Menuju konten utama

Akses ke Museum dan Arsip TNI adalah Hak Publik

Museum dan arsip TNI adalah aset penting bagi penulisan sejarah Indonesia. Tanpa penjelasan yang memadai, kebijakan membatasi pengunjung di museum hanya akan memancing kecurigaan publik bahwa TNI menghalangi pendidikan sejarah Indonesia yang lebih baik.

Akses ke Museum dan Arsip TNI adalah Hak Publik
Avatar Yosef Djakababa

tirto.id - Penelitian tentang periode sejarah modern Indonesia, terutama sejarah politik, akan selalu bersinggungan dengan peran tokoh maupun institusi militer Indonesia. Harus diakui TNI berpenting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Sejak terbentuknya negara-bangsa Indonesia sampai hari ini, TNI adalah salah satu dari kekuatan sosial-politik yang memengaruhi jalannya negara.

Di banyak negara lain, ada pemisahan yang jelas antara posisi dan fungsi institusi militer dalam pemerintahan sipil. Militer “hanya” mengurusi perihal yang menyangkut keamanan nasional dan dilarang berpolitik. Di Indonesia, demarkasi tersebut kerap kabur dan tumpang tindih akibat konteks dan pengalaman sejarah yang berbeda.

Dalam penulisan sejarah modern Indonesia, para peneliti pada hakikatnya wajib melibatkan pelbagai sumber primer maupun sekunder dari berbagai pihak—termasuk sumber-sumber TNI—meski terkadang pandangan dalam satu sumber bertolak belakang sumber lainnya.

Pertama-tama kita harus membedakan jenis-jenis sumber dari TNI.

Pertama, sumber informasi yang tersedia untuk umum seperti di museum-museum yang dikelola oleh TNI. Kemudian ada juga sumber dalam bentuk dokumen/arsip milik TNI. Terakhir, sumber yang diperoleh dari wawancara lisan dengan anggota atau pensiunan TNI. Barulah setelah itu kita membahas bagaimana mendapatkan akses dari berbagai jenis “sumber” tersebut untuk kepentingan penelitian.

Sumber dari museum yang terbuka untuk umum (pengunjung setempat maupun asing) berisi informasi yang menunjukkan sikap resmi TNI mengenai peristiwa-peristiwa di tanah air. Sementara sumber TNI dalam bentuk dokumen dan arsip hanya bisa diakses melalui prosedur tertentu. Peneliti bisa mengajukan surat permohonan kepada pihak Pusat Sejarah TNI yang memang memegang kewenangan soal arsip TNI.

Prosedur permohonan ini bertujuan untuk memfasilitasi peneliti serta dan mengatur informasi mana yang perlu difilter untuk dirilis ke publik, mengingat status TNI sebagai institusi keamanan nasional.

Dari pengalaman meneliti sejarah Indonesia periode 1950-1960-an, mau tidak mau, saya pun harus melihat peran TNI selama periode tersebut.

Sebaran Arsip

Saya pernah melakukan penelitian sejarah dengan menggunakan sumber-sumber TNI. Beberapa sumber dokumen bisa didapat dalam bentuk buku yang sudah diterbitkan sebagai kumpulan dokumen, contohnya buku suntingan Alex Dinuth, Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI (1997). Ketika saya masih studi dan meneliti jauh dari tanah air, ada pula dokumen sumber TNI yang saya temukan di luar negeri.

Beberapa dokumen terkait TNI tersedia di sejumlah lembaga arsip dan perpustakaan kampus-kampus Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa di antaranya adalah salinan dari dokumen asli dan sejumlah dokumen asli yang lain.

Dokumen-dokumen ini sampai ke perpustakaan-perpustakaan luar negeri dengan beragam cara. Ada dokumen yang ditemukan oleh peneliti dan diserahkan ke perpustakaan tersebut. Tapi ada pula salinan yang secara resmi diberikan oleh TNI/Pemerintah Indonesia. Misalnya, dokumen sidang-sidang Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang memang dihibahkan kepada Universitas Cornell dan menjadi bagian dari koleksi khusus di kampus.

Tak sulit mengakses dokumen-dokumen di luar negeri tersebut untuk kepentingan penelitian: Cukup mengakses katalog online dari perpustakaan dan meminta akses untuk diperlihatkan dokumen yang dimaksud.

Sebagai mahasiswa di kampus Amerika, kita bisa meminjam buku/dokumen tersebut dari perpustakaan tanpa memerlukan surat izin apapun.

Apabila dokumen atau buku tak bisa ditemukan di perpustakaan kampus kita sendiri, pustakawan bisa mengurus peminjaman antar-perpustakaan (Interlibrary loan) sehingga dokumen bisa diakses tanpa harus bepergian jauh.

Namun, sebagian besar koleksi langka dan khusus milik perpustakaan biasanya hanya dapat diakses di tempat. Peneliti harus mengunjungi perpustakaan yang bersangkutan untuk mengaksesnya.

Caranya juga tidak sulit: cukup datang dan mengisi formulir permohonan akses atas dokumen-dokumen yang dituju. Pustakawan akan mengambil mereka dari tempat penyimpanan. Kita bahkan bisa membuat kopian dokumen jika diizinkan, tergantung kebijakan perpustakaan yang bersangkutan.

Izin Publik

Perihal kearsipan dan sarana penyimpanan dokumen untuk kepentingan keilmuan adalah perkara yang wajar dan patut dijunjung tinggi dalam konteks akademik. Akses masyarakat ke dokumen publik sebenarnya juga merupakan bentuk jaminan atas prinsip-prinsip demokrasi, termasuk di dalamnya kebebasan mendapatkan informasi.

Kebijakan pembatasan orang asing untuk masuk ke dalam museum yang dikelola oleh TNI tentu mengundang banyak pertanyaan.

Mengapa tiba-tiba kebijakan ini diambil? Apakah orang asing, terutama para penelitinya, dianggap bisa membahayakan keamanan negara setelah mengunjungi museum? Jika jawabannya “ya”, mengapa pembatasan tersebut tidak berlaku bagi orang Indonesia dan peneliti Indonesia? Apa ada masalah prosedural atau isu keamanan yang diberlakukan khusus bagi orang asing? Apakah orang asing bukan bagian dari “publik”?

Kebijakan pembatasan ini tentu bisa mencoreng citra negatif TNI. Dalam dekade lalu, TNI berupaya keras membangun citra lebih positif di mata masyarakat Indonesia dan dunia, terutama sejak jatuhnya rezim Orde Baru.

Tanpa penjelasan yang memadai, kebijakan membatasi pengunjung membuka peluang bagi berbagai elemen di masyarakat domestik maupun internasional untuk menafsirkan kebijakan ini sebagai upaya TNI menghalangi pendidikan sejarah Indonesia yang lebih baik.

Setiap institusi memang mempunyai aturan dan prosedur yang disusun dengan berbagai alasan. Perihal pembatasan peneliti asing untuk mengakses museum yang dikelola TNI sebaiknya memperhatikan tujuan kunjungan. Dalam kapasitas wisatawan umum, tak perlu ada batasan. Bagaimanapun, museum dibangun sebagai sarana penyalur informasi kepada publik, baik asing maupun lokal.

Sebaliknya, jika kunjungan dilakukan dalam rangka penelitian yang membutuhkan akses khusus museum atau dokumen tertentu yang dimiliki TNI, penjelasan lengkap mengenai prosedur perlu diberikan. Peneliti lokal maupun asing cukup dipersilakan membawa surat permohonan kepada instansi yang bersangkutan agar mendapatkan pelayanan terbaik.

Dan, kalaupun ada pembatasan, alasannya perlu dikemukakan secara jelas. Prosedur dan alasan pembatasan penting untuk diinformasikan dan diketahui agar masyarakat luas bisa memahami dasar pemikiran di belakangnya. Sosialisasi seperti ini diperlukan untuk mencegah prasangka buruk terhadap TNI sendiri.

Pelbagai prosedur akses dan penggunaan sumber-sumber TNI sebaiknya menjunjung tinggi asas-asas keilmuan, semangat kebebasan akademik, serta keinginan untuk pengembangan pemahaman sejarah.

Penelitian sejarah yang baik, dengan menggunakan metode yang bisa dipertanggungjawabkan, akan bermanfaat bagi banyak pihak—tak hanya bagi peneliti atau masyarakat luas, tapi juga untuk institusi TNI.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.