tirto.id - Tahun baru 1946. Tentara Belanda yang baru saja direorganisasi dalam bentuk NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Mereka membonceng tentara Sekutu dan kerap bertindak brutal terhadap kaum Republiken di sekitar Jakarta.
Nyawa pejabat Republik terancam. Akhirnya, presiden dan pejabat lain memutuskan ibukota dipindah ke Yogyakarta.
“Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak,” kata Sukarno pada 2 Januari 1946, seperti ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966).
Lalu, keberangkatan rahasia pun diatur.
Baca juga:
Pertaruhan Republik di Dalam Kereta Rahasia
Di bengkel kereta api Manggarai, rangkaian disusun. Dua gerbong paling belakang akan ditempati Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Begitu beres, rangkaian kereta api luar biasa (KLB) itu diperiksa seluruhnya oleh Anwir, salah satu pemimpin KLB.
Baca juga: Sukarno-Hatta: Dwitunggal yang Tanggal
Bertindak sebagai pemimpin tertinggi adalah Soegito. Anggota pemimpin KLB lain adalah Mansoer Loebis dan Soedarjo.
“Untuk menjaga keamanan Presiden dan rombongan, diusulkan berangkat dari belakang rumah Bung Karno di Pegangsaaan Timur tepat 18.00. Rangkaian dikeluarkan dari bengkel oleh Ali Noer dan kawan-kawan Angkatan Muda Kereta Api pukul 17.15 dan pukul 17.30 dilangsir ke belakang rumah Bung Karno. Soegito dan saya mengatur naik rombongan ke dalam kereta api dalam 15 menit. Seluruh waktu diatur sesingkat mungkin supaya tidak banyak orang mengetahui,” kata Soedarjo dalam buku Aku Ingat (1996).
Mulai merajalelanya tentara Belanda di Jakarta membuat Soedarjo memerintahkan Soegandi dan Sajatman mengatur perlindungan di jalur-jalur yang akan dilewati pagi sebelum keberangkatan KLB.
Baca juga: Revolusi Indonesia: Jagoan & Preman jadi Tentara
Lima belas polisi, termasuk Mangil Martowidjojo, mendapat perintah mengawal presiden dan wakil presiden hijrah ke Yogyakarta. Pada 3 Januari 1946 sekitar pukul 18.00, rombongan Bung Karno dan Bung Hatta meninggalkan kota Jakarta.
“Rombongan Presiden RI ini tidak banyak. Bahkan yang membawa barang pun tidak ada, termasuk pengawalnya. Seolah-olah rombongan ini ingin jalan-jalan, tanpa membawa barang. Satu-satunya yang agak mencolok, karena juga mengangkut dalam Kereta api Luar Biasa (KLB) ini dua buah mobil kepresidenan, merek Buick 7 seat cat hitam dan merek de Soto cat kuning,” aku Mangil yang menuliskannya dalam Kesaksian Tentang Bung Karno (1999).
Langsiran kereta-kereta dari Manggarai ke Pegangsaan memang biasa dilakukan. Seingat Mangil, mereka mengatur agar seolah-olah tidak ada tanda-tanda bahwa Bung Karno dan rombongan akan meninggalkan Jakarta.
“Waktu itu, keadaan di sekitar tempat kediaman Bung Karno di Pegangsaaan Timur biasa saja. Tidak terlihat adanya gerakan-gerakan yang mencurigakan. Setelah siap KLB ini berhenti di belakang rumah seperti waktu langsir tadi.”
Lima anggota polisi pengawal pribadi diperintahkan ke sekitar KLB untuk memastikan kereta. Pemuda-pemuda yang berjaga di sekitar rumah presiden sempat bertanya apa yang sedang dilakukan polisi-polisi pengawal itu.
“Tidak ada apa-apa. Hanya penugasan biasa saja,” jawab salah satu polisi. Pemuda penjaga itu lalu dengan mantap dan bersemangat bilang: “Kalau ada apa-apa, kami siap untuk membantu saudara-saudara.”
Baca juga: Mobilisasi Residivis Demi Revolusi
“Semua rombongan Bung Karno berangkat dari rumah melalui Jalan Bonang terus menuju KLB,” lanjut Mangil. Lima polisi lain juga bersiap di belakang rombongan. Mereka berjaga-jaga, sebab bisa saja serdadu-serdadu Belanda dari Batalyon KNIL di Senen yang terkenal brutal itu muncul.
“Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong,” kata Sukarno. Para republiken itu tentu harus berkepala dingin, berhati-hati, sekaligus berani.
Seingat Mangil, “Setelah semua rombongan masuk dalam KLB, barulah semua polisi pengawal naik ke dalam KLB tersebut. Waktu itu keadaan di dalam KLB gelap sekali.” Lampu-lampu sengaja tidak dinyalakan setelah rombongan pejabat naik.
“Tepat pukul 18.00 kereta api diberangkatkan oleh Soegito dari Pegangsaan dan Anwir mengatur kecepatan 5km/jam,” aku Soedarjo dalam bukunya.
KLB perlahan meluncur dan berhenti sebentar di Stasiun Manggarai. Di stasiun itu, beberapa orang Indonesia yang menjadi serdadu Belanda berkeliaran. Mereka memperhatikan gerbong depan, tetapi tidak acuh terhadap gerbong belakang yang ditempati para pejabat.
Baca juga: Orang-orang Indonesia di Kubu NICA
“Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian,” kata Sukarno.
Serdadu-serdadu KNIL yang buas tentu senang jika tahu nyawa Sukarno sesungguhnya ada di tangan mereka.
“Kami semua di dalam KLB waktu melintas di Stasiun Manggarai itu harus menahan nafas dan berdoa, semoga Tuhan melindungi Bung Karno beserta rombongan,” ingat Mangil.
Bayi Republik Selamat sampai Yogyakarta
KLB pun meluncur lagi. Dari Stasiun Menggarai, kereta melaju dan berbelok melintasi arah Stasiun Jatinegara. Dari stasiun Jatinegara ke Stasiun Klender kecepatan ditambah hingga mencapai 25km/jam.
“Tak ada yang menyangka bahwa masih ada kereta api yang melalui Kranji dan Klender kurang lebih pukul 18.30 sehingga keberangkatan Bung Karno (dan rombongan itu) tidak diketahui oleh patroli-patroli Belanda. Dalam perjalanan dari Pegangsaan Timur sampai Stasiun Klender semua lampu dalam kereta api padamkan. Sesudah lewat stasiun Klender, Anwir mengizinkan masinis melaju dengan kecepatan sampai 90 km/jam,” tulis Soedarjo.
Baca juga: Ketika Sukarno Akhirnya Kembali ke Jakarta
“Di malam gelap tanpa bulan tanggal 3-4 Januari 1946 kami membawa bayi Republik Indonesia ke ibukotanya yang baru, Yogyakarta,” kata Sukarno. Menurut Soedarjo, Kereta api itu diatur agar sampai di Yogyakarta esok paginya.
Mangil mengingat: “Rombongan Presiden tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta, pagi hari 4 Januari 1946 dan dijemput para pembesar setempat.”
Presiden sempat tinggal sementara di kawasan Pura Pakualaman sebelum akhirnya tinggal di istana bekas Gubernur Belanda di selatan Malioboro. Sejak 4 Januari itu, dimulailah peran Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani