberapa waktu lalu, di salah satu grup WhatsApp wartawan Balai Kota, seorang wartawan menyindir beberapa staf gubernur perihal jadwal harian gubernur.

"Kok acaranya Pak Gubernur membuka dan menerima melulu, ya? Kapan sidak ke lapangan? Makin banyak trotoar dibangun cakep-cakep tapi dibuat jualan PKL...," kata seorang wartawan.

Toh, tetap tak ada perubahan meski keluhan semacam itu bukan kali ini disampaikan. Agenda seperti rapat terbatas bersama kepala dinas, pertemuan dengan beberapa tokoh dan warga, hingga beberapa agenda ke luar kota tak diumumkan. Beberapa jadwal yang disampaikan ke publik hanya agenda yang sifatnya seremonial: meresmikan, membuka dan menutup acara, atau menerima dan melepas perwakilan Pemprov DKI.

Lantaran itu pulalah, hingga sekarang, nyaris tak ada wartawan yang tahu kapan Anies tiba dan pulang. Di hari-hari kerja, sejak Senin hingga Jumat, sejumlah wartawan tak lagi punya rutinitas mencegat mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu di pendopo Balai Kota.

Di luar itu, Anies dan beberapa stafnya punya "taktik" untuk mengelabui wartawan. Salah satu yang kerap dilakukan adalah lewat sebuah pintu di sisi kiri pendopo Balai Kota, tepat di tempat mobilnya terparkir. Cara-cara ini terus dipakai oleh Anies selama setahun terakhir memimpin Jakarta.

Sekitar 10 wartawan bahkan pernah membentuk tiga tim dan berbagi bertugas untuk mencegatnya dari beberapa pintu keluar, tapi hasilnya nihil. Anies tiba-tiba sudah tak berada di Balai Kota, lalu beberapa jam setelahnya ia melakukan siaran langsung dari akun resmi dia di Instagram.

Infografik HL Indepth Setahun Anies

Kondisi itu berbeda jika dibandingkan dengan era gubernur Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Ahok biasa datang sekitar pukul 07.00, sementara Djarot sekitar pukul 08.00.

Setibanya di Balai Kota, dua orang itu selalu berhadapan dengan warga yang sudah berkerumun dan ingin mengadukan permasalahan mereka. Mulai dari Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat, hingga urusan tanah antarwarga yang berujung pengadilan.

Situasi itu memberikan ruang kepada media untuk melihat permasalahan lebih dekat dan bagaimana respons gubernur dalam menghadapinya. Baik Ahok maupun Djarot hampir selalu bersedia dimintai keterangan di mana pun tentang apa pun saat dicegat wartawan.

Keduanya bahkan mengunggah video rapat-rapat yang berhubungan dengan pengambilan kebijakan secara utuh ke YouTube. Kebijakan itu kemudian dikukuhkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 159 Tahun 2016.

Pada era Anies, nyaris tak ada interaksi langsung antara warga dan gubernur. Keluhan warga dipindahkan ke kantor-kantor kelurahan. Warga memang tetap diperbolehkan datang ke Balai Kota, tapi masalah mereka akan sampai di meja pengaduan, bukan langsung di hadapan gubernur.

Anies juga menyortir video-video yang boleh diunggah dan ditayangkan ke YouTube. Hampir seluruh video diedit terlebih dulu dan suasana dalam rapat-rapat itu tidak ditampilkan utuh.

Perkara lain yang berubah drastis setelah Anies berkantor di Balai Kota adalah makin sulit para pejabat di lingkungan pemprov untuk buka mulut. Mereka irit bicara terutama untuk perkara-perkara yang menyangkut program strategis Anies seperti DP Nol Rupiah dan Penghentian Reklamasi Teluk Jakarta. Informasi hampir selalu dibuat satu pintu dan disampaikan Anies dalam konferensi pers.

Maret lalu, misalnya, Anies mengatakan informasi soal penutupan Hotel Alexis hanya boleh disampaikan olehnya. Hal itu terjadi setelah surat perintah penutupan Hotel Alexis bocor ke media. Dua pejabat yang mengkonfirmasi surat tersebut, yakni Kepala Bidang Industri dan Pariwisata Toni Bako dan Wakil Kepala Satpol-PP Hidayatullah, langsung “didisiplinkan”.

Koordinator wartawan Balai Kota Marrula Adi membenarkan ada banyak keluhan wartawan yang kesulitan meminta konfirmasi para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah di masa pemerintahan Anies.

“Banyak protokol yang sekarang jadi lebih formal. Karena tiap karakter gubernur beda dan ingin semuanya terukur resmi pemerintah dan bukan pernyataan yang [sifatnya] perkembangan-perkembangan,” ujarnya kepada Tirto.

Namun, menurutnya, seretnya informasi terkadang timbul karena pejabat yang bersangkutan baru diangkat sebagai kepala dinas atau menjabat pelaksana tugas. “Mungkin gara-gara masih shock, perlu penyesuaian kali ya, karena baru jadi pemimpin, jadi enggak bisa dikutip semuanya,” imbuh Marulla.

Hingga saat ini, Anies memang telah mengganti banyak pejabat di jajaran Pemprov DKI. Beberapa jabatan juga masih diisi oleh pelaksana tugas dan tak kunjung diganti atau ditetapkan sebagai pejabat definitif.

Meski begitu, Anies mestinya ingat soal apa yang pernah ia tegaskan sepekan setelah menjabat sebagai gubernur; bahwa keran keterbukaan informasi tak boleh tersumbat.

"Inilah era modern di Jakarta yang penuh keterbukaan. Kami ingin teman-teman turut membantu, kabari apa yang menjadi perhatian dan apa yang tidak tepat," ujar Anies saat ramah-tamah dengan para wartawan di Balai Kota.

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN ANIES atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Fahri Salam