tirto.id - Tentara Nasional Indonesia kembali menunjukkan sikap anti-intelektual. Pada Agustus 2017, terbit surat larangan kepada warga negara asing untuk berkunjung ke museum-museum milik Tentara Nasional Indonesia.
Belakangan, Januari 2018, aturan ini diubah: turis asing boleh memasuki museum, tetapi para peneliti asing harus mendapatkan surat izin dari Mabes TNI jika ingin mendatangi museum tentara.
Bagi kalangan akademisi, pelarangan ini tentu merugikan. Selain menghambat kebebasan akademik, ia mempersulit akses terhadap sumber-sumber primer milik tentara yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Padahal, berkaca dari hasil karya dan pengalaman para peneliti terdahulu, sumber-sumber "dari dalam" itulah yang membuat karya-karya mereka istimewa. Beberapa karya kanonik tentang militer Indonesia yang sering dijadikan rujukan hampir semuanya mengandalkan sumber-sumber internal tentara.
David Jenkins, misalnya, lewat Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983 (1984), benar-benar memanfaatkan sumber-sumber internal tentara untuk mempertajam analisis dalam bukunya. Karena itu ia berhasil menyuguhkan peta perkubuan perwira pada masa awal Orde Baru dengan jelas dan runut.
Pada generasi peneliti asing yang lebih belakangan, Katharine E. McGregor adalah nama yang paling menonjol. Guru besar University of Melbourne ini menulis disertasi tentang ideologi militer dalam historiografi Indonesia zaman Orde Baru. Hasil penelitiannya kemudian dibukukan dengan judul History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past (2007).
McGregor melakukan penelitian lapangan di Indonesia pada 1996-1997, tepat di ambang keruntuhan Orde Baru. Saat itu ia mengunjungi beberapa museum milik tentara dan mewawancarai beberapa narasumber kunci.
"Saya pergi ke Pusat Sejarah ABRI dan mendatangi perpustakaan kecilnya," ungkap perempuan kelahiran 1971 ini.
Kamis pekan lalu, Ivan Aulia Ahsan dan Windu Jusuf dari Tirto mewawancarai McGregor via Skype. Ia membagi pengalaman ketika melakukan riset di Indonesia dan mengungkapkan pandangannya tentang pelarangan terhadap peneliti asing.
Bagaimana proses Anda mengerjakan penelitian yang kemudian terbit sebagai buku History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past? Bagaimana Anda bisa mengakses sumber-sumber militer?
Riset dalam buku itu adalah bagian dari penelitian doktoral saya. Waktu itu saya di Indonesia selama satu tahun lebih, tepatnya pada 1996-1997. Jadi, di masa-masa sebelum tumbangnya rezim Soeharto. Saya dapat izin penelitian resmi dari LIPI.
Ketika di surat pengajuan riset saya menyebutkan akan mempelajari militer, monumen, dan museum, saya direkomendasikan mengurus izin dari militer Indonesia. Jadi saya harus mengikuti wawancara dengan tentara di markas pusat di Jakarta. Proses ini sekaligus membukakan pintu yang memudahkan saya berhubungan dengan tentara.
Soal data, saya langsung ke museum untuk memotret diorama. Saya juga mengakses buku panduan museum, yang waktu itu masih menjadi data publik. Saya pergi ke Pusat Sejarah ABRI dan mendatangi perpustakaan kecilnya. Saya juga mendapatkan dokumentasi tentang pembangunan museum. Termasuk juga majalah terbitan mereka tentang sejarah pembentukan TNI.
Di dalamnya terdapat publikasi tentang rekam jejak, aktivitas, dan berbagai peringatan yang dirayakan oleh militer. Inilah sumber-sumber data utama yang saya pakai. Namun, saya juga melakukan wawancara dengan sejumlah staf di Pusat Sejarah ABRI, dan pihak-pihak yang mengenal Nugroho Notosusanto. Selama wawancara, kami membicarakan banyak pandangan dan versi tentang beragam topik.
Saya juga mewawancarai sejumlah aktivis mahasiswa yang kenal Nugroho di Universitas Indonesia, serta muridnya seperti Ong Hok Ham. Saya berbicara dengan beberapa sejarawan dan meminta opini mereka tentang Nugroho, untuk bisa memahami Nugroho sebagai salah satu ideolog terpenting (dalam penulisan sejarah Indonesia). Saya mencoba untuk memahami konteks sejarah yang direpresentasikan museum-museum itu.
Bagaimana respons elite militer Indonesia terhadap karya Anda setelah diterbitkan?
Buku saya terbit setelah Orde Baru runtuh, tepatnya pada 2007. Indonesia sudah mulai terbuka dengan riset saya. Saya cukup beruntung sebab media Indonesia juga menyajikan sejarah-sejarah dengan pandangan baru. Elite militer tentu kritis terhadap buku saya. Ada juga yang memuji.
Beberapa jenderal keberatan, tapi tetap membaca buku saya. Sepertinya orang-orang di Pusat Sejarah ABRI juga mendapat kesulitan akibat bicara untuk kepentingan riset saya. Menurut saya, penting untuk menantang versi sejarah semacam itu, historiografi yang telah melahirkan film Pengkhianatan G30 S/PKI (1984) dan punya dampak yang sangat negatif nasib banyak orang. Beberapa orang tentu tidak akan senang (dengan buku saya). Tapi pekerjaan saya adalah untuk menantang hal semacam itu.
Sejauh mana sejarah yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto menjustifikasi peran militer dalam politik Indonesia? Dan bagaimana hal ini berpengaruh terhadap kondisi Indonesia kekinian?
Kita tak boleh lupa bahwa generasi Indonesia dicekoki versi sejarah bikinan militer yang fokus pada perjuangan kemerdekaan dan nilai-nilai kemiliteran. Pandangan terhadap Soeharto, misalnya, terbentuk melalui kurikulum sejarah yang dipelajari di sekolah ini, yang sumber utamanya adalah karya Nugroho. Efeknya akan terasa hingga sekian generasi.
Setelah riset selesai, saya belum mempelajari lagi bagaimana pengaruh militer Indonesia dalam penyusunan kurikulum di sekolah-sekolah. Namun, saya tahu bahwa saat itu mereka diajari bahwa militer adalah bagian dari rakyat sipil. Tapi sebagaimana yang saya sebut sebelumnya, media-media Indonesia makin terbuka untuk menyajikan data atau versi sejarah yang berbeda.
Memang pemahaman sejarah versi Orba masih kuat. Ini jadi tantangan untuk media.
Apakah ada sosok lain yang berperan penting dalam penulisan sejarah militer Indonesia selain Nugroho?
Kita tidak boleh melupakan Jenderal A.H. Nasution di sini. Ia punya peran dalam perjuangan kemerdekaan, serta dalam politik Indonesia sesudahnya.
Pada 1960-an ketika Partai Komunis Indonesia makin kuat, ia memperhatikannya secara saksama. Perannya besar dalam memiliterisasi sejarah Indonesia. Posisi Nasution penting karena keterlibatannya dalam aksi penumpasan pasca-G30S. Orang-orang seperti Nasution juga menyebarkan ideologinya, pandangan sejarahnya, melalui buku-buku biografi yang diterbitkan pada era Orba.
Saya kira Benny Moerdani juga punya peran, karena Museum Satria Mandala juga didedikasikan untuk memperingati peran militer Indonesia menghantam kelompok ekstremis sayap kanan seperti Darul Islam.
Apa peran Saleh As'ad Djamhari, salah satu tokoh di Pusat Sejarah ABRI?
Saya wawancara dia juga. Ia membagi banyak informasi kepada saya, termasuk soal bagaimana rekam jejak Nugroho. Satu hal yang menarik, Ong Hok Ham sempat masuk ke tim penulis sejarah di Pusat Sejarah ABRI. Ia direkrut oleh Nugroho.
Apakah Nugroho merepresentasikan satu faksi intelektual tertentu dalam militer Indonesia?
Menurut saya, ia orang yang cukup unik. Bapaknya juga akademisi. Nugroho terkesan dengan dunia militer. Ia juga menulis cerita pendek. Menarik, sebab minat artistiknya lebih menonjol ketimbang soal militer.
Nugroho adalah orang yang kompleks. Jarang yang seperti dia dan mampu meniru rekam jejaknya. Nugroho mendedikasikan dirinya untuk mempelajari militer Indonesia. Saya kira ia ingin menjadi tentara, tetapi ayahnya tak mengizinkan.
Bagaimana Anda melihat faksi-faksi intelektual, jika ada, di dalam tubuh militer Indonesia saat ini?
Penting untuk mengetahui siapa saja yang kini naik daun. Tapi saya belum mengikuti lagi perkembangan militer Indonesia. Penting juga untuk mengetahui perbedaan antara satu pandangan elite militer dan yang lainnya. Termasuk antara yang dekat dengan lingkaran kekuasaan maupun yang jauh.
Ada trio intelektual tentara di era Orba: Agus Widjojo, Agus Wirahadikusuma, dan SBY. Apakah menurut Anda mereka punya penerus di masa kini?
Saya kurang paham. Ada Wiranto yang kini menjabat sebagai menteri. Ia salah satu tokoh militer penting di era Orba dan sesudahnya. Posisinya menarik karena kini ia bisa berada di bawah Jokowi. Ia adalah simbol betapa kekuatan militer masih signifikan dalam politik Indonesia hari ini.
Pendapat Anda soal sempat terjadi pelarangan peneliti asing masuk ke museum pada beberapa waktu yang lalu, ada apa di baliknya?
Ada rekan yang dilarang masuk ke Museum Lubang Buaya. Saya agak terkejut sebab museum, kan, tempat publik. Di negara-negara lain, saya tak pernah mendengar ada museum yang sangat ketat mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh masuk museum. Terasa paranoia, ya. Saya tak tahu apa penyebab pastinya.
Yang jelas museum-museum yang berkaitan dengan tentara memang dibuka untuk publik. Tapi arsipnya—itu soal lain. Militer mungkin punya banyak arsip penting yang belum dirilis ke publik—dengan pengecualian data yang memang dibuka untuk publik.
Para peneliti asing yang ingin mengakses data di Arsip Nasional pun harus mendapat izin dari militer. Dengan demikian, sebelumnya mereka (peneliti) juga akan diperiksa dengan teliti, terutama soal apa yang mau diteliti.
Yang mungkin ada kaitan dengan peristiwa tersebut adalah aturan penelitian baru yang diterbitkan Mendagri, khusus untuk peneliti Indonesia. Peneliti Indonesia takkan mendapat izin jika penelitiannya dianggap menghasilkan "dampak negatif." Ini seperti menutup pintu untuk penelitian, bukan hanya dari asing tapi bahkan dari peneliti Indonesia sendiri.
Peraturan itu sudah dicabut dua hari setelah keluar.
Mungkin kasus-kasus ini ada hubungannya dengan wacana Bela Negara, untuk meningkatkan apa yang disebut-sebut militer sebagai “kewaspadaan”, tapi saya juga tidak paham kewaspadaan terhadap apa?
Di era demokrasi, segala sesuatu seharusnya bisa diperdebatkan di ruang publik, baik oleh orang Indonesia sendiri maupun oleh orang asing. Itu kalau demokrasi benar-benar dipraktikkan secara serius.
Anda melihat sikap anti-intelektual di kalangan militer Indonesia?
Bisa dikatakan demikian. Dengan mengungkapkan pandangan yang sangat sempit dalam banyak isu, tentara kerap menunjukkan sikap anti-intelektual. Tapi mungkin ada seorang pembaharu militer (military reformers) yang belum kedengaran. Saya harap begitu, tapi saya tak bisa memastikannya.
==========
Wawancara ini ditranskrip dan diterjemahkan oleh Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Fahri Salam