Menuju konten utama

Terdakwa Kasus Korupsi KBRI Dwi Widodo Dijebloskan ke LP Sukamiskin

Dwi Widodo dimasukkan ke LP Sukamiskin. Ia divonis 3,5 penjara dalam kasus korupsi penerbitan paspor RI di KBRI Malaysia.

Terdakwa Kasus Korupsi KBRI Dwi Widodo Dijebloskan ke LP Sukamiskin
Mantan Atase Imigrasi KBRI Malaysia Dwi Widodo berada di mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/4). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./kye/17

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeksekusi mantan Atase Imigrasi Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Dwi Widodo ke Lapas Kelas 1 Sukamiskin Bandung, Selasa.

"Hari ini, Dwi Widodo dieksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung per 30 Juli 2018 dalam kasus tindak pidana korupsi terkait proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out Tahun 2016 dan penerbitan calling visa pada tahun 2013 s.d. 2016," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK RI, Jakarta, Selasa.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung per 30 Juli 2018 itu, Dwi Widodo tetap divonis 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti sebesar Rp535,1 juta dan 27.400 ringgit Malaysia.

Sebelumnya, dalam putusan pada tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 27 Oktober 2017, Dwi Widodo juga divonis 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima "fee" sebesar Rp524,35 juta, voucher hotel senilai Rp10,807 juta serta 63.500 ringgit (sekitar Rp197 juta) sebagai imbalan pengurusan calling visa dan pembuatan paspor dengan metode reach out.

Vonis itu lebih rendah dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menuntut agar Dwi Widodo 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 12 Huruf b juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Namun, saat itu majelis hakim menyepakati Dwi Widodo tidak dibebankan uang pengganti sebesar sebesar Rp535,1 juta dan 27.400 ringgit Malaysia.

Dwi Widodo sebagai Atase Imigrasi KBRI di Kuala Lumpur pada 2013 s.d. 2016 menerima hadiah seluruhnya berjumlah Rp524,35 juta, voucher hotel senilai Rp10,807 juta sebagai imbalan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen permohonan calling visa di KBRI Kuala Lumpur dari negara-negera rawan.

Calling visa adalah persetujuan visa oleh Dirjen Imigrasi atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan hasil penilaian terhadap permohonan warga negara asing dari negara tertentu yang ditetapkan oleh tim yang ditunjuk ditinjau dari aspek-aspek sosial, politik, keamanan negara dan keimigrasian.

Asal Imbalan Pemberian itu berasal dari sejumlah pihak, yakni pertama dari PT Anas Poliang Jaya milik Nazwir Anas selama 2014 s.d. 2016 untuk 143 pemohon dengan imbalan Rp73,5 juta.

Kedua, PT Trisula Mitra Sejahtera dengan direktur Lenggara Latjuba untuk pembuatan calling visa bagi 16 orang warga negara Kamerun, Nigeria dan Somalia yang berprofesi sebagai pedagang dan mendapatkan imbalan Rp27,8 juta.

Ketiga, dari Mahamadou Drammeh selaku Presiden direktur PT Sandugu International karena Dwi mengerjakan 108 calling visa imbalan sebesar Rp245,3 juta.

Keempat, dari Direktur PT Rasulindo Jaya Ali Husain Tajibally selama 2013 s.d. 2014 untuk pengerjaan "calling visa" 42 pemohon, pada 2015 untuk 65 pemohon dan 2016 untuk 40 pemohon yang imbalannya berupa voucher hotel senilai Rp10,807 juta.

Kelima, dari Abdul Fatah selaku Direktur PT Atrinco Mulia Sejati 706 pemohon yang memberikan imbalan senilai total Rp7,5 juta kepada Dwi. Keenam, dari Temi Lukman Winata, yaitu Direktur PT Afindo Prima Utama karena Dwi mengurus 9 warga dengan imbalan Rp2,5 juta. Ketujuh, dari Anwar selaku direktur PT Alif Asia Afrika karena Dwi mengurus 130 permohonan dengan imbalan sebesar Rp145,45 juta.

Para pemohon calling visa melalui perusahaan-perusahaan penjamin itu ternyata berprofesi sebagai pedagang, bukan dosen/pengajar, mahasiswa, tenaga ahli, penanam modal/investor maupun pekerjaan tingkat manajer tapi terdakwa tetap mengeluarkan berita faksimile (brakfas).

Selanjutnya, Dwi Widodo juga menerima imbalan dari layanan keimigrasian reach out, yaitu metode pelayanan pengurusan paspor kepada TKI yang berada di Malaysia karena paspornya hilang, rusak atau tidak memiliki paspor yang dilakukan di luar KBRI Kuala Lumpur.

Dwi melakukannya bekerja sama dengan mantan pegawai KBRI Kuala Lumpur Sayta Rajasa Pane yang sudah diberhentikan pada tahun 2015 karena terlibat dalam percaloan.

Satya dengan bantuan Darwinsyah bin Sultan Syahbuddin menggunakan perusahaan Malaysia milik Mohd Rizal bin Mohd Yusof bernama Euro Jasmine Resource, Sdn. Bhd sebagai perusahaan pemohon pelaksanaan reach out untuk menutupi proses percaloan seolah-olah perusahaan itu sebagai syarikat yang mempekerjakan para TKI pemohon paspor.

Dwi dan personel pegawai melaksanakan reach out pelayanan paspor di Restoran Mak Mah Port Dickson Negeri Sembilan pada tanggal 21 Mei 2016 terhadap 158 orang TKI yang sebagian besar bekerja di sektor restoran dan konstruksi namun karena dilakukan penggerebekan oleh tim dari Suruhan Jaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) atau Malaysia Anti Corruption Commission (MACC) sehingga Dwi hanya bisa mengurus paspor untuk 97 orang.

Dwi lalu menerima uang dari Satya Rajasea seluruhnya 63.500 ringgit Malaysia dengan rincian: 9.750 ringgit untuk kepentingan pribadinya, 14.250 ringgit untuk kepentingan Sayta Rajasa dan untuk Tunjangan Hari Raya 82 orang pegawai KBRI Kuala Lumpur sebanyak 39.500 ringgit, termasuk di dalamnya untuk Dwi sebesar 2.000 ringgit.

Baca juga artikel terkait HUKUM

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara