tirto.id - Tak lama setelah penandatanganan Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949, PBB segera mengambil alih penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda dengan membentuk delegasi United Nation Commission for Indonesia (UNCI). Salah satu isinya adalah memaksa Belanda angkat kaki dari Yogyakarta, yang waktu itu menjadi ibu kota republik.
Namun, penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta dirasa lambat (hampir sebulan), terhitung sejak perintah pengosongan wilayah dimulai pada 2 Juni 1949. Kelak, momen penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta diperingati dalam diorama Monumen Yogya Kembali, 29 Juni 1949.
Sebagaimana diwartakan surat kabar Indische Courant pada 6 Juli 1949, hingga Selasa (28/6/1949), beberapa serdadu Belanda masih berlalu-lalang di lapangan udara Kaliurang, Kalasan, dan Maguwoharjo. Mereka menunggu sejak pagi hingga terik matahari sampai sinyal mundur dikomandokan.
Karena lambatnya proses penarikan tentara tersebut, terjadi sebuah insiden penembakan kecil. Tiga kombatan bumiputra menembaki serdadu Belanda yang masih berkeliaran di sekitar kota. Namun tak perlu waktu lama, UNCI yang mengawal proses "evakuasi" tersebut segera melumpuhkan tiga orang ini.
UNCI yang tak ingin kecolongan lagi oleh Belanda, sebab beberapa perjanjian sebelumnya kerap dilanggar, kini turun tangan. Dengan siaga dan waspada, mereka berkendara bolak-balik mengendarai jip putih, yang turut tertancap sebuah bendera berlatar biru, khas PBB.
Dalam rombongan sweeping tersebut, terlihat Sultan Hamengkubuwono IX turut menumpang. Sebagai tanda "perpisahan", sultan bahkan menghadiahi kotak rokok kepada dua pejabat Belanda yang pamit.
Sebelum mereka benar-benar pergi, Komandan Brigade-T, Kolonel D. R. A. Van Langen, tak lupa menyampaikan wejangan.
"Ingatlah, bahwa kalian tidak berperang melawan rakyat Indonesia, tetapi hanya melawan kelompok tertentu yang ingin menghalangi tegaknya hukum dan ketertiban serta mengganggu pemeliharaannya," ucapnya.
Dari sekian insiden selama penarikan tentara yang menyita waktu hampir sebulan, yang diklaim sultan terlangsung kondusif dan aman, terdapat beberapa insiden yang cukup menggemparkan. Menandakan Yogyakarta masih jauh dari kata aman, meski pidato-pidato politik terkesan meyakinkan.
Satu di antaranya adalah kasak-kusuk kaum komunis. Hampir seminggu sebelum tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, beberapa agitasi komunis telah menyusup. Agenda mereka terbilang senyap, dilakukan secara rahasia.
Teror Bom di Rumah Ki Hajar Dewantara
Anggota Indische Partij, orang yang dikenal pula sebagai Bapak Pendidikan Nasional itu merupakan salah satu keturunan keluarga Keraton Pakualaman, Yogyakarta. Ketika peristiwa Yogya Kembali, dia berada di kediamannya, Jalan Tamansiswa, yang kini telah disulap menjadi museum.
Seminggu sebelumnya, sebuah insiden menghebohkan kediamannya, bahkan tercium sampai ke luar negeri. Pada Kamis (23/6/1949) pagi, Ki Hajar Dewantara yang baru bangun menemukan sebuah poster besar berisi ancaman.
Poster yang ditempel di pohon depan rumah Ki Hajar Dewantara itu lebih dari sekadar ancaman. Di dinding rumahnya, dia menemukan sebuah bom rakitan yang disusun dari tembaga berbentuk pot bunga yang berisi lima granat tangan aktif yang dibungkus plastik.
Namun saat pendiri Taman Siswa itu menemukannya, bom tersebut belum atau lebih tepatnya gagal meledak. Dia mengaku sumbunya masih terbakar setengah.
Ki Hajar Dewantara lalu melapor kepada polisi yang tengah berpatroli bahwa rumahnya dikirimi surat ancaman beserta bom. Otoritas militer UNCI yang bertugas, Letnan Dekker, menyelidiki bom tersebut. Diketahui bahwa bom rakitan itu memiliki sumbu dan knop sekring buatan Jepang.
Namun ternyata setelah laporan insiden ini diserahkan kepada polisi militer Belanda dan intelijen keamanan Yogyakarta pada esok harinya, motif teror ancaman dan bom terkesan membingungkan. Memang korban yang disasar adalah rumah Ki Hajar Dewantara, tetapi sebenarnya ancaman ini justru ditujukan kepada Belanda.
Sebab dalam laporan lainnya oleh De Noord-Ooster (25/6/1949), giliran polisi militer Belanda di Yogyakarta yang dikirimi selebaran ancaman dari "Bagian Gorila PKI". Mereka mengancam Belanda agar mau membebaskan tahanan komunis yang waktu itu dipenjara di Lapas Wirogunan, Tamansiswa. Lapas ini hanya terletak beberapa blok rumah di jalan yang sama dengan rumah Ki Hajar Dewantara.
Boleh jadi upaya nekat ini ditempuh untuk mencuri perhatian Belanda sebelum mereka benar-benar minggat dari Yogyakarta. Namun sasarannya sengaja dialihkan ke Ki Hajar Dewantara untuk mengundang atensi.
Cara Komunis Mengusir Belanda dari Yogyakarta?
Tidak hanya bom, beberapa pamflet propaganda komunisme disebarluaskan ke beberapa titik strategis Yogyakarta. Kebanyakan berisikan poster-poster berkonotasi ancaman dan teror.
Selebaran ini ditempelkan di pohon dan bangunan di sudut jalan. Menariknya, beberapa selebaran tidak hanya bertulis huruf latin dan bahasa Indonesia, tetapi juga ditulis dengan aksara Jawa.
Beberapa di antaranya bahkan dihiasi gambar-gambar sarat pornografi dengan tulisan bernada cabul yang ditujukan terhadap Sukarno, Hatta, dan Hamengkubuwono IX. Mereka mengecap tokoh politik republik itu tunduk (berkenan berunding) dengan liberalisme Barat, yang dalam hal ini menjadi rival abadi komunisme.
Insiden ini jelas mengundang rasa penasaran sekaligus khawatir masyarakat. Terlebih momen tersebut terjadi di tengah proses "Yogya Kembali" yang membutuhkan pengawalan ketat militer.
Pengamat militer yang berasal dari I.V.C.-patrouille mengusut selebaran poster dan vandal yang bertujuan menangkap serta menahan pelaku, tetapi hasilnya nihil. Mereka hanya mengikis beberapa coretan dan lukisan dari dinding.
Di waktu yang tak berjauhan, laporan teror dan insiden bersenjata juga dilaporkan Provinciale Noord-Brabantsche Courant Het Huisgezin (25/6/1949). Di kota lain, sebuah rumah sakit di Bojonegoro diserang oleh lima belas pria yang diindikasi bagian dari anggota PKI. Mereka menyandera seorang perawat mantri dengan senjata api, serta mencuri beberapa linen dan obat-obatan.
Lima belas polisi patroli Belanda juga terlibat bentrok di dekat Salatiga melawan sekitar 300 orang berseragam merah lengkap dengan spanduk berlambang palu arit. Mereka dipersenjatai 8 senapan mesin guna melawan polisi. Akibatnya, 14 polisi tewas di tempat dan 30 lainnya luka-luka.
Tak jauh dari sana, sekelompok kombatan yang menamakan dirinya Pasukan Merbabu juga terlibat bentrok serupa. Satu orang polisi tewas dan satu lagi terluka. Sementara dari kubu mereka, tiga orang tewas dan lainnya luka-luka.
Rangkaian peristiwa ini dianggap sebagai salah satu infiltrasi komunisme juga laskar rakyat untuk mengusir Belanda dari tanah air.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi